Dituduh Korupsi Puluhan Miliar Ketua DPRD Surabaya dan Wakilnya Ditahan

Kompas, Surabaya—Kejaksaan Negeri Surabaya, Senin siang (24/2) menjebloskan Ketua DPRD Kota Surabaya Mochamad Basuki bersama Wakil Ketua Ali Burhan ke Rumah Tahanan Medaeng, Sidoarjo atas tuduhan terlibat korupsi Rp 22,5 miliar. Basuki terpilih sebagai anggota Dewan dari PDI Perjuangan, tapi kini menjadi anggota PNBK, sedang Ali dari PKB.

Penahanan Basuki dan Ali berawal saat keduanya datang memenuhi panggilan Polwiltabes Surabaya sekitar pukul 09.30 WIB. Didampingi dua pengacaranya, Eka Iskandar dan Sumarso, mereka memasuki ruang Tindak Pidana Tertentu untuk memeriksa berkas acara pemeriksaan. Sekitar pukul 10.15 WIB Basuki dan Ali diserahkan ke kejaksaan.

Kepala Unit Tindak Pidana Tertentu Polwiltabes Surabaya, Ajun Komisaris Sudamiran, mengungkapkan kedua tersangka diserahkan ke kejaksaan dengan sejumlah dokumen dan barang bukti. Barang bukti itu adalah uang tunai Rp 105,9 juta, 36 lembar deposito milik 36 anggota dewan yang masing-masing senilai Rp 25 juta, dan laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan tentang temuan dugaan korupsi Rp 22,5 miliar. "Tersangka kami jerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang korupsi," kata Sudamiran.

Setelah beberapa saat di Kejaksaan Negeri Surabaya, Basuki dan Ali langsung dikirim ke Rumah Tahanan Medaeng dengan mobil tahanan warna hijau. "Kami punya kewenangan menahan," kata Luhut Pakpahan, Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya. Keduanya menempati sel Blok B-1.

Wajah Basuki dan Ali tampak biasa saja. Mereka dengan patuh menurut ketika dinaikkan mobil tahanan. Tapi, Basuki bersikeras keputusan pencairan dana dari Pemerintah Kota Surabaya bukanlah keputusan pribadi. "Ini hasil keputusan kolektif, keputusan kelembagaan DPRD Surabaya, bukan keputusan saya secara individual," ujarnya. Lagi pula, tambah Basuki, dana tersebut telah dibagikan pada semua anggota Dewan.

Menurut Luhut, penahanan dua orang pimpinan Dewan tersebut demi kepentingan penuntutan. "Kami telah menemukan cukup bukti bahwa mereka melakukan korupsi Rp 2,7 miliar dari Rp 22,5 miliar yang dituduhkan. Itu pun yang berhasil kami selamatkan hanya Rp 1 miliar lebih," kata dia.

Pengacara Basuki, Eka Iskandar, mengaku terkejut dengan keputusan kejaksaan menahan kliennya, sebab selama ini kliennya bertindak kooperatif terhadap polisi. "Secara yuridis sebenarnya tidak perlu ada penahanan karena klien saya tidak akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti," kata Eka.

Kasus yang membawa Basuki dan Ali ke tahanan bermula dari laporan Brigadir Satu Dwi Purwanto, anggota Polwiltabes Surabaya, pada 22 Juli 2002, yang menunjuk laporan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan. Modus operandinya, pimpinan DPRD Kota Surabaya mengajukan pencairan dana atas pos-pos yang menjadi jatah eksekutif. Pencairan itu dilampiri kuitansi fiktif: keselamatan kerja, koordinasi pengendalian kinerja, bantuan operasional pengendalian proyek, dan penunjang kegiatan kemasyarakatan. Total dana Rp 2,7 miliar, namun baru terpakai Rp 1,2 miliar.

Menyusul penahanan Basuki dan Ali, DPRD Surabaya menggelar rapat mendadak. "Hasilnya, pertama, melakukan cross check pada Basuki. Kedua, besok kami memanggil tim advokasi yang diketuai Soemarso," kata Puji Astuti, Wakil Ketua DPRD Surabaya, seusai memimpin rapat.

Sekretaris Fraksi PKB DPRD Surabaya, Musyafak Rauf, memprihatinkan penahanan Ketua dan Wakil Ketua DPRD Surabaya. Ia menilai penahanan itu kental dengan aroma politik. Menurut dia, penahanan mereka akibat konstelasi politik di DPRD Surabaya yang lebih kritis kepada ekskutif.

Sebaliknya, Konsorsium Pengawas Kinerja DPRD, mendukung langkah polisi dan kejaksaan menahan Basuki dan Ali. Ketua konsorsium, Yudi Burhan, menilai penahanan itu bukti penegakan hukum tanpa pandang bulu. Konsorsium ini pernah mendesak Polwiltabes Surabaya agar serius menangani korupsi di DPRD.

Pakar hukum Universitas Surabaya, Dr. Eko Sugitario, menilai penahanan dua pimpinan DPRD Surabaya tersebut sudah memenuhi KUHAP, yakni tersangka kasus korupsi yang diancam pidana lebih dari lima tahun, bisa ditahan. Namun, Eko minta polisi tidak diskriminatif karena sampai sekarang dua Wakil Ketua DPRD yang lain, Puji Astuti dan Herman Rifai, belum dijadikan tersangka. Sekretaris Kota Surabaya ketika itu, M. Yasin, juga belum ditahan. kukuh sw/adi sutarwijono/zed abidien

Sumber: Kompas, Selasa, 25 February 2003
-

Arsip Blog

Recent Posts