Seke, Tradisi yang Menjaga Keindahan Pantai di Sangihe

Jakarta - Tradisi lama yang diturunkan dari generasi ke generasi kerap menyimpan banyak kebijakan. Salah satunya tradisi menangkap ikan dengan seke di Pulau Para yang kami temui saat meliput edisi wisata majalah Tempo, 16 November 2015. Seke adalah anyaman bambu sepanjang 25 meter dan lebar 80 sentimeter. Di setiap sisinya, bambu didirikan dengan janur muda dan ujungnya diikatkan ke perahu.

Cara ini harus dilakukan dalam satu tim. "Pemimpin seke disebut tonaseng dan pengikutnya disebut masanae," kata Ambrosius Makasar, yang dalam tesis masternya meneliti soal seke. Tonaseng memiliki peran ganda. Selain sebagai pemimpin seke, dia penentu kebijakan, pengambil keputusan kemasyarakatan. "Sebab, melanggar norma adat akan berakibat ketidakseimbangan alam," ujar Makasar.

Bila ada wabah penyakit atau badai, mereka meyakini ada yang tidak beres di masyarakat. Karena itu, tonaseng akan memimpin pentahiran kampong, yang disebut melanise. Masyarakat berjalan keliling kampung dan tonaseng memercikkan wewangian di banyak tempat.

Pusat kesakralan di Para adalah pohon kemboja yang pokoknya tak mungkin dipeluk dua orang dewasa. Usianya mungkin ratusan tahun. Saat akan melakukan seke, mereka juga harus ke pohon ini lebih dulu dan memberi sesaji.

Kami mengunjungi Para setelah menyelam di Mahangetang, yang berjarak 45 menit dengan speedboat. Mahangetang sengaja kami datangi karena gunung berapi Banua Wuhu (Dunia Baru) yang terendam laut. Hanya puncaknya--yang tak sampai semeter--yang berada di atas permukaan air.

Tak ada terumbu karang tumbuh di punggung gunung--karena belerang. Tapi kita bisa menyaksikan pemandangan tiada duanya: munculnya gelembung-gelembung udara dari punggung gunung itu.

Hanya perlu snorkeling untuk bisa menyaksikannya. Nita, Hendra, dan Faishal Umar memilih diving di tempat yang lebih dalam dan jauh untuk mendapatkan karang dan ikan yang lebih beragam.

-

Arsip Blog

Recent Posts