Pengrajin Batik Tulis Otentik Mulai Langka

Jakarta - Kain batik yang ditetapkan sebagai warisan budaya dunia milik Indonesia kini mengalami pergeseran makna. Demi mengejar permintaan, kain batik tak lagi diproduksi seperti namanya.

Dilihat secara makna, batik merupakan teknik merintang warna di atas kain. Di Indonesia membatik umumnya menggunakan malam (lilin khusus batik) sebagai dasar motifnya dengan alat yang disebut canting. Tingginya permintaan kain batik saat ini membuat para pengrajin batik meninggalkan teknik tersebut.

"Pembatik sekarang mulai membuat batik yang lebih cepat dan murah, tidak lagi dengan menggunakan motif klasik," jelas Iwet Ramadhan, pengusaha batik yang menjadi pembicara Fabulous Batik of Java yang digelar di Galeri Kaya Indonesia, Jakarta.

Untuk membuat batik tulis dengan motif klasik, biasanya membutuhkan waktu hingga delapan bulan atau lebih. Sementara pengrajin batik sudah mulai langka di Indonesia.

Hal ini yang menurut Iwet menjadi alasan mengapa batik cap atau celup lebih banyak diproduksi. Karena pangsa pasarnya pun semakin besar dan dari segi waktu pun lebih ekonomis.

"Upah pembatik itu murah, makanya tidak ada penerusnya," jelas Iwet.

Batik tulis yang asli pun masih ada peminatnya. Namun tidak banyak, karena harganya yang mahal dan saat ini sangat sulit mencari pengrajin yang mau membuat kain batik dengan cara yang dilakukan oleh nenek moyang Indonesia dulu.

Untuk satu kain batik pekalongan misalnya dibandrol dengan harga Rp 12 juta, itu pun tidak bisa langsung dipakai karena tidak ada stok yang tersedia. Mengingat pembuatan kain batik memakan waktu yang cukup lama, dan pengrajinnya yang sudah mulai langka.

Iwet Ramadhan mengaku pernah memesan kain batik dan harus menunggu dua tahun untuk bisa memakainya. Namun menurut Iwet, waktu dua tahun itu terbayar dengan keindahan corak yang tergambar di atasnya. Bahkan kain yang dimiliki Iwet tersebut sempat ditawar dengan harga yang lebih tinggi.

"Nunggunya dua tahun, jadi bisa kaya investasi juga," ujar Iwet.

Sayangnya, harga setinggi itu masih belum bisa mensejahterakan pengrajin batik yang ada. Iwet mengatakan kalau satu kain batik berukuran 2x1,5 meter biasanya dibatik oleh lebih dari tiga orang pengrajin.

Bahkan ada yang membutuhkan delapan orang pengrajin. Belum lagi tingkat kerincian dari motif yang dibuat membutuhkan ketekunan dari sang pembuat. Hal tersebut membuat pembatik kian menurun jumlahnya.

"Ini yang menjadi kendala dan harus menjadi perhatian pemerintah. Ketika nanti batik tulis itu masuk ke kancah internasional, mampu gak para pengrajin ini memproduksinya dalam waktu yang singkat," ujar Iwet.

Produksi dalam jumlah besar memiliki tantangan yang besar pula. Selain waktu, pengrajin juga dituntut untuk memberikan konsistensi terhadap karyanya. Karena Iwet sendiri pernah mengalami hal tersebut untuk keperluan bisnis fashion yang menggunakan kain batik. Produksinya lama kelamaan terlihat jelas perbedaannya.

"Namanya juga membuat karya seni, si pengrajin butuh mood juga kalau mau bikin," kata pemiliki lini batik TikShirt ini.

-

Arsip Blog

Recent Posts