Belajar peradaban dari budaya Buton

Jakarta - Pepatah mengatakan "bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya". Oleh karena itu sudah selayaknya kita belajar sejarah agar kita memiliki cara belajar kausalitas atau sebab-akibat.

"Dengan sejarah, kita akan tahu asal mula kejadian mengacu pada hal yang terjadi sebelumnya," kata sejarawan Bonnie Triyana dalam peluncuran buku "Nasihat Leluhur untuk Masyarakat Buton Muna" karya karya pakar bahasa dan budaya dari Universitas Haluoleo Kendari Prof La Niampe, di Jakarta, Kamis.

Hadir pula dalam peluncuran itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi, Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, Bupati Buton Syamsu Umar Abdul Samiun, dan budayawan lokal Oheo Sinapoy.

Dalam keteragan persnya, Bonnie megatakan, buku itu merupakan kumpulan terjemahan naskah-naskah kuno dari kerajaan dan Kesultanan Buton. Salah satu nasihat yang terkandung dalam buku itu adalah nasihat dari Syekh Haji Abdul Gani perihal suami harus berbaik hati pada istri, begitu juga sebaliknya.

"Nasihat itu sederhana, karena pada masa itu praktik poligami marak dilakukan. Sedangkan poligami sendiri bisa menyakiti hati istri," katanya.

Hal lain yang bisa dipelajari dari buku itu adalah pemilihan raja dan sultan dari Buton yang sudah menggunakan cara demokrasi, bukan berdasarkan trah atau garis keturunan.

Menurut Oheo Sinapoy, budaya Buton itu bisa dikatakan sebagai peradaban karena telah menjalankan demokrasi dengan baik. Demokrasi bisa berjalan dengan baik karena masyarakatnya "open-minded".

Yuddy merespons positif peluncuran buku yang digelar di Jakarta, sehingga akan mengggaungkan pesan-pesan dalam buku secara nasional.

"Saya juga berharap pesan ini harus sampai pada masyarakat di Sulawesi Tenggara sehingga menumbuhkan motivasi besar untuk menggali karya-karya lokal mereka karena mengandung nilai peradaban," katanya.

-

Arsip Blog

Recent Posts