Haidar Bagir: Koruptor Itu Kafir

IA menyaksikan sendiri terbentuknya kelas menengah muslim pada 1970-an. Anak-anak keluarga muslim yang telah menjadi pengusaha dan profesional sukses ini merupakan konsumen penerbitan buku Islam, bisnis yang baru digelutinya.

Agama memainkan peran sosial yang sentral, dan Mizan, penerbit yang lantas didirikannya bersama kawan-kawannya saat itu, menawarkan aneka pemikiran yang berkembang: dari tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin hingga para pemikir Iran yang ikut mengilhami Revolusi Islam 1979.

Ada kombinasi seorang entrepreneur dan ilmuwan pada sosok yang satu ini. Haidar Bagir, 52 tahun, memang memiliki ketajaman seorang akademisi manakala memandang aneka fenomena sosial mutakhir. Melihat maraknya korupsi di tengah suasana religius yang bungah, ia mendeteksi kesalahan mendasar dalam pendidikan agama di negeri ini.

Penekanan pada akhlak-moral inilah yang kemudian membuat ia yakin bahwa kebaikan itu universal, ada di mana-mana. Dan, “Kalaupun kami percaya pluralisme, kami tidak percaya semua keyakinan agama sama. Tapi kami percaya semua orang baik dari agama mana pun diselamatkan bersama orang-orang muslim,” katanya.

Haidar Bagir meraih gelar doktor filsafat Islam pada 2005 dari Jurusan Filsafat Universitas Indonesia dengan disertasinya tentang perbandingan pemikiran Mulla Sadra dan Heidegger. Ia menamatkan sarjananya di Jurusan Teknik Industri ITB, dan meraih gelar master dari Pusat Studi Timur Tengah, Harvard University, pada 1992.

Dua pekan lalu The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) menerbitkan buku berjudul The 500 Most Influential Muslims in The World: First Edition (2009). Ke-500 muslim terpilih dalam buku yang diterbitkan lembaga Prince Al-Waleed bin Talal Center for Christian-Muslim Understanding itu kemudian dibagi menjadi 13 kategori. Haidar Bagir, yang saat ini menjadi Presiden Direktur Kelompok Mizan, masuk kategori di bidang media. Berikut petikan wawancara Sita Planasari Aquadini dari Tempo dengan ayah empat anak ini.

Beberapa tahun belakangan, negeri dengan mayoritas penduduk muslim ini masuk kategori paling korup di dunia. Mengapa bisa ironis begini?

Saya pernah menulis artikel di Kompas, yang mendapat respons luar biasa. Di situ saya mengatakan, pendidikan agama Indonesia gagal. Acara di Masjid Istiqlal didatangi ribuan orang. Acara agama di televisi bertebaran. Jumlah muslimin yang menunaikan ibadah haji setiap tahun semakin besar. Tapi kita masih termasuk negara paling korup di dunia. Kita harus mengakui bahwa ada yang salah dalam pendidikan agama kita.

Saya katakan ada beberapa hal. Pertama, keislaman kita lebih pada urusan legal formalistik ketimbang pada pemikiran dan akhlak. Agama bagi saya akhlak. Puncak keberagamaan seseorang bukan dinilai dari ibadah atau dari akidah, tapi akhlak. Saya tidak mengatakan bahwa akidah tidak penting. Enggak mungkin orang beragama tanpa akidah. Tapi tes apakah akidah seseorang kuat atau tidak itu dilihat dari akhlak. Kalau orang keras dalam ber-Islam tapi masih menenggang korupsi, pasti akidahnya enggak bener.

Dasarnya apa?

Rasulullah mengatakan: Pencuri (“Saya ganti dengan koruptor,” kata Haidar) tidak mungkin korup dalam keadaan beriman. Jadi koruptor dalam ajaran Islam itu sudah pasti kafir. Maling, kok. Kalau dia percaya kepada Tuhan, masak dia maling. Kalau dia percaya pada hisab, enggak mungkin dia maling. Kalau mencuri karena terpaksa, itu lain soal. Mencuri itu hukumnya mulai haram sampai jihad. Ibnu Hazm mengatakan, kalau orang miskin mencuri karena haknya tak dipenuhi orang kaya, jika ia mati karena tertangkap kemudian dipukuli, matinya syahid. Sama seperti orang yang perang di jalan Allah. Jadi, seperti Mbok Minah, tak dihukum sebagai pencuri. Tapi, kalau ia bukan orang miskin dan tak kepepet mencuri, ya ia kafir.

Sayangnya, ini tak muncul dalam pengajaran Islam. Yang diajarkan dalam pendidikan Islam, kita harus keras pada orang nonmuslim, eksklusivisme. Makanya ada orang Islam yang ibadahnya baik, rajin salat jemaah ke masjid, dan sering naik haji, tapi tetap korupsi. Jika benar Indonesia termasuk paling korup, sementara hampir 90 persen penduduk Islam, apa kita enggak bilang yang korup itu muslim? Itu artinya pendidikan agama kita gagal. Kita tidak mengajarkan esensi ajaran Islam. Esensi ajaran Islam adalah akhlak. Rasulullah mengatakan: Saya ini diutus ke bumi hanya untuk mencapai akhlak yang mulia. Tidak ada tujuan lain. Kita gagal meletakkan akhlak sebagai puncak keberagamaan.

Pascareformasi, umat Islam Indonesia mendapat peluang berkembang sangat luas. Tapi mengapa yang muncul simbolisasi semacam peraturan daerah tentang syariah atau qanun jinayah?

Karena, sebelum reformasi, di era Soeharto, dia ditindas. Yang eksklusif muncul karena ditindas. Kemudian, ini juga karena cacat demokrasi. Saya yakin demokrasi adalah alternatif yang terbaik. Tapi demokrasi juga punya cacat. Bagi pendukung demokrasi, dia evil, tapi kita tak punya alternatif yang lebih baik dari itu. Demokrasi tak selalu menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Saya yakin, bila dilakukan referendum di Aceh, masyarakat Aceh tak akan setuju qanun jinayah. Sayangnya, demokrasi menimbulkan elite, apalagi di kalangan masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah. Kalau kita bicara tentang politik, kita harus bicara tentang kapasitas politik. Terkadang yang muncul bukan orang-orang terbaik dari masyarakatnya. Mereka ini sering memaksakan pemikiran mereka. Orang-orang ini, menurut saya, tersesat pikirannya. Tapi kita juga tak boleh melakukan hal tidak demokratis untuk melawan itu.

Contohnya?

Kejadian di Aljazair. Ketika partai FIS menang, mereka dihabisi oleh penguasa yang didukung Amerika. Alasannya, FIS fundamentalis. Bagaimana mungkin, FIS menang lewat pemilu, ditelikung dengan cara tak demokratis. Contoh lain Hamas. Mereka menang pemilu, tapi sumber dananya dikeringkan. Saya tak percaya itu. Saya tak percaya pada peraturan daerah tentang syariah dan qanun jinayah khususnya, yakni merajam pezina. Tapi itu tak perlu diatasi dengan cara-cara tak demokratis.

Bisa kasih contoh kasus di dalam negeri, dan apa hikmahnya?

Demokrasi punya cacat, dan ini hasil dari cacat demokrasi itu. Namun ini harus dilawan secara demokratis pula. Karena, bila kita menelikung demokrasi, demokrasi enggak akan berkembang. Kata kuncinya dengan pendidikan. Kita bisa meminimalkan cacat demokrasi. Saya nyontreng SBY, tapi saya kemudian kecewa padanya. Ternyata dia seperti terkena sindrome Raja Mataram, nggak bisa punya musuh. Memilih menteri kok terkesan banyak didasarkan pada keinginan menyenangkan berbagai kelompok dan balas jasa ketimbang keahlian.

Santai dong kalau ada kritik. SBY dapat pelajaran bagus dari Bibit-Chandra dan Century. Dia diingatkan Tuhan supaya tidak seperti Raja Mataram. Tapi saya juga tidak setuju pada orang-orang yang ingin menurunkan SBY. Wong, dia dipilih oleh 60 persen rakyat Indonesia. Kita boleh tak setuju pada keputusan-keputusan tak demokratis, tapi jangan menelikung demokrasi untuk memperbaiki itu. Jadi, mesti sabar, tunggu lima tahun lagi.

Demokrasi tak sempurna, ada muslim yang menganggap syariah sebagai alternatif terbaik….

Saya sering bingung jika orang menyeru kembali ke syariah. Syariah yang bagaimana? Kalau seluruh umat muslim dunia punya pandangan sama tentang syariah, saya sebagai orang muslim yang beriman tentu tak keberatan. Tapi pemahaman orang tentang syariah kan lain-lain. Mazhab yang sama saja, Syafii di Indonesia, memiliki pandangan berbeda tentang politik. Cara pandang tentang peran wanita dalam masyarakat berbeda. Jadi, ketika bicara kembali pada syariah, apa yang dimaksud? Hukum rajam? Enggak semua orang Islam setuju hukum rajam. Pada kenyataannya, setiap individu muslim punya pandangan sendiri tentang syariah, mau enggak mau kembali lagi pada demokrasi. Saya setuju kembali ke syariah, itu pun dengan demokrasi. Kalau negeri ini mau didasarkan pada syariah, harus dilakukan secara demokratis, lewat public hearing. Dan kemudian ketika syariah hendak diterapkan, kita tidak bisa menghindari demokrasi lagi.

Anda pernah tinggal di Amerika. Bagaimana rakyat Amerika memandang Islam kini?

Pada dasarnya masyarakat Amerika itu baik. Bahkan dalam banyak hal lebih islami daripada masyarakat dunia Islam pada umumnya. Kepedulian mereka terhadap orang susah itu luar biasa. Istri saya ketika melahirkan di sana dan harus membayar biaya rumah sakit, saya bilang mahasiswa dengan beasiswa pendapatan sekian, dengan cepat datang tagihan yang dinolkan. Ketika mau musim dingin, saya dipanggil, punya cukup gas untuk mesin pemanas enggak?

Memang harus dipisahkan orang Amerika dan pemerintah Amerika. Orang bertanya: kalau masyarakatnya baik, kenapa pemerintahnya begitu? Masyarakat Amerika itu tak cukup tahu tentang Islam. Dalam hal yang tidak terkait dengan negerinya, mereka itu kuper. Jangan bayangkan mereka selalu menonton CNN, membaca Washington Post atau New York Times. Stasiun televisi yang paling populer di sana Fox. Koran yang dibaca koran lokal. Setelah 11 September, mereka kenal Islam tapi negatif, Islam teroris. Pemahaman mereka terhadap Islam sangat dangkal. Jadi tugas kita memberikan dakwah kepada orang-orang Amerika itu.

Bagaimana cara berdakwah kepada mereka?

Seperti Yahudi yang mampu menguasai media dunia, kita juga harus begitu. Orang Islam harus bekerja keras, karena masalahnya di situ. Kita gagal menguasai media dan gagal masuk pusat pemerintahan serta menjalin lobi, ya selama itu kita gagal berdakwah. Tapi itu tak boleh membuat kita menyerah. Kita bisa bikin film bagus yang menggambarkan Islam dengan benar. Film Laskar Pelangi menjadi film pembuka dalam Celebrating Indonesia yang diselenggarakan Rupert Murdoch. Laskar Pelangi kan bercerita tentang Islam yang berbeda dari biasanya. Kita juga harus menerbitkan pemikiran Islam yang bagus dalam bahasa Inggris agar dibaca mereka. Buku-buku tasawuf kini sangat populer di sana. Itu bisa jadi sarana dakwah luar biasa. Kita harus memiliki peran dalam percaturan media komunikasi dan dakwah di Amerika.

Sekarang tentang muslim di Eropa. Mengapa mereka berbeda dengan muslim Amerika?

Ada persoalan ketidakpahaman dari masyarakat Eropa. Ada persoalan manipulasi oleh penguasa. Misalnya masalah menara masjid di Swiss, itu kan benar-benar memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat. Orang yang tak tahu kan akan merasa terancam. Manusia itu memusuhi apa pun yang tak diketahui. Mereka tak tahu banyak tentang Islam sehingga mereka khawatir. Kalau melihat poster yang dibagikan kepada masyarakat Swiss kan perempuan dengan burka. Menara menjadi simbol ketertutupan dan keterbelakangan. Pokoknya bertentangan dengan semua nilai masyarakat Eropa. Jadi ketidaktahuan yang menimbulkan perasaan tidak aman, digabung dengan manipulasi yang dilakukan orang culas di pusat pemerintahan, menyebabkan hal ini.

Bukankah Islam agama kedua di rata-rata negara Eropa?

Memang ada perbedaan antara umat Islam di Amerika dan Eropa. Di Amerika, umat Islam merupakan kelas menengah dan intelektual. Tapi di Eropa mayoritas umat Islam merupakan kelas pekerja. Sehingga muncul perasaan orang Eropa yang menganggap umat Islam di sana tak membuat negeri mereka menjadi lebih kaya. Makanya, harus dakwah. Kita harus menunjukkan bahwa Islam sesuai dengan nilai-nilai Barat. Bahkan, sejak lahirnya, Islam adalah agama modern.

Apa arti penghargaan ini buat Anda?

Mungkin membuat saya harus lebih bertanggung jawab, harus lebih bermanfaat bagi masyarakat. Menurut saya, nama Quraish Shihab seharusnya ada dalam daftar penerima penghargaan itu (orang Indonesia yang masuk antara lain Gus Dur, Hasyim Muzadi, dan Din Syamsuddin). Masukan saya: sebaiknya panel juri diperluas, sehingga dapat meredam bias dan meminimalkan pengaruh sponsor.

Nama: Haidar Bagir

Lahir: Solo, 20 Februari 1957

Pendidikan:

S-1, Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung (1982)
S-2, Pusat Studi Timur Tengah, Harvard University (1992)
S-3, Filsafat, Universitas Indonesia (2005)
Pekerjaan:

Presiden Direktur Mizan Group
Ketua Yayasan Ilmu Madina
Ketua Pusat Kajian Tasawuf Positif IIMAN
Pendiri Yayasan Lazuardi Hayati


Sumber: Majalah Tempo, Kamis, 24 Desember 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts