Tradisi Kaul Kurban Hingga Atraksi Abda’u di Negeri Tulehu

Negeri Tulehu, Malut - Setiap merayakan Idul Adha, warga Negeri Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah selalu menggelar sejumlah ritual. Diantaranya kaul kurban dan atraksi Abda’u yang tahun ini berlangsung Kamis (24/9).

Ritual ini selalu dilakukan usai me­laksanakan salat setiap tahun secara rutin di tanggal 10 bulan Dzulhijjah dan sudah berlangsung selama ratusan tahun yang lalu setelah terbentuknya pemerintahan otonom yang bersyariat islam sekitar tahun 1600 masehi.

Saat perayaan Idul Adha 1436 Hijriah, Kamis (24/9), warga Negeri Tulehu juga me­lak­sanakan ritual tersebut. Atrakasi Kaul Kur­ban atau penyembelihan kurban ternak merupakan sebuah prosesi ritual dan sakral setelah terinspirasi dari Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail. Daging kurban ternak dibagikan kepada fakir miskin dan atau mereka yang menerimanya sesuai dengan hukum syariat Islam.

Ada dua pelaksanaan penyem­belihan kurban ternak yaitu penyem­belihan secara umum yaitu dilaksa­nakan setelah salat dan penyembe­lihan secara khusus, yaitu tiga ekor kambing (satu ekor inti dan dua ekor sebagai pendamping), yang pelak­sa­naan penyembelihan setelah salat ashar dan merupakan Kaul Negeri un­tuk menolak bala, musibah dan memohon rahmat dan barakah dari Allah SWT bagi seiisi Negeri Tulehu.

Proses pengkaulannya dilaksana­kan di rumah Imam Masjid Negeri Tulehu oleh sekolompok ibu-ibu. Selanjutnya dengan kain salele di arak keliling negeri. Alunan dzikir dan salawat ke Nabi Muhammad SAW mengiringi langkah demi langkah menuju pelataran Masjid Negeri Tulehu untuk dilakukan penyembelihan.

Prosesi arak-arakan kurban ter­sebut, juga disertai prosesi ritual Abda’u. Saat itu ratusan pemuda berkaos singlet, berikat kepala warna putih berjalan beramai-ramai menuju rumah Imam Negeri Tulehu. Rambut dan tubuh mereka basah seusai dimandikan oleh imam negeri supaya raga kuat dan bebas dari rasa sakit selama mengikuti ritual Abda’u yang membuka perayaan Idul Adha.

Para pemuda itu berkumpul sambil menunggu acara pembukaan Abda’u. Imam pun ke luar dari rumah dan memberi petuah kepada para pemuda yang akan melak­sanakan ritual abda’u.

Imam kemudian menyerahkan bendera hijau yang diikatkan ke tongkat kayu sepanjang dua meter. Warna hijau melambangkan kesubu­ran dan kemakmuran.

Bendera inilah yang akan dipere­butkan oleh ratusan pemuda dengan sekuat tenaga. Mereka berdesak-desakan, ada yang melompat dari atas pagar atau atap rumah supaya bisa berada di atas kerumunan dan berjalan di atas tubuh-tubuh yang sedang berebut bendera. Tak jarang, mereka yang berdiri di atas tubuh teman-temannya jatuh ke tanah dan terinjak kerumunan yang sedang bersemangat tinggi.

Rebutan bendera ini dilakukan sambil mengeliling negeri hingga berakhir di Masjid Raya Negeri Tulehu. Perebutan bendera ini paling menarik perhatian masyarakat yang menaksikan. Setiap kali para pemuda berebut bendera, penon­ton menyoraki, menyemangati pemuda yang didukung.

Para penonton berkumpul di sepanjang jalan negeri, bahkan ada yang duduk-duduk di atap rumah karena jalan penuh orang. Yang aneh dari rebutan bendera yang sangat keras ini, tidak ada satupun pemuda yang terluka.

Tradisi Abda’u, berasal dari kata abada yang artinya ibadah. Abda’u me­rupakan sebuah pengabdian se­orang hamba kepada Sang Pencipta. Pemuda negeri Tulehu menyatakan mengabdi kepada Allah yang telah mencipta jagat raya dan isinya.

Asal usul tradisi Abda’u ini diper­kirakan dimulai sekitar tahun 1500 Masehi, seabad setelah masuknya Islam ke Jazirah Leihitu. Abda’u diselenggarakan secara rutin setiap Hari Raya Idul Adha karena dua alasan. Pertama, abdau merupakan refleksi nilai sejarah yang terinsirasi dari sikap pemuda Ansar yang de­ngan gagah dan gembira menyambut hijrah Rasulullah dari Mekah ke Madinah. Peristiwa itulah yang mengawali penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia.

Alasan kedua, Abda’u merupa­kan refeksi dari masyarakat Tulehu tempo dulu yang hidup berke­lompok di hena-hena (kampung-kampung kecil) di antara Gunung Salahutu hingga bukit Huwe, yang belum mengenal agama samawi. Mereka me­nyambut para ulama yang mem­bawa ajaran agama Islam dengan rasa syukur, ikhlas, dan gembira. Masuknya agama Islam di Jazirah Leihitu, khususnya di Uli Solemata di bagian timur Salahutu adalah sebuah proses perubahan perada­ban manusia menjadi lebih baik.

Setelah berkeliling negeri, maka arak-arakan pun tiba di pelataran Negeri Tulehu. Saat detik-detik Imam Masjid Negeri Tulehu mulai mela­kukan penyembelihan ternak kurban. Usai penyembelihan, ratusan pemuda yang mengikuti prosesi abda’u pun bergegas pulang meninggalkan mas­jid.

Sekuat apapun sikutan dan pu­kulan yang mereka terima saat berebut ben­dera, tak menyebabkan luka, bah­kan memar. Mereka tetap bisa tersenyum dan tertawa, sangat akrab dengan sesama peserta. Se­mangat persauda­raan ini meru­pakan cerminan makna tradisi Abda’u.

Grebeg Besar, Lebih rari Akulturasi Budaya

Demak, Jateng - Sejumlah prajurit mengenakan pakaian adat ala keraton berjalan dalam dua barisan. Mereka dilengkapi tombak dan tameng rotan. Salah seorang pria berbusana beskap lengkapdengan pedang bertindak selaku panglima prajurit.

Di sisi belakang, nampak rombongan Bupati beserta Muspida mengendarai kereta kuda. Mereka pun mengenakan busana adat Khas Demak. Pemandangan ini terlihat pada kirab adat grebeg besar dalam peringatanHari Raya Idul Adha, Kamis (24/9).

Kirab dibuka dengan prosesi adat yangdilaksanakan di pendapa kabupaten. Bupati Moh Dachirin Said yang saat itu mengenakan pakaian surban putih ala walisongo memasuki pendapa, disambut dengantarian bedoyo tunggal jiwo.

Setelah tarian usai, Bupati Moh Dachirin Said menyerahkan bokor berisi bunga kepada panglima pasukan sebagai tanda bahwa iring-iringan kirab grebeg besar dilepas. Kirab tersebut mengambil rute dari pendapa menuju kompleks Alun-alun, pecinan, Pasar Bintoro dan berakhir pada makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.

Selama kirab berlangsung, ribuan masyarakat tumpah ruah memadati sepanjang rute yang dilintasi. Tidak peduli panas terik, mereka antusias dan sesekali mengabadikan moment tersebut melalui kamera ponsel.

Bila ditilik dari sejarah, grebeg besar merupakan bentuk keramaian murni hasil ciptaan para wali sembilan. Pelaksanaannya, dimulai setelah walisongo mengadakan sidang di serambi Masjid Agung Ampel Dento Surabaya.

Keputusan sidang yang ditulis SunanBonang dengan huruf Arab Gondil menyatakan bahwa metode dakwah pada masa itu dilakukan dengan menyesuaikan adat istiadat setempat yakni ajaran Hindu. Sehingga mereka yang memeluk Islam benar-benar

tulus dan tanpa paksaan. Adalah Sunan Kalijaga yang bertindak sebagai pelopor pembaharuan dalam menyiarkan Islam dengan menyelenggarakan grebeg besar.

Menurut Bupati, catatan sejarah Kabupaten Demak memang tidak lepas dari perjuangan para wali dalam kegiatan menyebarkan agama Islam pada abad XV. Tidak terkecuali tradisi grebeg besar yang diperingati setiap 10 Dzulhijah. “Pelestarian tradisi ini tidak hanya nguri-uri budaya leluhur. Namun juga sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. Representasi rasa syukur ini dengan digelarnya tradisi tumpeng sembilan pada malam sebelum perayaan grebeg besar,”ujarnya.

Produksi Seni Tradisional Terbatas

Temanggung, Jateng - Dalam perkembangan dewasa ini, produksi seni budaya tradisional di Indonesia, khususnya di Jawa, sangatlah terbatas, terlebih jika dibanding pada zaman kerajaan-kerajaan dahulu. Saat ini, kebanyakan seni budaya tradisional dikembangkan hanya sebatas pelestarian adat istiadat.

Hal tersebut diungkapkan pemerhati seni dari Solo, Suradi ketika menjadi nara sumber dalam workshop kesenian di Gedung Pemuda dan Kebudayaan Temanggung, pekan ini. Kegiatan yang diadakan Dinas Pariwisata, Kebudayaan Pemuda dan Olahraga itu diikuti pejabat terkait dan para pelaku seni di Temanggung.

“Dalam perkembangan masa kini, pengembangan seni budaya tradisional sangat terbatas. Seni budaya tradisional saat ini dipelihara dan ditampilkan, kebanyakan sebatas pelestarian adat istiadat,’’ tandasnya.

Menurutnya, keraton-keraton yang masih ada di Jawa, seperti Kraton Solo dan Yogyakarta, makin terbatas dalam memproduksi seni budaya tradisional. Seni budaya tradisional dipentaskan dan dijaga keberadaannya oleh kraton, sebagai pelestarian adat, dan bukan reproduksi atau inovasi baru seni budaya tradisional.

“Demikian pula di masyarakat, produksi, distribusi dan konsumsi seni tradisional juga semakin terbatas,” tambahnya.

Dalam paparannya yang mengambil tema “Seni Tradisional di Tengah Lajunya Roda Perkembangan Zaman” tersebut, Suradi mengatakan, dahulu kraton memang menjadi pusat dalam produksi dan pengembangan seni budaya tradisional. Sekaligus sebagai pusat kegiatan masyarakat dalam berkesenian dan budaya.

“Masyarakat juga terlibat dalam proses memproduksi seni dan budaya di lingkungan kraton, seperti dalam bentuk karya sastra, gending, beksa dan sebagainya,” ujarnya.

Di luar lingkungan kraton pun, saat itu, masyarakat berkreasi sendiri memproduksi seni budaya tradisional. Karya seni budaya masyarakat yang sering disebut seni rakyat dan dihasilkan oleh para seniman, sastrawan, empu dan sebagainya itu, memiliki berbagai macam corak.

Dengan terbatasnya produksi seni budaya tradisional tersebut, Sunardi menilai saat ini juga perlu peran pemerintah, pemerhati, dan pelaku seni untuk mencari inovasi baru dalam menggairahkan produksi seni budaya tradisional.

Melihat Ritual Kerbau ’Congko Lokap’ di NTT

Manggarai, NTT - Dengan berbusana adat lengkap, ratusan pria dan wanita dewasa warga kampung Taga Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, membawakan secara massal sebuah tarian besar bernama Sae Raga, Rabu 23 September 2015. Mereka menari dari pagi hingga petang sejak dua hari sebelumnya.

Ketika menari, kaum pria mengenakan ornamen adat berjuntai dari kepala hingga kaki serta masing-masing memegang keris pusaka dililit kain merah sementara kuam hawa menari dengan tenang dibagian belakang barisan lelaki.

Tari Sae Raga memiliki dua ritme yakni gerak pelan serta berjingkrak. Terdapat Bunyi gong serta gendang sebagai pengatur gerak tari. Selama menari, beberapa lagu adat dibawakan oleh kaum pria.

Sae Raga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah prosesi adat dalam ritual Congko Lokap, sebuah tradisi Manggarai meresmikan rumah adat. Secara harafiah Congko bermakna pembersihan dan Lokap berarti sampah material kayu yang dipakai dalam membangun rumah adat.

Pantauan Viva.co.id, tarian ditutup pada pukul 15.00 WITA. Panitia lalu mengumumkan agar seluruh tetua suku serta perwakilan dari penari pria untuk masuk ke dalam rumah adat tanda dimulainya acara puncak dari Congko Lokap yakni Roba Kaba atau penyembelihan seekor kerbau. Hewan kurban itu disembelih persis disamping mesbah yang berada di depan rumah adat.

Rombongan petinggi adat itu kemudian melakukan perarakan dari dalam rumah adat, lalu mengelilingi hewan kurban selama lima kali putaran. Ada syair adat khusus dalam prosesi yang disebut dengan Lilik itu.

Untaian permohonan didaraskan oleh imam adat selama acara lilik agar rumah adat dibersihkan dari kekuatan iblis. Diyakini saat upacara lilik roh para leluhur mengerubungi hewan kurban. Biasanya hewan kurban meneteskan air mata selama ritus pamungkas itu dilakukan sebelum disembelih.

Tepuk sorak dan yel-yel adat menyudahi prosesi. Dan setelah itu, darah hewan kurban dibiarkan menggenang dan meresap ke dalam tanah sebagai persembahan kepada leluhur.

Salah seorang pemangku adat Kampung Taga Yoseph Jehalut kepada VIVA.co.id menjelaskan setidaknya ada beberapa tahapan menuju acara puncak Congko Lokap.

Yos Jehalut menjelaskan, tahapan Congko Lokap diawali dengan Pantek untuk merumuskan beberapa kesepakatan. Pantek dilakukan pada H-3 sebelum acara puncak Congko Lokap.

“Pantek digelar malam hari pertama sidang adat,” Kata Yos Jehalut.

Setelah Pantek, kata Yos, keesokan harinya dibuat lagi acara kecil dengan nama Wa’u Peang Tana dimana warga mulai dengan tarian atau Sae.

“Sembari Sae atau menari, sejumlah tokoh adat akan menggelar ritus lainnya di Mata Air, Di Kebun serta Kuburan untuk mengundang para leluhur para leluhur tiga tempat itu,” Kata Yos Jehalut .

“Inti acara Congko Lokap adalah pembersihan untuk warga kampung secara keseluruhan serta rumah adat yang akan digunakan supaya terbebaskan dari kuasa kegelapan,” Ujar Yos menambahkan.

Pentas Kesenian Jathilan Awali Pelangi Budaya Bumi Merapi

Yogyakarta - Pementasan kesenian jathilan akan mengawali Pelangi Budaya Bumi Merapi yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman pada Jumat (25/9/2015).

Pertunjukan berlangsung mulai pukul 09.00 hingga 11.30 di Panggung Utara Lapangan Denggung.

Pada hari pertama ini, akan ada pawai seni tiga dimensi atau ogoh-ogoh dari 17 kecamatan se-Kabupaten Sleman mulai pukul 14.00 sampai 17.00 dari Lapangan Denggung menuju ke lapangan Pemda Sleman menyusuri Jalan KRT Pringgodiningrat.

Beberapa ruas jalan akan ditutup mulai pukul 13.00.

Kemudian pada pukul 19.30 juga disajikan dua jenis atraksi yaitu pentas aneka seni oleh Dimas Diajeng Cilik Sleman di Panggung Utama Lapangan Tennis serta pentas kethoprak PS Bayu dari Pajangan Sleman di Panggung Utara Lapangan Denggung.

Batu Wajah Wanita Dicuri, Candi Pringapus Tutup Untuk Umum

Temanggung, Jateng - Dikarenakan hilangnya salah satu batu candi di Candi Pringapus yang terletak di Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, untuk sementara candi peninggalan Dinasti Syailendra tersebut ditutup untuk umum.

Juru pelihara Pringapus, Kustrianto (28) yang dikonfirmasi oleh sejumlah awak media membenarkan tentang penutupan Candi Pringapus. Hal tersebut dikarenakan faktor keamanan, mengingat belum lama ini salah satu batu candi hilang dicuri orang yang tidak bertanggung jawab.

“Saya tahu ada batu candi hilang hari Rabu (16/9) yang lalu, yang hilang yakni batu candi berukuran sekitar 50 cm X 20 Cm dengan relief setengah badan dengan wajah seorang wanita,’’ terangnya di komplek Candi Pringapus, Senin (22/9).

Ia menambahkan kehilangan tersebut sudah dilaporkan kepihak Balai Peninggalan Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, dan pihak BPCB memutuskan menutup untuk sementara candi yang dibangun sekitar 850 masehi tersebut.

”Selain BPCB pihak kepolisian juga sudah melakukan pemeriksaan di kawasan candi,” paparnya.

Dikatakan, hilangnya batu candi di kompleks Candi Pringapus itu di luar prakiraannya, mengingat pada saat pintu ditutup Rabu (16/9) sekira pukul 17.30 WIB bebatuan candi itu masih utuh. Juga, saat melakukan patroli sekitar pukul 23.00 WIB juga masih ada batu yang berelief tersebut. Selain itu, kondisi Desa Pringapus malam itu cukup ramai mengingat masih banyak warga yang merajang tembakau.

Kawasan Candi Pringapus memiliki luas 30 meter X 20 meter dengan bangunan candi sekitar 6,64 meter persegi. Ccandi ini ditemukan sekitar tahun 1932 ini diyakini merupakan replikla mahameru yang diyakini sebagai tempat bermukimnya para dewa. Dengan ditutupnya kawasan candi itu, maka warga masyarakat maupun kalangan pelajar sementara waktu tidak bisa mengunjungi candi peninggalan jaman Hindu tersebut.

Terpisah Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Temanggung, Didik Nuryanto, yang diminta konfirmasinya terkait hilanngya salah batu candi tersebut mengaku hingga saat ini belum mendapat laporan mengenai kehilangan batu candi di kompleks Candi Pringapus tersebut.

“Kami belum menerima laporan terkait hal tersebut, hal tersebut mungkin karena pengelolaan Candi Pringapus di bawah wewenang kantor BPCB Jawa Tengah, namun demikian kami akan melakukan pengecekan ke lokasi,” pungkasnya.

Warga Tumpah Ruah Sambut Festival Kulminasi Matahari

Pontianak, Kalbar - Ratusan masyarakat berkumpul di Tugu Khatulistiwa, Jalan Khatulistiwa, Pontianak Utara untuk mengikuti festival kulminasi matahari, Selasa (22/9/2015).

Berbagai duta dari budaya Dayak, Melayu dan Tionghoa turut memeriahkan acara yang menjadi ciri khas Kota Pontianak.

Jejeran stand-stand juga menghiasi lokasi Tugu Khatulistiwa dengan menawarkan berbagai makanan, minuman serta pernak-pernik aksesoris yang menarik.

Pengunjung pun juga dihibur dengan nyanyian dan tarian khas budaya Kalbar serta pantun, musik dan penampilan lainnya yang membuat masyarakat hanyut dalam menikmati pesona kulminasi.

Tampak hadir Wakil Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono beserta istri dan jajaran pejabat Pemerintah Kota Pontianak.

Seruit dan Sulam Usus Lampung Masuk Warisan Budaya Tak Benda

Bandar Lampung, Lampung - Kabar baik datang dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang mengabarkan lima produk budaya Lampung telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Hal ini dikonfirmasi oleh Herlina Warganera selepas dirinya tidak lagi menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Senin (21/9) malam.

Kelima produk budaya Lampung yang mendapatkan ketetapan Warisan Budaya Tak Benda yaitu sulam usus, gulai taboh, seruit, cakak pepadun dan sekura cakak buah.

"Alhamdulillah, kelimanya sudah ditetapkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tadi pagi (kemarin)," kata mantan Kadis Parekraf tersebut.

Sementara untuk penyerahan sertifikat dan tanda penghargaan terkait hal tersebut diatas direncanakan tanggal 20 Oktober. Penyerahan nantinya akan dilakukan di kantor kementerian.

Herlina mengungkapkan, upaya pengajuan produk budaya Lampung untuk menjadi nominasi Warisan Budaya Tak Benda sudah dilakukan sejak awal tahun. Sederet proses seleksi administrasi berupa penyertaan dokumen seperti foto, video dan tulisan juga dites tanya jawab dilaksanakan untuk memastikan itu asli dari Lampung.

"Prosesnya cukup panjang, kita bekali dengan dokumen dan presentasi di hadapan tim kementerian. Dan hasilnya alhamdulillah," imbuh dia.

Masuknya sulam usus, seruit dan gulai taboh kali ini menambah daftar warisan budaya tak benda yang dimiliki Lampung. Sebelumnya di tahun 2014, Lampung juga telah mendapatkan pengakuan untuk gamolan, tari melinting, tari sigeh pengunten, muayak dan rumah adat Lampung Barat.

Di tahun 2014 tapis juga telah ditetapkkan kementerian atas Warisan Budaya Tak Benda.

"Mudah-mudahan tahun yang akan datang lebih banyak lagi produk juga seni Lampung yang diakui," harap Herlina.

Ia mengakui hal ini untuk menjaga agar kebudayaan Lampung tidak punah dan terus dapat dikembangkan. "Masih banyak budaya Lampun yang bakal kita ajukan Seperti meduaro dari Tulangbawang, sulam ulat dr Mesuji, ringgit, bebandung dan banyak lagi yang akan dicatat di Unesco nantinya," urai Herlina melalui aplikasi pesan whatsapp.

Penghargaan Kebudayaan, Bupati Syamsuar Terima Pin Emas dari Anies Baswedan

Siak, Riau - Untuk kesekian kalinya, Kabupaten Siak kembali menorehkan sejarah ditingkat Nasional. Kali ini, prestasi menggembirakan diraihnya Penghargaan Kebudayaan Tahun 2015 kategori Pemerintah Daerah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Selasa (22/9/2015) malam.

Penghargaan yang diserahkan dalam bentuk pin emas itu, disematkan langsung Mendikbud Anies Baswesdan kepada Bupati Siak H Syamsuar, sebagai bentuk apresiasi atas peran strategis yang telah dilakoni Pemkab Siak sebagai pembuat regulasi, memfasilitasi serta menciptakan iklim yang baik untuk tumbuh kembang kebudayaan lokal di Kabupaten Siak.

Anies Baswedan mengatakan, para tokoh yang mendapat penghargaan adalah pejuang kebudayaan. "Atas nama pemerintah RI kita semua memberikan apresiasi kepada tokoh budaya yang tidak saja telah berupaya keras memelihara, tapi juga memajukan kebudayaan Indonesia. Terimakasih atas segala pengabdiannya," kata Menteri Kabinet Kerja itu.

"Alhamdulillah, atas kerja keras kita semua dalam mendorong kemajuan kearifan kebudayaan Melayu Siak, dan dengan spirit Siak The Truly Malay, kita bersyukur mendapatkan bentuk penghargaan ini. Ini jadi penyemangat bagi seniman dan budayawan lokal yang keberadaannya mungkin sudah mulai langka atau terlupakan," papar Syamsuar, usai menghadiri malam puncak Penghargaan Kebudayaan 2015.

Penghargaan Kebudayaan diberikan Kemendikbud kepada pemerintah daerah (kabupaten/kota) yang memiliki dan mengelola sumber daya alam dan budaya secara kreatif, berkesimbangan dan berkelanjutan yang melibatkan partisipasi masyarakat sehingga berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat dan menginspirasi masyarakat luas.

Kategori Pemerintah Daerah diberikan kepada Kabupaten Siak, sebagai kabupaten bekas Kerajaan Siak yang berdiri sejak tahun 1723. Berdasarkan penilaian Kemendikbud, hanya tiga Pemerintah Daerah saja yang berhasil meraih penghargaan prestisius bidang kebudayaan ini, diantaranya Kabupaten Siak, Kabupaten Banyuwangi dan Kota Ternate.

Dampak Globalisasi, Nilai-nilai Budaya Bangsa Mulai Terkikis

Metro, lampung - Guna untuk menggali kearifan lokal masyarakat Kota Metro, dimana sekarang ini nilai-nilai budaya bangsa yang mulai terkikis dampak dari globalisasi dan kemajuan teknologi, Pemkot Metro menggelar seminar Menyusun Riwayat Kota Metro, di Gedung Nuwo Budayo setempat, Selasa (22/9/2015).

Seminar yang menghadirkan narasumber Budayawan Lampung Ansori Djausal menuai animo pengunjung. Acara dibuka dengan diawali pemukulan gong oleh Penjabat Wali Kota Metro Achmad Chrisna Putra.

“Acara yang kita lakukan hari ini adalah sebuah upaya untuk menggali kearifan lokal masyarakat Kota Metro terhadap jejak kulturalnya yang patut kita tanamkan pada benak anak-anak Indonesia sebagai generasi penerus pemegang amanah untuk masa depan bangsa yang lebih baik," ucap Chrisna.

Dikatakannya, yang nampak adalah nilai-nilai budaya bangsa mulai terkikis dan bahkan suatu saat hilang. "Yang paling penting yang harus kita lakukan adalah apa yang kita ambil dari kebudayaan masa lalu sebagai suatu pembelajaran untuk menapak masa depan yang lebih baik khususnya untuk Kota Metro yang kita cintai,” tambah Achmad Chrisna Putra.

Sementara, Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kota Metro Bangkit Haryo Utomo, selaku ketua penyelenggara melaporkan bahwa salah satu tugas pokok dari Disdikbudpora adalah membangun inovasi melalui teknologi komunikasi untuk pengembangan promosi dan kebudayaan dan melaksanaakn sebagian nilai budaya melalu perekaman, penulisan dan penelitian.

"Fungsi ini memegang perananan yang sangat penting bagi dunia pendidikan dan kebudayaan," tuturnya.

Bangkit menambahkan, seminar ini merupakan hasil penelitian Disdikbudpora Kota Metro tentang asal usul Kota Metro melalui sudut pandang kultural.

Selain itu juga merupakan lanjutan dari penulisan hasil penelitian Ahmad Muzaki, M.Pd.I dosen STAIN Jurai Siwo Kota Metro guna menambah masukan demi penyempurnaan buku tentang Sebuah Kajian Etnografi mengenali Geneologi Kota Metro sebelum diterbitkan secara resmi.

Bangkit berharap agar hasil dari kegiatan ini dapat dijadikan pijakan untuk memperdalam isi buku yang telah disusun sebelumnya agar dikemudian hari dapat dijadikan referensi bagi siapapun yang ingin mendalami tentang riwayat Kota Metro.

Tiga Mata Budaya Riau Ditetapkan WBTB Indonesia

Jakarta - Tiga mata budaya Provinsi Riau di antaranya, menumbai Petalangan, pacu jalur Kuantan, dan Koba Rokan (bukan Kampar) ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia. Penetapan tersebut dinyatakan dalam Sidang Penetapan WBTB Indonesia 2015 yang dipimpin Ketua Tim Ahli WBTB Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Dr Pudentia MPSS, di Hotel Millenium Jakarta, Ahad (20/9) petang.

Dipaparkan Pudentia, berdasarkan verifikasi yang dilakukan tim ahli sejak awal tahun 2015, ketiga matabudaya tak benda dari Provinsi Riau tersebut sudah memenuhi semua kriteria yang ditentukan oleh tim ahli bersama Kemendikbud. Di antaranya adalah kriteria keunikan, kelangkaan dan fungsinya sebagai pernyataan identitas masyarakat pendukungnya.

“Namun demikian, untuk penetapan sebagai WBTB Indonesia perlu disetujui bersama seperti yang kita laksanakan hari ini,’’ ujarnya.

Sementara itu, mewakili Riau untuk melengkapi penjelasan tim ahli tentang ketiga matabudaya itu, Budayawan Riau Al azhar mengemukakan bahwa Koba, pacu jalur dan Menumbai Petalangan adalah di antara warisan Melayu di Riau yang penting dilestarikan untuk merawat kebhinekaan, bukan hanya secara nasional, tapi juga di kawasan setempat.

“Masing-masing matabudaya dari Riau itu memiliki ‘’suara’’ yang khas dalam dinamika orkestrasi kebudayaan masa kini,’’ kata Al azhar. Koba Rokan, misalnya, merekamkan ingatan komunitas di sepanjang Sungai Rokan, yang disulam bersama harapan dan fantasi-fantasi sosial mereka. Pacu jalur pula, hadir bukan hanya sebagai atraksi masyarakat Kuantan, tapi juga dalam prosesnya sebagai atraksi terdapat serangkaian kenduri sosial, tempat di mana kebersamaan dan ekspresi-ekspresi kebudayaan yang kompleks ditampilkan.

Sedangkan Menumbai Petalangan menegaskan dirinya sebagai teladan hubungan resiprokal antara manusia dengan lingkungan fisik, biologis, sosial, dan komposit.

“Dilihat dari kenyataan hari ini, menumbai adalah gumpalan ironi bila dihadapkan dengan kehancuran ekologis di Riau hari ini,’’ jelas Ketua Harian Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau tersebut.

Puluhan Bahasa Daerah di Maluku Terancam Punah

Ambon, Maluku - Provinsi Maluku tak hanya kaya akan seni budaya, namun juga kaya akan ragam bahasa yang menjadi identitas lokal masyarakat setempat. Namun kini, bahasa daerah yang digunakan masyarakat di beberapa daerah di Maluku mulai terancam punah.

Kepala Balai Pelestarian Bahasa Provinsi Maluku M Taha Machsum mengatakan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Balai Bahasa Provinsi Maluku terindikasi ada puluhan bahasa daerah di Maluku yang kini terancam punah.

“Di Maluku ini bahasa daerah ada dalam lima kondisi yakni berpotensi punah, terancam punah, sangat terancam punah, sekarat dan punah,” ungkap dia saat diwawancarai Kompas.com di sela-sela kegiatan penyegaran Bahasa Indonesia bagi wartawan di Kota Ambon, Senin (21/9/2015).

Dia mengemukakan, berdasarkan penelitian yang dilakukan selama ini, tercatat ada sebanyak 51 bahasa daerah yang masih digunakan di Maluku. Namun kemungkinan jumlah itu masih bisa bertambah mengingat masih ada beberapa daerah yang sedang diamati.

“Kendalanya banyak sekali, terutama generasi muda yang pola komunikasinya sudah banyak bergeser ke Bahasa Indoinesia, dan juga bergeser ke Bahasa Melayu Ambon sehingga bahasa daerah banyak yang hilang dan penuturnya berkurang dan itu lamban laun akan punah,” ungkap dia.

Keraton Surakarta Gelar Grebeg Besar Pekan Ini

Solo, Jateng - Keraton Kasunanan Surakarta akan menggelar upacara adat Grebeg Besar, Kamis (24/9), untuk merayakan Idul Adha.

Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta KP Winarno Kusumo di Solo, Senin, menjelaskan Grebeg Besar merupakan bentuk perayaan atas kemenangan iman yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim, yang rela mengorbankan putranya Ismail demi menjalankan perintah Tuhan.

"Penanggalan yang kita pakai adalah penanggalan Jawa, yang merupakan gabungan dari penghitungan penanggalan Saka dan Hijriyah. Tahun ini Grebeg akan kita adakan tanggal 24 September 2015," katanya tentang acuan penentuan pelaksanaan Grebeg Besar.

Saat ini, ia menjelaskan, persiapan pelaksanaan grebeg sudah dilakukan, termasuk di antaranya pembuatan gunungan jaler (laki-laki) dan setri (perempuan).

Sugiyo, salah satu abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta yang bertugas membuat gunungan untuk Grebeg Besar, sudah mulai membuat gunungan sejak dua bulan lalu.

"Kerangkanya sudah selesai, tinggal masang-masang barang-barangnya saja. Kalau yang gunungan setri ini kami sudah hampir menyelesaikan pemasangan rengginangnya, nanti ditambahi nasi dan uba rampe lain. Sedangkan untuk gunungan jaler nantinya diisi sayur mayur dan hasil bumi," katanya.

Kedua gunungan itu akan diarak dari Keraton menuju Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta yang berada di barat Alun-Alun Utara untuk didoakan sebelum dibagikan ke warga di halaman masjid.

"Biasanya sesuai adat satu gunungan dibagikan di masjid, sedangkan satu gunungan dibawa kembali ke keraton. Namun, karena banyaknya warga yang datang, biasanya yang dibawa kembali ke keraton ya tinggal rangkanya saja, karena sudah ikut untuk rebutan warga," katanya.

KP Winarno Kusumo atau Kanjeng Win mengatakan tahun ini kemungkinan rute arak-arakan grebeg dari keraton menuju masjid berubah.

Biasanya gunungan dibawa dari Keraton ke Sitinggil, lalu diarah menuju masjid melalui tengah-tengah Alun-Alun Utara.

Sekarang, karena alun-alun jadi tempat Pasar Darurat Klewer, dari Sitinggil gunungan akan diarak melalui Supit Urang langsung menuju masjid atau melalui barat alun-alun.

"Sebenarnya para pedagang sebelumnya sudah menyatakan sanggup menyesuaikan jika ada keperluan upacara adat. Tapi nanti kita lihat dulu apakah memang memungkinkan lewat tengah-tengah alun-alun, kalau tidak ya lewat sampingnya," katanya.

Sulawesi Barat Gelar Festival Budaya

Mamuju, Sulbar - Provinsi Sulawesi Barat menggelar festival budaya di Lapangan Merdeka Mamuju yang merupakan rangkaian kegiatan ekpedisi kapsul waktu yang akan melintas di Kabupaten Polman, Majene, Mamuju, Mamuju Tengah dan Mamuju Utara pada 26 November 2015.

Koordinator Panitia Ekspedisi kapsul waktu Daerah Sulawesi Barat Irvan Basri di Mamuju, Minggu, mengatakan kegiatan ekspedisi kapsul waktu yang akan melintas di Sulbar di antaranya adalah kegiatan sosial, budaya, hiburan, dan ekonomi kreatif.

Ia mengatakan, kegiatan festival budaya yang dipusatkan di lapangan Merdeka merupakan rangkaian kegiatan kapsul waktu yang digelar bulan September.

"Untuk menyambut kapsul waktu yang tiba di Sulbar nantinya, akan digelar berbagai kegiatan menyambutnya mulai September hingga bulan Oktober dan November 2015 nanti," katanya.

Menurut dia, festival budaya yang digelar di lapangan Merdeka Mamuju menyajikan berbagai kandungan kebanggaan masyarakat.

"Akan kita angkat kandungan budaya yang ada di Sulbar agar Sulbar dikenal ke seluruh nusantara bahkan dunia bahwa daerah ini kaya akan kandungan budaya," katanya.

Irvan mengatakan, setelah dilaksanakan di Sulbar kapsul waktu akan digelar kembali oleh panitia daerah yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah sebagai Provinsi tetangga dari Provinsi Sulbar yang berada disebelah utara pada minggu Pagi 29 November 2015.

"Perjalanan ekpedisi kapsul waktu akan dimulai dari Aceh tanggal 22 September 2015 dan berakhir di Merauke, Papua, tanggal 21 Desember 2015," katanya.

Ia menjelaskan jika ekpedisi kapsul waktu merupakan kegiatan untuk memuat kegiatan mengenai mimpi Indonesia 70 tahun ke depan yakni pada 2085.

"Kegiatan ini mengajak masyarakat untuk bekerja dengan tema Ayo Kerja untuk kemajuan bangsa," katanya.

Pada rakor Mensesneg Pratikno telah mengingatkan agar kegiatan ini bisa menjadi bagian dari upaya lompatan kemajuan secara bersama-sama guna mencapai percepatan pencapaian cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

"Ekspedisi ini diharapkan memberi efek optimisme, persatuan, kreativitas, kerja keras, dan solidaritas antara pemerintah pusat dan daerah serta antara pemerintah dan rakyat," katanya.

Festival Budaya Nusantara Kawasan Perbatasan Digelar

Jakarta - Bertempat di Gedung Pewayangan Kautaman Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Kamis kemarin, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) menggelar Festival Budaya Nusantara Kawasan Perbatasan. Festival yang agendanya meliputi pergelaran seni budaya masyarakat di daerah perbatasan dari 13 provinsi, Talk Show dan Festival Kuliner tersebut juga dimeriahkan penyanyi Edo Kondologit, budayawan Sudjiwo Tedjo dan MC sekaligus komedian Edwin - Djody.

Acara tersebut dibuka dengan penayangan lagu Indonesia Raya pada layar lebar Teater Kautaman, yang dinyanyikan anak-anak sekolah dasar tak berseragam, yang berdiri di depan sekolah mereka yang reyot di perbatasan. Hal ini seakan menggambarkan kehidupan masyarakat perbatasan yang masih tertinggal. Selanjutnya ditampilkan seni budaya dari suku-suku yang mendiami wilayah perbatasan. Mulai dari suku Aceh, Melayu, Dayak, Timor dan Papua.

Menurut Sekretaris Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Triyono Budi Sasongko, festival ini dapat dijadikan momentum nasional untuk menggali, memelihara, memperkuat dan mempromosikan nilai dan produk sosial budaya perbatasan, sebagai kekuatan bangsa.

“Yang mana kekuatan bangsa disatu sisi lebih produktif dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat di perbatasan, misalnya melalui pengembangan pariwisata dan ekonomi kreatif. Dan disisi lain juga memiliki entitas dan jati diri yang ampuh berperan sebagai pagar hidup bangsa di tapal batas negara,” kata Triyono yang kini juga menjabat sebagai Penjabat Gubernur Kalimantan Utara tersebut.

Diharapkan pula, festival ini dapat menjadi usaha dan bagian dari karya anak bangsa yang dapat memberikan kontribusi bagi upaya percepatan pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perbatasan.

“Hal ini sekaligus sebagai upaya mendukung program Nawa Cita Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla, dimana salah satu dari sembilan agenda prioritas Nawa Cita adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka NKRI. Yang mana pembangunan tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasional di kawasan perbatasan,” kata Triyono yang mantan Bupati Purbalingga tersebut.

Masyarakat Sumatera Barat Punya Batik Tanah Liek

Padang, Sumbar - Masyarakat Sumatra Barat memiliki batik yang tak kalah dengan Jawa dengan nama Batik Tanah Liek, bahkan kelasnya sejajar dengan kualitas batik terbaik Pulau Jawa.

Batik Tanah Liek men­jadi batik kebanggaan ma­syarakat Sumbar yang harus terus dilestarikan dan digu­nakan oleh siapa saja, teru­tama Masyarakat Sumbar.

Artinya, Batik Tanah Liek bukan milik pribadi atau sekelompok orang di Sumbar melainkan milik masyarakat Minangkabau. Semakin banyak usaha Batik Tanah Liek mulai dari pe­ngerajin hingga penjualan maka akan semakin baik. Sebab, selain pelestarian berjalan baik namun juga bisa menghidupi ekonomi masyarakat Minangkabau khususnya dan pertum­bu­han ekonomi di daerah ini.

Ketua Umum Bundo Kanduang Sumbar, Prof. Dr. Puti Reno Raudhah Thaib kepada Haluan Sabtu (19/9) mengatakan, asal batik ini diduga dari negeri Cina yang masuk ke Minangkabau pa­da abad ke-16 pada zaman Kerajaan Minangkabau ber­pusat di Pagaruyung, Batu­sangkar. Batik Tanah Liek sempat hilang dan kemudian muncul lagi dilestarikan pada banyak tempat.

Kini batik tersebut kian dikenal tak hanya di Ranah Minang, namun juga luar Sumbar, bahkan luar negeri. Pengerajin dan penjual Batik tersebut, banyak tersebar pada beberapa kabupaten/kota di Sumbar dengan ber­bagai macam merek Batik Tanah Liek.

“Kita cukup bangga, pe­ngerajin dan usaha Batik Tanah Liek ini tumbuh pada banyak tempat di Sumbar sehingga semakin diles­tari­kan dan dikenal banyak orang,”ujar Bundo Kan­du­ang.

Ditanya Batik Tanah Li­ek ini diklaim milik se­seorang atau pengusaha di Sumbar, dia membantah dalam sisi sejarah dan asal batik ini tentu tak bisa milik seseorang atau sekelompok orang. Sebab, Batik Tanah Liek adalah milik masya­rakat Sumbar yang sudah sejak dulu menjadi pakaian adat atau penghulu serta Bundo Kanduang.

Artinya, Batik Tanah Liek ini sudah sejak lama ada di Sumbar. Namun, bila diklaim motif baru yang dibuat dan sebelumnya me­mang tak ada itu boleh saja. Namun, jangan diklaim atas nama Batik Tanah Liek mi­lik dia.

“Logikanya begini, mi­salnya rendang masakan milik Minangkabau boleh saja diklaim milik seseorang dengan nama tambahan di­buat. Misalnya Rendang Lezat atau Rendang Enak. Keduanya sama pakai merek rendang tetapi pembedanya ada. Namun, diklaim ma­sakan Rendang atas nama seseorang tak bisa, karena itu milik masyarakat Sum­bar. Begitu juga Batik Tanak Liek milik masyarakat Sum­bar. Namun, nama Batik Tanah Liek ditambah dengan nama lain seperti A, B, C, D boleh saja,”ujarnya.

Lalu, akan menjadi per­soalan baru bila Batik Tanah Liek milik masyarakat Sum­bar tersebut diklaim milik pribadi.Menurutnya, Batik Tanah liek ini menggunakan tanah liat sebagai pewarna. Kain mula-mula direndam selama seminggu dengan tanah liat, kemudian dicuci dan diberi pewarnaan ala­miah lain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Motif batik tanah liat tradisional adalah kuda laut dan burung hong, namun sekarang selain motif Cina diperkenalkan juga motif tradisional Minangkabau seperti siriah dalam carano, kaluak paku, kuciang tidua, lokcan, batuang kayu, tari piring, kipas.

Selanjutnya, Ketua LK­A­AM Sumbar M. Sayuti Dt Rajo Pangulu juga me­nga­takan yang sama, Batik Ta­nah Liek Milik Masyarakat Sumbar yang menjadi pa­kaian masyarakat adat Mi­nangkabau sejak lama.

Bila ada yang mengklaim Batik Tanah Liek milik ma­syarakat Sumbar itu sebagai milik pribadi, sama dengan merampas hak masyarakat Sumbar. Informasi tentang Batik Tanah Liek ini milik masyarakat Sumbar harus bisa dipahami oleh orang banyak. Bila mengklaim milik seseorang atau se­kelompok orang, sama de­ngan mencederai masya­rakat Sumbar dan meng­halangi masyarakat banyak untuk melestarikannya.

Seni dan Tradisi Maluku Ditampilkan di Duurstede Festival

Ambon, Maluku - Warga desa-desa di Pulau Haruku, Saparua, dan Nusa Laut menampilkan aneka seni dan tradisi Maluku dalam Duurstede Festival, yang berlangsung di kawasan Benteng Duurstede, Saparua, Maluku Tengah, 21 - 23 September.

Penyelenggara yang meliputi Klasis Gereja Protestan Maluku Pulau-Pulau Lease, Ambonesia Foundation, M-Tree Community, Wonderful Indonesia dan DPD Pappri Maluku menggelar 11 lomba dalam festival yang diikuti 350 peserta tersebut.

Acara perlombaan antara lain meliputi lomba suling bambu, yang pada masa lampau digunakan dalam upacara adat dan ibadah di gereja, serta lomba anyam kamboti (keranjang) dari daun kelapa, yang digunakan warga Kepulauan Lease untuk menampung hasil kebun saat panen.

Selain itu ada lomba Cucu Atap, membuat dan menganyam atap dari daun sagu, dan lomba membuat Tapalang atau balai-balai dari gaba-gaba atau batang daun sagu.

Lalu ada lomba lari Tampurung, batok kelapa yang dibagi menjadi dua dan dijadikan alas kaki untuk berlari; lomba Angkat Batu, di mana para peserta harus mengangkat batu dari dalam laut menuju tepi pantai

Penyelenggara juga menggelar Keku Dulang, lomba yang mengangkat tradisi ibu rumah tangga yang berjualan menggunakan dulang atau nampan kayu berdiameter satu meter tempat menaruh makanan yang biasa di bawa di kepala.

Ada pula lomba makan papeda dan Bale Papeda, yang menunjukkan kepiawaian peserta memindahkan pepeda (makanan tradisional masyarakat Maluku yang terbuat dari sari pati sagu) yang masih panas dari satu tempat ke tempat lain menggunakan gata-gata atau dua bilah bambu yang bagian ujungnya serupa garpu bermata dua.

Penyelenggara juga menggelar Pikol Sagu Manta, lomba lari sambil memanggul tepung sagu dalam tumang atau wadah berbentuk keranjang dari daun sagu, serta lomba triatlon tradisional berupa barnang (berenang), panggayo (dayung) dan lari.

"Berbagai jenis lomba yang digelar dalam Duurstede Festival merupakan sejumlah kearifan lokal seni dan budaya masyarakat Maluku khususnya di Kepulauan Lease yang saat ini semakin kurang diminati dan dilupakan warga," kata Ketua Panitia Pelaksana M. Tomasoa di Ambon, Minggu.

"Festival yang akan dijadikan agenda tahunan ini disasarkan untuk mempromosikan potensi lokal masyarakat, khususnya seni, budaya serta pariwisata dan diharapkan di masa mendatang dapat menjadi roda penggerak ekonomi masyarakat di Kecamatan Pulau-Pulau Lease," katanya.

Meriah, Festival Budaya Pasar Terapung 2015

Banjarmasin, Kalsel - Festival Budaya Pasar Terapung 2015 berakhir dengan kemeriahan pergelaran seni budaya. Satu diantaranya, pentas tari dan Wayang Ajen di panggung pertunjukan Siring Sungai Martapura. Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya, dan Pariwisata (Disporbudpar) Kalsel Mohandas menyatakan itu.

"Event festival budaya Pasar Terapung ini sudah dilkasanakan sejak 2006, dan terus berlangsung dengan meriah, selain menjadi promosi pariwisata juga sebagai pelestarian seni budaya," ujar Mohandas di Banjarmasin, Minggu (20/109/2015).

Mohandas mengatakan, sebab sejumlah kesenian tradisi daerah yang eksistensinya mulai memudar mendapat ruang untuk tampilkan, diantaranya kesenian kurung-kurung, musik panting, dan wayang banjar. Selain itu pula, sambung dia, adanya gelar permainan rakyat balogo dan bagasing.

"Demikian pula ditampilkan beragam kuliner tradisional banjar yang memiliki citra rasa luar biasa, ini menjadi andalan kepariwisataan daerah 13 kabupaten/kota ini," jelas dia.

Menurut di, melalui panggung budaya semacam ini harapannya bisa mendongkrak pariwisata di daerah ini hingga bisa mencapai kunjungan satu juta wisatawan nasional dan 7.000 wisatawan mancanegara. "Kita berharap bisa menyumbang target kunjungan wisatawan nasional yang ditarget pemerintah pusat sebanyak 275 juta wisatawan lokal dan 20 juta wisatawan asing," ungkap dia.

Pada 2015 ini, ujar Mohandas, hingga Agustus tadi, diperkirakan sudah sebanyak 556 ribu kedatangan wisatawan lokal dan sekitar 5.000 orang wisatawan asing berkunjung kedaerah ini. "Ini menunjukkan, kunjungan wisata kedaerah kita sudah sangat meningkat signifikan, dan kita yakini akan terus meningkat dengan terua dikembangkannya potensi objek wisata di daerah ini, baik wisata alam dan perairan yang ada sungai dan pantai," ucap dia.

Festival Puputan Badung Resmi Dibuka

Denpasar, Bali - Festival Puputan Badung (FPB) yang digelar Banjar Tainsiat, Desa Dangin Puri Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, dibuka secara resmi Pj. Wali Kota Denpasar A.A Gede Geriya, Minggu (20/9/2015), ditandai dengan peletakan Keris Puputan Badung di Catus Pata Banjar Tainsiat. Festival ini merupakan salah satu rangkaian acara peringatan Puputan Badung Ke-109.

Prosesi pembukaan FPB dan Mahabandana Prasada dengan iring-ringan pertunjukan seni dari Catus Pata Catur Muka Denpasar, yang diawali dengan parade ngelawang dibawakan sanggar seni ngelawang Kota Denpasar, dilanjutkan dengan prosesi Gerebek Aksara, Pawai Gebogan yang dibawakan PKK Banjar Tainsiat dan diakhiri dengan prosesi kirab keris Puputan Badung.

Pj. Wali Kota Denpasar A.A Gede Geriya yang ditemui disela-sela pembukaan, mengapresiasi pelaksanaan FPB yang juga dirangkaikan dengan Mahabandana Prasada Kota Denpasar. "Saya mengapresiasi peringatan Puputan Badung di Kota Denpasar yang digelar dengan berbagai event seni budaya," ujarnya.

Lebih lanjut dikatakan peristiwa heroik Puputan Badung tidak terlepas dari semangat heroik para pahlawan, yang perlu terus dibangkitkan diera kemajuan teknologi informasi saat ini. Sehingga event ini diharapkan dapat terus digelar yang tidak terlepas dari tanggal dan kejadian peristiwa heroik Puputan Badung yakni 20 September.

"Jadi setiap 20 September dapat menjadi momentum pelaksanaan FPB dan Mahabandana Prasada yang dapat menjadi motivasi kepada masyarakat untuk terus mengobarkan semangat Puputan Badung di era kemajuan teknologi informasi saat ini," ujarnya.

Sementara Ketua Panitia FPB Gede Darmaja mengatakan pelaksanaan FPB berlangsung selama dua hari dari 20-21 September dipusatkan di Catus Pata Banjar Tainsiat.

Pelaksanaan FPB tahun kedua ini menurut Darmaja dikemas lebih menarik yang telah diawali dengan berbagai lomba, dari lomba Utsawa Dharmagita, Lomba Tari Jauk, Mekendang Tunggang dan menggelar Omed-omedan mebulet ginting. “Tahun ini kami kemas lebih awal untuk melakukan persiapan kegiatan festival yang lebih menarik dari tahun sebelumnya,” ucap Darmaja.

Lebih lanjut Darmaja mengharapkan FPB ini nantinya dapat terus dilaksanakan secara berkesinambungan dan menjadi kalender kegiatan budaya tahunan di Kota Denpasar.

Disamping menggelar berbagai kegiatan lomba juga digelar pasar rakyat yang melibatkan UMKM yang ada di wilayah Desa Dangin Puri Kaja. "Masyarakat dapat datang dan menikmati berbagai hiburan dan pasar rakyat kuliner, stand pakaian adat Bali, dan berbagai produk kerajinan," ujarnya.

Lomba Permainan Tradisional Perlu Diperbanyak

Bangka, Babel - Ketua Lembaga Adat Kabupaten Bangka, Sarnubi menyarankan agar saat perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus perlu diadakan lomba-lomba permainan tradisional seperti gasing, mangkak igik karet, sembilun, caklingking, dan lain-lain.

Dengan demikian permainan tradisional di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tidak punah tertelan zaman, dan generasi muda bisa mengenal permainan tradisional ini. Seperti yang dilaksanakan di Kelurahan Kenanga ada lomba gasing saat perayaan 17 Agustus lalu.

"Harapan saya masyarakat di desa di kampung-kampung tetap melestarikan permainan tradisional. Orang tua dulu yang main gasing jadi anak-anaknya ikut seneng main gasing. Kalau orang tua pegang gadget atau handphone anak-anak juga pasti minta dibelikan handphone. Jadi kita orang tua ini yang mengajak anak untuk bermain permainan tradisional ini," saran Sarnubi, Sabtu (19/9/2015) kepada wartawan.

Tumpeng Sewu Sambut Idul Adha di Banyuwangi

Banyuwangi, Jatim - Masayarakat Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, mempunyai tradisi Tumpeng Sewu yang dilaksanakan seminggu menjelang Idul Adha. Setiap keluarga yang tinggal di desa wisata tersebut membuat tumpeng pecel pitik lalu disajikan di tepi jalan dan dinikmati bersama dengan para pengunjung Kamis (17/9/2015) malam.

Menurut Juhadi Timbul, tokoh adat Desa Kemiren, tradisi Tumpeng Sewu berasal dari Mbah Ramisin, warga desa setempat yang kesurupan dan mengaku sebagai Buyut Cili, sesepuh masyarakat setempat. Melalui perantara Mbah Ramisin, Buyut Cili meminta warga Desa Kemiren melakukan selamatan tolak bala menggunakan pecel pitik.

"Pada saat selamatan itu warga berdoa bersama agar dijauhkan dari bencana dan penyakit. Tradisi itu dilakukan secara turun temurun sampai sekarang," jelas Juhadi.

Acara yang digelar setelah sholat magrib tersebut diawali dengan arak-arakan barong sepanjang jalan di Desa Kemiren. Di depan arak-arakan barong ada beberapa pemuda yang bertugas menyalakan obor yang diletakkan berjajar sepanjang jalan. Obor bambu berkaki empat tersebut dikenal dengan sebutan oncor ajug ajug.

Setelah obor menyala, doa bersama dimulai dipimpin oleh pemuka agama dengan menggunakan pengeras suara dari masjid yang berada di tengah desa. Tidak lama kemudian acara makan bersama pun berlangsung.

Semua warga dan pengunjung memenuhi sepanjang jalan Desa Kemiren untuk menikmati menu tumpeng pecel pitik yang telah disediakan di atas tikar yang digelar di pinggir jalan "Makan sini saja bareng-bareng lesehan. Nggak usah sungkan," kata Siti Mutiah, warga Kemiren kepada rombongan anak muda yang melintas di halaman rumahnya.

Ia mengaku menyiapkan 3 tumpeng yang dimasak bersama dengan keluarganya. "Satu tumpeng untuk keluarga sendiri yang dua untuk pengunjung sini," katanya.

Kulon Progo gelar Festival Ketoprak 2015

Kulon Progo, DIY - Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupate Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyelenggarakan Festival Ketoprak 2015, 30 September hingga 3 Oktober dalam rangka regenerasi pelaku seni.

Kepala Bidang Kebudayaan Disbudparpora Kulon Progo, Joko Mursito, di Kulon Progo, Jumat, mengatakan festival ketoprak diikuti 12 peserta dari 12 kecamatan.

"Festival ketoprak ini dalam rangka melestarikan dan mengembangkan seni budaya, serta meningkatkan kreativitas pelaku seni di masyarakat, khususnya ketoprak," kata dia.

Ia mengatakan festival ketoprak dibagi dalam empat zona yakni zona pertama dari Kecamatan Samigaluh, Kalibawang dan Girimulyo, pementasannya di Lapangan Banjarharjo. Zona kedua meliputi Kecamatan Nanggulan, Pengasih dan Sentolo, pementasan di Pengasih.

Selanjutnya, zona ketiga yakni Kecamatan Kokap, Temon dan Wates yang pementasannya di Kokap. Zona keempat meliputi Kecamatan Galur, Lendah dan Panjatan, pementasannya di Galur.

"Semua kelompok berlomba menjadi pemenang. Tetapi, berdasarkan hasil penilaian pada Festival Ketoprak 2014, Kecamatan Pengasih menjadi juara umum," katanya.

Ia mengatakan pada festival ini nanti akan mencari pemeran pria dan putri terbaik, penata panggung terbaik, pemeran pembantu pria dan putri terbaik. Pemainnya harus dari kalangan muda karena tujuan utama dari festival ini adalah regenerasi pelaku seni ketoprak.

"Kami ingin mengubah cara pandangan dari pementasan tanpa skenario menjadi pementasan yang berdasarkan skenario, supaya ketoprak dapat dinikmati lintas generasi, khususnya generasi muda," katanya.

STRADE Lestarikan Budaya Lewat Seni Tari

Medan, Sumut - Banyak cara yang dapat dilakukan masyarakat untuk melestarikan budaya Indonesia termasuk Sumatera Utara, di antaranya melalui seni tari. Ternyata, misi tersebut pun sama dengan yang diusung grup tari SMAN 3 Medan atau STRADE (SMANTig Traditional Dance).

STRADE memang sejauh ini terbilang aktif dalam mempromosikan berbagai jenis tarian daerah yang ada di Sumatera Utara seperti Melayu, Karo, Dairi, dan Batak. Selain itu, ekstrakurikuler binaan Leliana SPd MHum ini pun salah satu ekskul yang kerap mengukir prestasi baik di tingkat Kota Medan, Sumut maupun nasional.

Ketua STRADE, Prilly Tri Tani, mengaku sesuai dengan namanya, ekskul ini memang hanya fokus menarikan berbagai jenis daerah, khususnya yang ada di Sumut. Makanya dapat dibilang ini salah satu wadah bagi generasi muda untuk lebih mencintai budaya Indonesia.

“Memang kami yang bergabung di sini lebih suka dengan tarian-tarian daerah dibanding modern dance. Selain busana yang dipakai lebih sopan, gerakannya pun lebih lembut namun tetap enerjik,” tegasnya didampingi sejumlah anggota lainnya, seperti Rizky Febiyola, Siti Mardiah, Arassyfa Rizky Zahara, Kurnia Sartika, dan Zulvia Ayu Pratiwi.

Meski hanya menarikan tarian tradisional, STRADE kerap mencoba lebih kreatif dengan menambahkan sedikit gerakan-gerakan lain yang sama sekali tidak menghilangkan tarian dasarnya.

“Intinya, kami hanya ingin lebih kreatif saja. Alhamdulillah kalau lagi nampil, baik dalam pertandingan maupun hanya sekadar hadir sebagai bintang tamu, para penonton sering memberikan apresiasi berupa tepuk tangan,” katanya.

Di sekolah, kata Prilly, ekskul ini juga menjadi favorit di kalangan para siswa, terbukti setiap tahunnya siswa yang ingin bergabung selalu bertambah. Saat ini, anggota STRADE telah mencapai 75 orang.

“Namun hingga saat ini pun kami masih membuka pendaftaran bagi siswa yang mendaftar. Untuk syarat tentu tidak muluk-muluk, yang pasti siswa tersebut memang benar-benar suka dengan seni tari, serta yang harus diingat di STRADE khusus hanya menarikan tarian tradisional, bukan modern dance,” ucapnya.

Adapun prestasi lain yang telah memenuhi lemari trofi STRADE, di antaranya juara I Ekstravaganza (2012), juara I FLS2N (2012 dan 2013), dan juara II FLS2N (2014).

Pemkot Malang Suguhi Turis Asing Nasi Pecel

Malang, Jatim - Pemerintah Kota Malang yang kedatangan belasan turis asing asal Inggris, Kamis, tak mau ribet dengan berbagai persiapan, turis asing yang sedang menikmati bangunan bersejarah Balai Kota Malang itu disuguhi nasi pecel bungkusan.

Belasan turis asing itu tak segan-segan mencicipi hidangan beberapa jenis makanan tradisional yang disiapkan di sepanjang lorong di Balai Kota Malang.

"Hot (pedas), tapi sangat lezat," ujar Martha, salah seorang turis asal London, Inggris tersebut usai mencicipi nasi pecel bungkus yang disuguhkan pemkot di Balai Kota Malang, Jatim.

Selain disuguhi nasi pecel bungkus, belasan turis asing itu oleh Wali Kota Malang Moch Anton yang didampingi Kapolres Kota Malang AKBP Singgamata dan sejumlah pejabat di lingkungan pemkot setempat, juga diberi kesempatan melihat "master plan" masa depan Kota Malang melalui visualisasi.

Kehadiran belasan turis asing itu setelah Wali Kota Malang beserta jajaran Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) melakukan upacara rutin setiap tanggal 17 di halaman Bali Kota Malang dengan inspektur upacara (irup) Kapolresta Malang AKBP Singgamata.

Sementara itu Kapolresta Malang AKBP Singgamata dalam sambutannya mengatakan pada bulan ini sangat krusial dalam perjalanan pembangunan Kota Malang, keriuhan yang kurang produktif harus dihindari, isu-isu yang memunculkan disintegrasi dan konflik sosial juga harus dihilangkan.

"Partisipasi dan kesadaran warga sekarang ini mulai tumbuh, langkah dan penindakan pada pelanggar hukum juga harus dioptimalkan. Tindak kriminal yang paling tinggi di kota ini adalah pencurian kendaraan bermotor. Kita harus meningkatkan kekondusifan keamanan," ujarnya.

Selain itu, Kapolresta Malang juga membantu pelayanan online baru di No. 08113535110 atau melalui media sosial WhatsApp (WA) yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Tidak hanya itu, Polresta juga sedang memroses finishing aplikasi "handphone panic button" yang diperuntukkan bagi warga yang membutuhkan bantuan pihak kepolisian.

"Aplikasi ini nantinya akan membantu percepatan gerak kepolisian dalam menindakalanjuti kriminalitas yang terjadi agar Kota Malang ke depan semakin aman dan tertib," ucapnya.

Rebana dan Water Show Tandai Pembukaan Festival Budaya Terapung

Banjarmasin, Kalsel - Begitu rebana ditabuh, acara Festival Budaya Pasar Terapung dan Lomba Makanan Tradisional di Siring Sungai Martapura depan Kantor Gubernur Kalsel Jalan Jenderal Sudirman Banjarmasin dibuka, Jumat (18/9/2015).

Termasuk Deputi Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara Kementerian Pariwisata, Esti Reko Astuty juga ikut menabu rebana.

Tidak hanya itu, begitu riuh suara rebana, kembang api pun bermunculan yang diiringi suara mengelegar. Kemeriahkan tidak sampai di situ, usai kembang api, disusul pertunjukan water show dari 20 anggota BPK Banjarmasin.

Setelah resmi dibuka, tamu undangan pun melakukan kunjungan ke stand lomba kuliner di area kantor Gubernur Kalsel.

Hadir di acara tersebut, Penjabat Gubernur, Tarmizi Abdul Karim, Sekda Provinsi Kalsel, HM Asryadi, dan jajaran SKPD, Hadir pula Kasrem 101 Antasari, Letkol Waston Purba,Dan FKPD, pejabat tingkat Provinsi Kalsel lainnya. Dan tak ketinggalan Pemimpin Umum BPost group HG (P) Rusdi Effendi AR.

Teguhkan Pusat Promosi Melayu, Anjungan Riau Gelar Festival Lagu dan Tari

Jakarta - Untuk meningkatkan perannya sebagai pusat promosi Kebudayaan Melayu Riau di pusat, UPT Anjungan Riau menggelar kegiatan Festival Tari Melayu dan Festival Tari Melayu.

Hampir setiap pekan menggelar acara yang berkaitan dengan kebudayaan Melayu Riau. Mulai dari tari, musik dan lagu Melayu serta menampilkan tradisi yang ada di kabupaten/kota di Riau, seminar tentang budaya hingga turut berpartisipasi pada event-event yang digelar oleh manajemen TMII.

Kepala Badan Penghubung Riau, H Doni Aprialdi melalui Kepala UPT Zulfikar mengatakan kegiatan bertujuan untuk mempromosikan Budaya Melayu Riau di tingkat pusat.

'Alhamdulillah kegiatan Festival berjalan lancar. Perlombaan ini menampilkan beberapa Tarian dan Lagu Melayu kreasi dan kreatif,' kata Zulfikar, Kepala UPT Anjungan Riau di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Kamis (17/9/2015).

Kegiatan Festival Tari diikuti sebanyak 12 sanggar Melayu dan Festival Lagu diikuti dari Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Bengkalis, Siak, Kuantan Singingi dan kalangan Mahasiswa. Ini juga merupakan kegiatan rutinas Anjungan Riau. "Antusias yang mengikuti acara Festival tidak sedikit, ini merupakan suatu petanda Budaya Melayu banyak diminati orang" ungkapnya.

Kata Zulfikar, selama kegiatan yang dilakukan Anjungan Riau, pihak Taman Mini sangat mendukung dan responnya baik. Untuk pengunjung Anjungan Riau saat ini lebih kurang 10.300 per bulan. 'Semenjak Bulan April sampai sekarang, pengunjung Anjungan Riau terus meningkat. Bulan Agustus pengunjungnya lebih kurang 10.300. pengunjung tidak hanya dari dalam negeri saja, tetapi juga dari mancanegara,' ucapnya.

Zulfikar juga meminta pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Riau khususnya dinas yang terkait untuk mengisi semua peluang yang ada di Anjungan Riau untuk mempromosikan pariwisata dan Budayanya. 'Kita juga berharap Kabupaten/Kota untuk mengisi peluang dan mempromosikan pariwisata dan budayanya di Anjungan Riau,' pintanya.

'Kita juga ingin kan Anjungan Riau sebagai pusat Budaya Melayu di Taman Mini Indonesia Indah. Maka nanti yang terkait dengan Tari, Puisi, Lagu dan Musik Melayu pusatnya di Anjungan Riau,' harapnya.

Untuk itu, Zulfikar berharap dengan diadaka kegiatan Festival Tari dan Lagu Melayu, tentunya sebagai momen mempromosikan budaya melayu ke masyarakat luas. "Bisa kita lihat, tidak sedikit para pengunjung yang antusias menyaksikan kegiatan yang kita adakan, tidak hanya berasal dari masyarakat Riau yang berdomisili di Jakarta, tapi juga masyarakat luas bahkan manca negara," ungkapnya.

Festival Karawitan Pelajar, Ajang Melestarikan Budaya Jawa

Boyolali, Jateng - Belasan kelompok pelajar dari SD, SMP dan SMA, mengikuti Festival Karawitan Pelajar di Gedung Kapujanggan, Pengging, Banyudono, Kamis (17/9). Kegiatan ini sebagai upaya melestarikan kesenian jawa.

”Festival ini baru pertama kali digelar. Sehingga jumlah peserta terpaksa dibatasi. Kedepan, kami akan menambah jumlah peserta agar lebih meriah,” ungkap Ketua panitia, Jumali ditemui di sela acara.

Menurut dia, kegiatan ini digelar Padepokan Seni Wijaya bertujuan untuk melestarikan seni tradisi, utamanya tradisi Jawa. Peserta yang terdiri dari pelajar SD,SMP dan SMA, masing-masing diwakili lima kelompok, penampilan mereka memukau penonton. Apalagi, panitia tidak membatasi gending yang harus dibawakan. Setiap kelompok diberikan kebebasan untuk membawakan gending dan lelagon sendiri.

“Antuasis pelajar sangat tinggi, kedepan kita akan menambah jumlah pesertanya,” ungkapnya.

Disisi lain, Kepala Disdikpora Boyolali, Abdul Rahman menyambut positif melihat antusias para peserta. Diakui, Boyolali sebenarnya kaya dengan potensi-potensi kesenian, namun pengembanganya belum bisa maksimal. Dinas sendiri akan menyasar kalangan pelajar dalam melestarikan seni tradisi.

“Kita akan terus berupaya melestarikan seni tradisi, termasuk karawitan, terutama bagi generasi muda,” tandasnya.

-

Arsip Blog

Recent Posts