Tradisi Unik di Surakarta Sambut Malam Lailatul Qadar

Surakarta, Jateng - Masyarakat di Surakarta memiliki sebuah tradisi unik untuk menyambut sepuluh hari terakhir Ramadan. Mereka berbondong-bondong menyaksikan upacara adat Malem Selikuran yang digelar Keraton Kasunanan Surakarta yang dilaksanakan di malam ke-21 Ramadan.

"Tradisi itu sudah berjalan sejak zaman Paku Buwana IV," kata Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta, KPA Winarno Kusuma, Jumat 10 Juli 2015. Paku Buwana IV merupakan raja yang memerintah pada 1788 hingga 1820.

Tradisi Malem Selikuran dilakukan dalam bentuk kirab lentera dari keraton hingga ke Masjid Agung. Selain lentera, peserta kirab juga membawa seribu nasi tumpeng yang ditempatkan di peti kayu yang dinamakan joli dan ancak santaka. Nasi tumpeng itu selalu menjadi rebutan para pengunjung di akhir acara.

Nasi tumpeng itu terbuat dari nasi gurih, kedelai hitam, mentimun, daging ayam kampung, dan lalapan lombok hijau. Jumlahnya mencapai seribu bungkus melambangkan keutamaan malam Lailatul Qadar yang diyakini lebih baik dari seribu bulan.

Malem Selikuran merupakan penggambaran penyambutan para shahabat kepada Rasulullah yang pulang dari Jabal Nur dengan membawa wahyu Lailatul Qadar. Para sahabat pada saat itu menyambut dengan membawa lentera. “Karena itu setiap Malem Selikuran kami membawa lentera dan lampion yang sering disebut dengan ting ting hik,” kata Winarno.

Sekitar 1927, Paku Buwana X memerintahkan agar rute kirab diperpanjang hingga ke Taman Sriwedari yang saat itu bernama Bonraja. Tujuannya, agar taman itu bisa ramai dan berdampak positif bagi perekonomian warga di sekitarnya. "Namun pada 2009 rute kami kembalikan ke Masjid Agung lantaran keterbatasan biaya penyelenggaraan," katanya.

Dulunya, Malam Selikuran selalu diikuti dengan acara Maleman yang digelar selama sebulan penuh di Bonraja. Masyarakat di Surakarta juga diminta menyalakan lentera di depan rumah setiap malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan. "Kemeriahannya sama seperti acara sekaten yang digelar di Alun-Alun keraton," kata Winarno.

Sayangnya, acara Maleman itu sudah tidak pernah lagi digelar setelah kemerdekaan. Winarno mengatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah status kepemilikan Sriwedari yang sudah bukan lagi milik keraton.

-

Arsip Blog

Recent Posts