Seni Budaya Karawitan

Jari-jari mungil itu “menari” lincah di atas instrumen gamelan. Ada yang menabuh gendang dan saron, ada juga yang memukul bonang. Para anak kecil itu terlihat kompak memainkan alat-alat musik khas Jawa tersebut.

Ya, begitulah aktivitas latihan seni karawitan anggota Laksita Mardhawa, Sabtu (6/10) pekan lalu. Saban Sabtu, sejak pukul satu siang hingga sore hari, komunitas ini rutin menggelar latihan di sebuah rumah yang dijadikan sanggar seni di Jalan Denpasar Raya Nomor 19, Kuningan, Jakarta Selatan.
Laksita Mardhawa lahir dari tangan Bekti Budi Hastuari. Kecintaan perempuan yang akrab disapa Arie ini terhadap seni dan budaya, khususnya Jawa, mendorongnya membuat wadah yang kelak menjadi sarana banyak orang untuk mempelajari seni dan budaya Jawa. Bersama sahabatnya, Danang Purbaningrat yang masih keturunan keraton Yogyakarta, Arie mendirikan Laksita Mardhawa pada 21 Januari 2011.
Menurut Arie, laksita memiliki arti keindahan. Sedang mardhawaberarti memanjang ke depan. Sesuai artinya, harapannya, komunitas ini menjadi wadah untuk melestarikan seni dan budaya Jawa yang indah sepanjang masa. “Saya tidak ingin seni dan budaya Jawa terkikis karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang arti penting budaya,” kata wanita berusia 47 tahun ini.
Saat ini, Arie menilai, sebagai negara yang kaya dengan seni dan budaya, Indonesia sedang berada di tengah peradaban ultramodern. Arus seni dan budaya asing mengalir deras ke Tanah Air. Celakanya, masyarakat kita terbilang instan mengadopsi seni dan budaya asing.
Walhasil, rasa cinta masyarakat kita terhadap seni dan budaya sendiri makin lama memudar. “Semakin banyak remaja zaman sekarang yang tidak mengenal budaya leluhurnya. Mereka lebih suka segala sesuatu yang berbau impor,” ujar pengusaha di bidang head huntertenaga kerja ini.
Berangkat dari masalah itu, Arie mulai melakukan “gerilya” melalui sosial media guna menjaring anggota Lakshita Mardhawa. Cara itu mendapat respons positif dari para peselancar di dunia maya. Mereka tertarik untuk menjadi anggota komunitas serta latihan seni dan budaya Jawa setiap Sabtu di sanggar Laksita Mardhawa.
Awalnya, Arie mengaku, Laksita Mardhawa sekadar untuk memfasilitasi hasrat kerabatnya yang ingin mengenal seni dan budaya Yogyakarta, tapi tidak mengetahui di mana tempatnya. Meski tujuan awal hanya mengenalkan seni dan budaya Yogyakarta, sekarang, komunitas ini juga mempromosikan seni dan budaya Jawa lainnya seperti Solo.

Seni membatik
Makanya, selain seni karawitan dan menari, komunitas ini juga mengenalkan seni membatik. Di sini, anggota komunitas bisa belajar membuat pelbagai pola batik di atas selendang, scarf, taplak meja, dan media lainnya. “Dalam seni batik ada filosofi kesabaran, ketelatenan, dan keuletan si pembuatnya. Ini bisa melatih kepribadian seseorang,” terang Arie.
Bukan cuma belajar membatik, anggota Laksita Mardhawa juga kerap bertukar informasi mengenai perkembangan batik terkini, terutama dari ragam pola dari batik-batik yang ada di Indonesia, tak cuma Jawa. “Negara kita sangat kaya akan pola batik. Setiap daerah punya pola batik beragam dan memiliki ciri khas,” ungkap Arie.
Anda tertarik bergabung dengan komunitas ini? Syaratnya cukup gampang, kok. Anda tinggal ikut latihan seni saja yang rutin digelar Laksita Mardhawa setiap Sabtu. Anda tak perlu mahir memainkan kesenian Jawa, cukup punya minat dan cinta budaya Jawa.
Yang menarik, komunitas ini juga tidak membatasi usia bagi masyarakat yang berminat bergabung dengan mereka. Bahkan, Arie bilang, program latihan seni dan budaya Jawa ini sengaja ditujukan bagi anak usia dini. Tujuannya adalah agar memori terhadap seni dan budaya Jawa lebih terpatri di dalam diri anak-anak.
Dengan syarat yang mudah itu, wajar jika anggota Laksita Mardhawa terus bertambah. Latar belakang anggotanya pun beragam; mulai dari kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan, eksekutif perusahaan, pengusaha, hingga para ibu rumahtangga. Saat ini, anggotanya masih berasal dari Jakarta.
Oh, iya, komunitas ini memungut iuran anggota. Setiap anggota dikenai iuran sebesar Rp 25.000 untuk satu kali latihan. Kenapa iuran dipungut setiap kali datang dan tidak sebulan sekali? Menurut Arie, hal itu agar tidak membebani anggota. Sebab, bisa saja, anggota hanya datang latihan satu kali dalam sebulan. Nah, “Kalau sebulan latihan hanya sekali, tapi bayar iurannya sama, itu, kan, membebani,” tutur Arie.
Salah satu yang bergabung dengan komunitas ini ialah Estu Susanto. Dia bergabung dengan Laksita Mardhawa karena memang mencintai seni dan budaya Jawa.
Maklum, ayah satu anak ini adalah penyabet gelar PhD bidang budaya dari Universitas Harvard, Amerika Serikat. “Selain menambah banyak teman, bergabung dengan Laksita Mardhawa bisa memperkaya wawasan soal budaya bangsa sendiri,” kata Estu.
Dayu Rengganis juga punya alasan serupa. Dengan bergabung menjadi anggota Laksita Mardhawa, Direktur Operasional PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Inti) ini berharap bisa berperan menjaga serta melestarikan seni dan budaya Jawa. Soalnya, pencurian seni dan budaya sebuah bangsa sangat rentan terjadi. Ini buntut dari kebijakan yang dibuat UNESCO terkait aturan kepemilikan seni dan budaya.
Dayu menuturkan, kebijakan organisasi budaya dunia di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu menyatakan, warisan budaya diberikan kepada orang atau sebuah kelompok yang menciptakan, memublikasikan, dan melestarikan.
Jadi, UNESCO tidak mempermasalahkan dari mana asal-muasal seni atau budaya tersebut. “Meskipun tidak menciptakan, kalau dia yang memublikasikan atau melestarikan, dia berhak mengklaim kesenian atau kebudayaan itu berasal dari mereka. Ini mengkhawatirkan,” keluh Dayu yang bergabung dengan Laksita Mardhawa sejak Maret 2012 lalu.
Estu menambahkan, selama ini, masyarakat kita juga menganggap budaya tidak ada hubungannya dengan pembangunan bangsa. Padahal, anggapan itu jelas salah. Sebab, “Korelasi antara budaya dengan pembangunan bangsa memiliki hubungan erat,” ujarnya.

Pertunjukan seni
Di luar kegiatan rutin latihan seni karawitan dan menari, komunitas ini juga menggelar pergelaran seni dan budaya. Salah satunya adalah pertunjukan dengan tajuk Pujastungkara Agung yang berarti persembahan besar. Dana untuk menyelenggarakan kegiatan ini berasal dari para sponsor.

Ada tiga program utama Pujastungkara Agung.
Pertama, lomba menulis untuk pelajar tingkat sekolah menengah atas (SMA) dan perguruan tinggi dengan tema Mengapa Budaya Tradisi Harus Lestari?. Lomba penulisan artikel ini bertujuan untuk merangsang pemikiran kritis para generasi muda tentang bagaimana pelestarian budaya tradisi memiliki arti penting di dunia modern. Lomba ini berlangsung dari 10 Agustus hingga 7 Oktober 2012.
Kedua, persembahan seni tari tradisi Keraton Ngajogjakarta Hadiningrat. Keunikan dari tarian ini yaitu selalu diiringi dengan penjelasan historis dan filosofis dalam bentuk narasi oral maupun visual. Tujuannya untuk memudahkan penonton yang berasal dari latar belakang budaya lain atau warga asing untuk mencerna isi dan makna pertunjukan itu. Acara ini akan digelar pada 27 Oktober 2012 di Nusa Indah Theater, Balai Kartini, Jakarta. Harga tiket berkisar Rp 300.000–Rp 1 juta per orang.
Ketiga, pembuatan dan pemutaran film dokumenter berjudulBedhaya, The Sacred Dance. Ini merupakan film dokumenter yang dibesut dengan sebuah rancangan detail, plus elaborasi sejarah dan filosofis tari bedhaya.
Film dokumentar ini rencananya tayang di saluran televisi internasional dan TV berbayar, serta di pusat-pusat kebudayaan dan sekolah. “Kami berharap Pujastungkara Agung akan memiliki dampak jauh lebih kuat daripada hanya sebuah pertunjukan semalam,” imbuh Estu yang menjadi produser Pujastungkara Agung.
Meski menggelar event berskala besar, Arie menegaskan, tujuan utama komunitas ini bukan untuk mencari untung, lo. Karena itu, semua dana yang masuk termasuk dari iuran anggota bakal dikembalikan lagi untuk keperluan anggota dalam menjalankan kegiatan.
Arie menjelaskan, dana tersebut digunakan untuk membayar jasa guru pelatihan seni dan budaya Jawa yang direkrut pengurus komunitas. Misalnya, guru latihan seni tari, karawitan, dan membatik. Untuk kesenian karawitan, guru pembimbingnya adalah ayah Arie yang sudah berumur 82 tahun. Sedangkan guru membatik didatangkan dari Museum Tekstil, dan untuk menari dari Institut Seni Indonesia (ISI).

Sumber Mingguan KONTAN, Edisi 15 - 21 Oktober 2012
-

Arsip Blog

Recent Posts