Budaya Wayang Kurang Mendapat Perhatian

Solo, Jateng - Pakar arkeologi peneliti wayang pada relief candi, Lydia Kieven asal Jerman menyatakan, wayang di Indonesia yang memiliki sejarah panjang, memuat kandungan nilai-nilai budaya tinggi. Namun budaya wayang yang di masyarakat Jawa menjadi tuntunan hidup, saat ini kurang mendapat perhatian.

"Saya sependapat, wayang sekarang menjadi ibarat 'sampah'. Padahal, berdasarkan kisah pada relief-relief candi, wayang kaya dengan ajaran moral dan filsafat," ujarnya dalam seminar internasional wayang "Prospek Wayang Menuju Era Asia" yang diselenggarakan Institut Javanologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Seminar yang juga menampilkan pembicara Kathryn Emerson (USA), Prof. Dr. Sugiyarto (UNS) dan Bambang Murtiyoso (ISI Surakarta) tersebut, juga diikuti peserta dari berbagai negara.

Lydia yang menekuni relief-relief candi dan dalam empat bulan terakhir meneliti candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, banyak menemukan kisah Arjuna Wiwaha yang menggambarkan bagian dari ritus religi masyarakat Jawa masa lalu. Menurut arkeolog Jerman itu, berdasarkan pahatan relief candi berupa tokoh Arjuna, tradisi wayang sudah dikenal masyarakat Jawa sejak tahun 56 Masehi.

"Hal itu sesuai dengan yang tertulis dalam prasasti Rakai Pikatan tahun 56 Masehi yang menyebut nama mawayang. Dalam relief candi digambarkan Arjuna saat bertapa dan mendapat godaan bermacam-macam. Gambaran itu sebagai simbol religi masyarakat Jawa kala itu," jelasnya.

Peneliti asing itu juga mengaitkan relief Arjuna Wiwaha di candi dengan penemuan goa peninggalan Kerajaan Daha tahun 1135 di wilayah Tulungagung. Temuan itu juga sejalan dengan kakawin Arjuna Wiwaha yang ditulis Empu Kanwa di era Raja Erlangga. Selain kakawin Arjuna Wiwaha, dalam penelitian juga ditemukan kakawin Ramayana di candi induk Penataran yang ditulis abad 9 dan relief di candi Jago, Malang, yang dibuat tahun 1300-an.

"Bukti relief candi maupun kakawin tentang wayang itu menunjukkan bahwa budaya wayang dahulu dianggap sangat penting. Namun sayang, seperti disampaikan pak Bambang Murtiyono, banyak budaya lama termasuk wayang yang menjadi sampah," tuturnya.

Sebelumnya, dosen jurusan pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Bambang Murtiyoso menyatakan, wayang sekarang menjadi sampah karena sudah rusak dan tercampakkan. Estetika wayang, katanya rusak karena pengaruh ekonomi dan politik, serta pada sisi sejarah dan bahasa juga rusak karena ditinggalkannya kaidah-kaidah pedalangan.

"Pakem pedalangan yang baku sering diacak-acak karena pengaruh politik dan selera mereka yang punya uang. Dalam sejarah wayang, ada nama tempat yang diubah seenaknya menjadi nama orang. Estetika dan bahasa dalam pedalangan juga rusak karena pengaruh perubahan zaman," ujarnya.

Dia bersama para akademisi di ISI Surakarta sudah menggunakan banyak cara untuk mempertahankan tradisi budaya wayang agar tetap dapat menjadi rujukan moral dalam menghadapi era Asia. Di antara yang digagas Bambang Murtiyoso dan kawan-kawan adalah menciptakan wayang garapan baru berbahasa Indonesia, agar generasi muda yang tidak berbahasa Jawa dapat menangkap pesan moral dan filososfi wayang.

"Namun wayang berbahasa Indonesia yang prosesnya perlu waktu lama dan biaya mahal, hanya dipentaskan dalam satu jam. Karena biaya pementasannya mahal, wayang berbahasa Indonesia akhirnya tidak laku," tandasnya.

Bambang masih berharap lembaga seperti Institut Javanologi dapat memberi ruang yang luas bagi kebudayaan wayang. Dia berpendapat, wayang sebagai warisan mahakarya dunia dapat diangkat sebagai insprirasi pengembangan pengetahuan, seni dan budaya yang mampu menjamin berlangsungnya peradaban.

-

Arsip Blog

Recent Posts