Dapur Budaya Betawi Tetap ’Ngebul’ di Setu Babakan

Jakarta - Jauh sebelum Jan Pieterszoon Coen mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia, berdiamlah penduduk asli dari Nusa Jawa di wilayah yang kini dikenal sebagai Jakarta. Mereka menyebut diri Betawi. Sejak kehadiran Gubernur Jenderal dari VOC tersebut, kehidupan mereka berubah.

Sebagai basis VOC, tanah Batavia diinjak banyak pendatang. Tak hanya dari dalam negeri, tetapi juga mancanegara. Tanpa disadari, Batavia pun menjadi titik lebur segala kebudayaan yang dibawa oleh para pendatang.

"Penduduk asli ini sangat terbuka. Mereka mau menerima segala budaya tersebut," ujar Indra Sutisna, anggota Komite Kesenian dan Pemasaran Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan saat ditemui CNN Indonesia, pada Sabtu (20/6). "Akulturasi budaya tidak dapat dihindari lagi," ucapnya melanjutkan.

Betawi yang tergusur

Namun tanpa disadari, masyarakat Betawi mulai terimpit para pendatang yang menguasai lahan dan sumber daya di pusat kota Jakarta. Kebudayaan yang awalnya memperkaya Betawi, kini mulai memiskinkan mereka.

"Kompetitor budaya luar itu sedemikian tinggi, sehingga mengikis nilai-nilai kearifan lokal. Ini menjadi keprihatinan pemerintah yang akhirnya ingin melestarikan kebudayaan Betawi. Ini cikal bakal terbentuknya Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan," kata Indra.

Titik awal memperjuangkan budaya Betawi dimulai, pada 1976. Kala itu, Ali Sadikin mengeluarkan instruksi menyusun rencana pola kebijaksanaan pemerintah DKI dan tata kerja proyek cagar budaya Betawi di Condet. Beberapa tahun berjalan, impitan warga sekitar tak dapat dibendung. Permasalahan internal di tubuh kaum Betawi tak lagi terhitung.

Melihat Condet yang tak lagi potensial, pada medio 1990-an, tokoh masyarakat Betawi bersama pemerintah kembali putar akal. Mereka akhirnya sepakat mencari satu kawasan untuk menjadi dapur budaya Betawi. Setelah survei ke beberapa daerah di Jakarta, Setu Babakan di wilayah Srengseng Sawah dianggap potensial sebagai tempat melestarikan budaya Betawi.

Uji lapangan pun dimulai. Caranya, diadakan Festival Setu Babakan, pada 1997. Tapi upaya pembangunan sempat terhenti akibat kekacauan saat perguliran pemerintahan Soeharto.

"Akhirnya, 1999, kita dorong lagi, penguatan, sampai akhirnya tanggal 18 Agustus 2000 keluar regulasinya, payung hukum pertama yang namanya SK Gubernur Nomor 92 Tahun 2000 bunyinya Penataan perkampungan budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah," tutur Indra.

Di atas tanah seluas 2,8 hektar, didirikanlah perkampungan dengan empat ribuan rumah sentuhan Betawi. Berbagai pelatihan dan pergelaran seni secara berkala dihelat di perkampungan ini. Pengelola bahkan memperhatikan aspek detail seperti bahasa.

"Ini kan didirikan di wilayah Betawi pinggiran. Ketika kita melakukan sosialisasi bahasa Betawi dengan huruf "e" di belakang, mereka risih. Di wilayah pinggiran itu tidak dikenal bahasa Jakarte. Tapi akhirnya mereka bisa belajar," ucap Indra.

Sulitnya melestarikan budaya

Membangun sebuah kawasan budaya di tengah masyarakat modern memang tak semudah membalik telapak tangan. Indra menuturkan, ada dua tantangan terbesar membangun perkampungan Betawi di Setu Babakan: mengajarkan kesenian kepada generasi muda dan menyarankan warga untuk membangun rumah bernuansa Betawi.

Akar masalahnya, pola pikir masyarakat sekarang sudah terlampau modern. "Seharusnya berpikir global, berbudaya lokal. Enggak apa-apa kuliah sampai S1, S2, S3, tapi jangan lupa akar budaya. Anak ini kenal tanjidor, topeng, bukan berarti menjadi pemain topeng atau tanjidor. Tapi, anak ini nanti punya anak masih kenal dengan budayanya," katanya.

Soal pembangunan rumah, Indra melanjutkan, ada benturan terhadap hak asasi manusia. Banyak orang menganggap yang mereka tempati adalah tanah sendiri, dari uang hasil kerja mandiri. Mereka tak bisa dipaksa melestarikan rumahnya.

Apalagi pengelola Setu Babakan tak dapat memberikan imbalan atau kompensasi apapun kepada warga jika bersedia memugar rumahnya.

"Warga di sini 50 persen Betawi, 50 persen saudara kami yang bukan Betawi. Itu tantangan besar. Kami berusaha mengembalikan dari masa yang sangat modern ke masa yang sedikit tradisi. Walaupun itu hanya nuansa, enggak secara total," ujar Indra menjelaskan.

Padahal menurut Indra, keuntungan sebenarnya tidak sekadar materi semata. Keuntungan juga bisa didapat dari aspek moral.

"Anda masih bisa menjaga, mempertahankan karakter budaya. Anda ini pelakon sejarah, bukan pencatat sejarah. Anda akan menjadi contoh yang baik bagi anak cucu," kata Indra.

-

Arsip Blog

Recent Posts