Terkucil di Daerah Sendiri, Kemiskinan dan Korupsi Merajalela di Bengkalis

Bengkalis—KHAIRUL duduk termangu sore itu. Tidak ada lagi kegiatan yang dapat dilakukannya. Keinginan untuk menyelesaikan urusan pembuatan sertifikat tanahnya di Kecamatan Mandau terpaksa ditangguhkan. Tak ada uang untuk pergi ke Kota Bengkalis.

Menuju Bengkalis butuh waktu sekitar lima jam perjalanan. Setidaknya harus ada dana Rp 100.000 agar merasa aman dalam bepergian. "Untuk pulang pergi langsung satu hari, saya harus berangkat selepas subuh. Jika kesiangan sedikit, selepas jam 12 petinggi-petinggi kantor yang saya tuju paling-paling sudah tidak ada di kantor lagi dan terpaksa saya menginap," katanya.

Sudah hampir satu tahun sertifikat tanahnya, yang luasnya 1,5 hektar, dia urus, tetapi tidak kunjung selesai. Hampir Rp 2 juta telah dikeluarkan untuk dapat memastikan tanah tersebut benar miliknya, bukan bagian dari areal perkebunan salah satu perusahaan swasta di daerahnya. Segala prosedur yang harus dijalani telah dilakukan, tetapi selembar surat pengesahan kepemilikan tidak juga didapat.

Di luar ruwetnya birokrasi yang harus dilewati Khairul dalam mengusahakan sertifikat tanah, ia juga merasa kelelahan karena jauhnya jarak tempat tinggalnya dengan pusat kabupaten. Warga Mandau harus pergi ke Kota Dumai dulu menuju Sungai Pakning. Dari Pelabuhan Sungai Pakning, mereka menggunakan feri untuk menyeberang ke Kota Bengkalis yang berada di Pulau Bengkalis. Total biaya untuk keberangkatan saja minimal Rp 50.000.

Ketergantungan 276.923 penduduk Mandau pada angkutan umum amat besar, sementara tidak setiap waktu ada travel dari Dumai ke Sungai Pakning. Keterlambatan mendapat angkutan berimbas pada terlambatnya urusan dengan pihak perkantoran di Bengkalis. Jika mereka terpaksa menginap, biaya total mencapai ratusan ribu rupiah. Ini cukup memberatkan Khairul yang hanya berstatus sebagai buruh getah karet. Itulah yang dirasakan banyak warga lain di Bengkalis yang wilayahnya terpisah-pisah oleh pulau dan selat.

Kemiskinan yang membelit 22,05 persen dari total 637.103 penduduk Bengkalis ini bertolak belakang dengan kondisi kabupaten yang dinyatakan daerah terkaya di Riau karena banyaknya hasil minyak dan industri perkayuan. Di sisi lain, muncul ironi ketika begitu banyak kasus korupsi terkuak yang melibatkan jajaran birokrat Bengkalis.

Menurut Ketua Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bengkalis Azmi RF, korupsi merajalela sejak tahun pertama APBD Bengkalis ditetapkan pada tahun 2000. APBD yang tercatat tertinggi di Riau, bahkan di Indonesia, ini diduga tidak digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, terbukti dari minimnya fasilitas umum, terutama jalan tembus dan sarana transportasi.

Kasus ini pertama kali mencuat tahun 2003 saat muncul banyak laporan tindak pidana korupsi oleh jajaran pemerintahan setempat hingga para wakil rakyat di DPRD Bengkalis. Di antaranya, dugaan korupsi penyelewengan APBD 2003 sebesar Rp 10 miliar oleh Bupati Bengkalis, yaitu dana untuk penyertaan modal pada blok Coastal Plain Pekanbaru (CPP) yang dianggarkan dua kali, yaitu pada APBD 2002 dan APBD 2003.

Juga Ketua DPRD Bengkalis 1999-2004 Musdar Mustafa dituntut mempertanggungjawabkan dugaan mark up dana Rp 26 miliar dari APBD 2001, yang menyertakan 45 anggota DPRD sekaligus pihak pemerintah kabupaten.

Tahun 2005 sejumlah mantan anggota DPRD Bengkalis, termasuk Sekretaris DPRD, telah diperiksa Kejaksaan Tinggi Riau namun belum ada kepastian hukum hingga kini. Memprotes lambatnya proses hukum di tingkat kabupaten maupun provinsi, masyarakat Bengkalis antikorupsi melaporkan dugaan korupsi Bupati Bengkalis ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.

Menurut Azmi, yang dilantik bersama 44 anggota DPRD tahun 2004-2009, kasus korupsi yang dilaporkan ke KPK tak hanya dua itu, namun juga kasus penggelapan dana pajak sektor kehutanan. Semua kasus terjadi pada periode DPRD dan pemerintahan kabupaten tahun 1999-2004.

Arah pembangunan fisik pun tampak menyimpang. Salah satunya adalah pembangunan rumah dinas mewah seharga Rp 26 miliar lebih sebagai salah satu fasilitas dinas seorang bupati. Sementara itu, hanya berjarak sekitar 15 kilometer dari Kota Bengkalis ditemukan SD 039 Pematang Duku yang hanya memiliki tiga kelas dan satu ruang guru. Anggaran pembangunan ruang kelas sebesar Rp 50 juta per kelas yang diajukan sejak dua tahun lalu tidak kunjung cair.

"Tugas segenap anggota DPRD yang baru maupun pemerintahan yang akan terbentuk setelah pilkada Juni nanti adalah meratakan pembangunan sesuai tugas pokoknya. Agenda memberantas korupsi pun jelas menjadi prioritas, tetapi kami membutuhkan dukungan dan bantuan dari pusat, khususnya KPK. Jika hal ini gagal kembali dan korupsi terus merajalela, maka rakyat tetap akan menjadi obyek penderita," kata Azmi. (nel)

Sumber: Kompas, Rabu, 01 Juni 2005
-

Arsip Blog

Recent Posts