Seni Budaya Daerah di Bandung yang Mulai Terpinggirkan

Bandung, Jabar - Berbicara mengenai seni budaya daerah di Kota Bandung, seolah seperti hal langka. Betul, sudah banyak event-event budaya yang digelar. Namun, yang mencuat ke permukaan, cenderung pada bagaimana mementaskan seni budaya daerah lewat festival. Sedangkan, pembinaan yang langsung menyentuh pada persoalan substansi malah tidak diutamakan.

’’Tidak kurang dari 600 lingkung seni ada di Kota Bandung, tapi sentuhan akar permasalahan yang mengangkat derajat mereka seolah hanya tanggungjawab sanggar pengelola. Ini sangat ironis,” kata anggota Komisi D DPRD Kota Bandung, H. Yusuf Supardi, di Gedung DPRD Kota Bandung, Jalan Sukabumi, belum lama ini.

Menurut Yusuf, mengangkat seni budaya daerah harus kreatif. Ide-ide cemerlang harus terus digulirkan. Jangan bersandar pada pameran yang tidak ada tindak lanjutnya. ’’Rutinitas klasik harus ditinggalkan, karena cuma menghabiskan anggaran saja dari tahun ke tahun,” ujarnya.

Meski tidak dipungkiri pembinaan itu tetap ada, tetapi belum optimal. Hal itu dikatakan anggota Komisi D dari Fraksi Partai Golkar Sofianudin Syarif, saat berbincang dengan Bandung Ekspres, di tempat yang sama.

Dicontohkan dia, Seni Reog, belum lama ini menjuarai festival di Amerika Serikat. Pertanyaannya, kata dia, adakah proteksi pemerintah?. ’’Jangankan untuk menghidupi keluarganya, untuk mempertahankan eksistensi grupnya saja sudah sekarat. Peralatan untuk latihan saja tidak punya,” kata Sofian.

Melihat ke belakang, almarhum Darso, dengan calungnya bisa terkenal. Kehadirannya di belantika musik Sunda, bukan karena dukungan pemerintah secara total. Dia berkreasi, berinovasi, tapi tidak meninggalkan akar seni budaya daerahnya. ’’Sangat sulit mencari penggantinya. Karakter seniman tidak bisa ditiru. Dia lahir dengan kekhasannya,” jelas dia.

Sejauh ini belum terpapar, ada kegiatan konser musik yang diawali dengan pagelaran seni budaya daerah. Dalam pandangan Sofian, harusnya ini bisa berjalan bersama. Satu panggung dengan memadukan dua pagelaran musik rasanya akan mampu mengangkat seni budaya daerah. Sehingga, kepedulian terhadap seniman lokal tergambar dalam konsep kolaborasi. ’’Bila perlu, jangan berikan izin pentas kalau tidak melibatkan pagelaran seni budaya daerah,” tegas dia.

Melihat kucuran APBD yang besar untuk keragaman budaya daerah, tidak terlalu salah bila keterlibatan lingkung seni, sanggar seni atau paguron pencak silat, digupay (diajak) dengan tatakrama kesundaan.

Tahun ini (APBD 2015), di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung, memperoleh kucuran anggaran tidak kurang dari Rp 6 miliar. Sebagian dari dana itu, yakni Rp 4 miliar, dialokasikan untuk kegiatan pengembangan kesenian dan kebudayaan daerah.

Namun, melihat program yang diangkat, sepertinya lebih banyak diarahkan pada penyelenggaraan pentas seni di ruang publik dan pertunjukan. ’’Sembilan puluh pagelaran dan enam kali di luar Kota Bandung, sebagai pengembangan dan pemanfaatan seni budaya tradisional,” kata Yusup Supardi.

Sementara itu, dalam memfasilitasi legalitas lingkung seni, penyelenggaraan festival budaya daerah yang menelan biaya hampir Rp 850 juta, tidak terlalu jelas progresnya. Sebab, dalam pandangan politisi PPP ini, kegiatan itu hanya bermain di tataran permukaan. ’’Ruh seni budaya daerah bukan sekedar penampilan. Tetapi bagaimana mencintainya menjadi karakter bangsa melalui budayanya,” tegas dia.

Program lainnya, seperti Ujungberung Festival, Alimpaido (kaluinan budak lembur), Hajat Lembur Pasanggrahan, Pasanggiri Reog, Calung, Pencak Silat dan Wayang Golek serta partisipasi Kota Bandung pada festival kemilau nusantara dan alimpaido di tingkat provinsi, secara konsep bagus.

’’Tetapi seperti saya katakan tadi jelas Yusuf, dampak yang bisa dirasakan penggiat seni budaya akankah merata? Kita lihat saja hasilnya,’’ ujar dia.

Terpisah, Pegiat Pencak Silat dari Paguron Gagak Lumayung Heri Heryawan menilai, sentuhan pemerintah terhadap seni pencak silat saat ini sangat kurang.

’’Bandingkan dengan jaman Walikota Aa Tarmana, pasanggiri pencak silat, bisa digelar di lingkungan Balai Kota Bandung. Dari kepemimpinan Dada Rosada sampai Ridwan Kamil, saya belum mendengar gagasan itu muncul,” katanya saat ditemui Bandung Ekspres di kediamannya, kawasan Cisaranten Kulon, belum lama ini.

Bandingkan, lanjut dia, Rebo Nyunda yang identik dengan pakaian jawara atau inohong pencak silat. Celana pangsi dengan iketnya, biasanya dulu pakaian khas paguron pencak silat dengan istilah Jagabaya atau Jagastru.

’’Ini memang cukup ironis dengan penghargaan terhadap para inohong pencak silat. Kita dulu akrab dengan para inohong itu. Tapi kini mencari alamat paguron saja begitu sulit,” imbuhnya.

-

Arsip Blog

Recent Posts