KITLV Leiden Ditutup untuk Selamanya

Leiden, Belanda - Pada 27 Juni 2014, Koninklijk Institute voor de Taal-, Land- en Vokenkunde (Lembaga Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia) yang berpusat di Leiden (biasa disebut KITLV Leiden) ditutup untuk selamanya. Dalam situs KITLV dikatakan bahwa penutupan secara resmi dilakukan tanggal 1 Juli 2014.

Penutupan KITLV itu telah mengagetkan para Indonesianis internasional. Banyak petisi dikirimkan kepada Pemerintah Belanda, namun tampaknya penguasa di Den Haag tetap pada keputusannya: mengakhiri hidup KITLV dengan alasan untuk menghemat pengeluaran pemerintah.

Termasyhur dan Mendunia

KITLV adalah nama yang sudah begitu melekat dalam ingatan masyarakat akademis internasional yang mengkaji Indonesia. Lembaga ini juga telah memberikan kontribusi besar dalam menjadikan Universitas Leiden sebagai Mekahnya studi Indonesia.

Agaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tak satupun risalah akademis yang bermutu mengenai Indonesia, lebih-lebih lagi disertasi doktor, yang tidak mencantumkan ucapan terima kasihnya kepada petugas perpustakaan KITLV Leiden dalam halaman penghargaan (acknowledgement) dan kecil pula kemungkinan untuk tidak menemukan Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI), jurnal bertaraf internasional terbitan KITLV yang usianya sudah lebih 150 tahun, dalam senarai bibliografinya. Dengan kata lain, KITLV Leiden, karena kekayaan perpustakaannya yang berlimpah itu, wajib dikunjungi oleh para peneliti yang ingin menulis risalah akademis bermutu tentang Indonesia.

KITLV berdiri tahun 1851 di Delft atas inisiatif tiga orang intelektual Belanda: Menteri Wilayah Jajahan yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J.C. Baud; Professor Studi Jawa di Delft dan Leiden, Taco Roorda; dan Direktur Akademi Kerajaan Belanda di Delft, Gerrit Simons. Penubuhan lembaga ini tidak lepas dari tujuan untuk mengembangkan studi tentang tanah, budaya, dan masyarakat jajahan (Hindia Belanda) di negara induknya (Belanda) untuk melanggengkan kekuasaan kolonial mereka di nusantara.

Maarten Kuitenbrouwer dalam bukunya Dutch Scholarship in the Age of Empire and Beyond: KITLV - The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Carribean Studies, 1851 - 2011 (2014) membagi perjalanan sejarah KITLV menjadi lima fase: era rezim konservatif dan liberal (1851-1870); era imperialisme, orientalisme dan politik etis (1870-1914); masa mencelatnya kajian Indologi di Leiden mendekati akhir zaman kolonial (1914-1940); era dekolonisasi dan internasionalisasi (1940-1975; dan era kegiatan akademik postkolonial (1975 - [2014]). Dengan demikian, KITLV telah menjalani kehidupan dalam zaman kolonial dan postkolonial.

KITLV telah beberapa kali pindah kantor: dari Delft ke Den Haag tahun 1903, kemudian pindah ke Leiden tahun 1967. Sejak itulah nama Leiden melekat pada KITLV, sehingga seluruh dunia mengenalnya dengan nama KITLV Leiden. Oleh karena itu pula banyak orang mengira KITLV adalah bagian dari Universitas Leiden, padahal secara administratif lembaga ini berdiri sendiri dan langsung bertanggung jawab kepada Pemerintah Kerajaan Belanda (melalui KNAW - Akademi Kerajaan Belanda untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan).

Dalam usianya yang cukup panjang, KITLV telah berkembang pesat. Hal itu tidak hanya dapat dikesan dari meningkatnya jumlah pegawainya (staf umum dan peneliti) dari hanya beberapa orang saja pada tahun-tahun awal berdirinya menjadi sekitar 55 orang pada tahun 2014.

Pengembangan internal KITLV dilakukan pada tahun 1970-an. Selain Departemen Perpustakaan yang sudah lebih dulu ada, dibentuk 3 departemen baru: Departemen Dokumentasi Sejarah Indonesia, Departemen Dokumentasi Indonesia Modern, dan Departemen Karibia yang meneliti daerah-daerah bekas jajahan Belanda di Karibia (termasuk Suriname) dan memberi masukan untuk penambahan koleksi perpustakaannya yang terkait dengan wilayah tersebut. Selain itu ada pula KITLV Press yang mengurus penerbitan buku dan Jurnal BKI.

Setiap tahun Perpustakaan KITLV terus menambah koleksinya yang terkait dengan Asia Tenggara (dengan fokus Indonesia) dan Karibia, meliputi buku, jurnal ilmiah, surat kabar, dan majalah; materi visual (foto, sketsa, peta, atlas); dan audio visual (piringan hitam, kaset, CD, VCD). Sekitar 10.000 judul buku dibeli setiap tahun dari Indonesia yang dikoordinasikan oleh Kantor Cabang KITLV di Jakarta yang dibentuk tahun 1969. Koleksi Perpustakaan KITLV mencapai lebih sejuta judul (buku, jurnal, majalah, surat kabar), puluhan ribu foto, kartu pos, sketsa, gambar, peta dan atlas, dan ratusan piringan hitam, kaset, CD, dan VCD yang panjangnya lebih dari 10 km jika dijejer.

KITLV Press, bekerjasama dengan penerbit lain, telah menerbitkan tidak kurang dari 580 judul buku, sebagian besar di antaranya tentang Indonesia, yang meliputi bidang linguistik, antropologi, sejarah, hukum, dan umum.

Akhir Hayat Sebuah Legenda

Akibat krisis ekonomi yang melanda Eropa, Pemerintah Belanda memotong subsidi untuk museum dan melakukan merger berbagai lembaga kebudayaan untuk menghemat biaya. KITLV pun terkena dampaknya. Semula Pemerintah mengusulkan agar KITLV dipindahkan ke Amsterdam untuk disatukan dengan lembaga-lembaga lain yang berada di bawah otoritas KNAW. Akan tetapi para pegawai KITLV menolak karena mempertimbangkan nama KITLV yang sudah begitu menyatu dengan nama (Universitas) Leiden.

Akhirnya dipilih jalan kompromi: seluruh koleksi perpustakaan KITLV tetap berada di Leiden (Mare, 23 October 2013). Mulai 1 Juli 2014, setelah eksis selama 163 tahun, KITLV ditutup untuk selamanya. Seluruh koleksi perpustakaannya diserahkan ke Unibersiteitsbibliotheek Leiden (UB Leiden) yang letaknya hanya sekitar 30 meter di sebelahnya (di seberang kanal), sementara departemen penelitiannya akan terus eksis. KITLV Press diambil alih oleh Penerbit Brill yang tetap menerbitkan Jurnal BKI. Sedangkan KITLV-Jakarta akan beralih fungsi sebagai perwakilan Universitas Leiden di Indonesia.

Universitas Leiden cukup lega dengan keputusan itu. Bekas koleksi Perpustakaan KITLV makin menambah koleksi UB Leiden dan kian mengukuhkan eksistensinya sebagai perpustakaan yang terkaya di dunia mengenai Indonesia. Dengan demikian, diharapkan Universitas Leiden akan tetap menjadi pilihan paling menarik bagi mahasiswa internasional yang ingin melakukan studi tentang Indonesia dan Leiden tetap menjadi kota yang perlu dikunjungi oleh komunitas akademis internasional yang mengkaji Indonesia.

Namun, tentu saja ada yang hilang dengan ditutupnya KITLV: suasana keindonesiaan di ruang baca dan tamannya, tempat para mahasiswa dan peneliti internasional bertemu dengan rekan-rekan Indonesianya. Belum ada gambaran yang jelas bagaimana nantinya bekas koleksi perpsutakaan KITLV akan dikelola oleh UB Leiden. Mudah-mudahan UB Leiden akan menyedikan ruang Indonesia, sekecil apapun, sehingga arwah KITLV tetap terasa di sana. ***(Suryadi, dosen kajian Indonesia di Universitas Leiden, Belanda)

-

Arsip Blog

Recent Posts