Gamelan Keraton Solo Bentuk Siar Islam saat Sunan Kalijaga

Solo, Jateng - Ratusan warga saling berebut janur kuning penghias bangsa pradangga, Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta, saat gamelan peninggalan Kerajaan Demak, Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari resmi ditabuh.

Ini sebagai tanda pelaksanaan serangkaian puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Keraton Kasunanan dimulai.

Dalam hitungan detik, hiasan janur kuning ludes diserbu warga masyarakat yang mempercayai adanya berkah tersendiri dari janur kuning tersebut saat gamelan pusaka milik Keraton dibunyikan.

Gamelan-gamelan itu akan terus dimainkan hingga puncak Maulid Nabi yang akan jatuh pada 14 Januari dan ditandai dengan keluarnya dua pasang gunungan Keraton.

Saat gamelan mulai ditabuh, putra-putri Keraton Kasunanan Surakarta yang saat itu hadir, seperti Kanjeng Gusti Ratu (GKR) Wandansari atau Gusti Mung, serta Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Puger serta kerabat lainnya, termasuk para abdi dalem dan masyarakat luas mulai mengunyak sirih atau nginang.

Terlihat para putri Keraton tak bisa menyembunyikan kesedihannya saat mengunyak sirih tersebut. Dalam kepercayaan lokal, nginang di dekat gamelan Sekaten yang sedang dibunyikan akan membuat orang tersebut awet muda dan terjaga kejernihan pikirannya.

Salah satu putra Paku Buwono IX, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Puger, mengatakan, gamelan-gamelan ini akan dibunyikan secara terus menerus selama sepekan, kecuali saat salat lima waktu.

Ini merupakan peninggalan dari Kerajaan Demak. Saat itu Gamelan digunakan Sunan Kalijaga sebagai ajang dakwa agar masyarakat lebih mudah untuk menerima apa yang disiarkannya.

"Ini merupakan peninggalan dari Kerajaan Demak. Saat itu Sunan Kalijaga menggunakan gamelan untuk menarik perhatian masyarakat saat itu, sehingga siar agama Islam bisa diterima oleh masyarakat," kata KGPH Puger saat berbincang dengan Okezone,di Masjid Agung, Solo, Jawa Tengah.

Menurut KGPH Puger, Gamelan identik dengan perayaan kelahiran Nabi Muhammad. Kala itu, gamelan ditabuh untuk memeriahkan hari kelahiran Nabi Muhammad, sehingga saat itu masyarakat akan bertanya-tanya ada keramaian apa hingga gamelan dibunyikan.

Sedangkan mengunyah sirih saat gamelan dibunyikan, hanya sebagai tanda kalau gamelan itu sebagai tanda peringatan kelahiran Nabi Muhammad.

"Jadi istilahnya sirih itu sebagai tanda kalau saat gamelan dibunyikan itu tanda hari kelahiran Nabi Muhammad. Jadi semacam ada kenang-kenangannya. Itu saja tidak ada hal mistik lainnya. Kalaupun ada, itu kan hanya dibuat masyarakat saja,"paparnya.

-

Arsip Blog

Recent Posts