Tanjidor Makin Terancam

Jakarta - Minimnya pendokumentasian terhadap tanjidor dikhawatirkan akan semakin mengancam kelangsungan hidup salah satu jenis kesenian Betawi ini. Semua pihak, terutama pemerintah, perlu bersama-sama melakukan upaya pendokumentasian terhadap tanjidor agar kesenian Betawi ini terus lestari dan dapat diteruskan kepada generasi selanjutnya.

Hal tersebut mengemuka dalam Diskusi Tanjidor yang berlangsung, Kamis (20/3/2014), di Bentara Budaya Jakarta. Hadir sebagai pembicara pencinta kebudayaan Betawi, Racmat Ruchiat, pimpinan Sanggar Tanjidor Tiga Sodara Sait Neleng, dan sejarawan JJ Rizal.

Menurut Rizal, seperti kesenian Betawi lain, yaitu lenong dan gambang keromong, tanjidor juga terus terpinggirkan. Upaya yang dilakukan agar tanjidor terus bertahan hidup, salah satunya ditandai dengan kemunculan banyaknya variasi dalam tanjidor. Seperti tanjikres (tanjidor orkes), tanjinong (tanjidor lenong), tanjidor yang memainkan lagu-lagu Betawi seperti ”Jali-Jali” dan ”Cente Manis”, tanjidor dengan jaipongan atau tanjidor yang memainkan lagu-lagu Melayu hingga dangdut.

Namun, keberlangsungan hidup tanjidor makin terancam karena tidak ada upaya pendokumentasian. Salah satunya terhadap lagu-lagu yang dimainkan. Selama ini, para pemain tanjidor memainkan lagu tanpa catatan, hanya berdasarkan ingatan.

Kepedulian pemerintah pernah ditunjukkan pada era Ali Sadikin dengan upaya pendokumentasian. Namun, hasil dokumentasi tersebut hilang.

Di satu sisi, Sait mengatakan, upaya regenerasi tanjidor tidak mudah dilakukan karena generasi muda umumnya tidak tertarik mempelajari tanjidor.

Racmat menuturkan, pada awal kemunculannya, tanjidor yang didominasi alat musik tiup, merupakan kesenian masyarakat papan atas. Namun, kini tanjidor hanya dimainkan masyarakat pinggiran Jakarta.

-

Arsip Blog

Recent Posts