Peringati Revolusi Sosial Sumatera Timur, Ratusan Orang Melayu Berkumpul di Masjid Raya

Medan, Sumut - Ratusan masyarakat Melayu Sumatera Timur hadir dan berkumpul di halaman Masjid Raya Al-Mashun, dalam rangka memperingati 70 tahun Revolusi Sosial Sumatera Timur 1946, Jumat malam (4/3/2016).

Sejumlah tokoh Melayu turut hadir dalam acara ini, termasuk Gubernur Sumatera Utara, Tengku Erry Nuradi.

Acara berlangsung sederhana. Para hadirin datang dengan pakaian berupa kain sampin putih, busana yang merupakan penanda dukacita atas tragedi pembantaian tersebut.

Seluruh hadirin duduk lesehan tanpa ada pembedaan antara masyarakat biasa dengan pejabat.

Pembina masyarakat Melayu Sumatera Timur, Tengku M Muhar Omtatok, menjelaskan, peristiwa berdarah yang terjadi pada Maret 1946 itu tak hanya meninggalkan sejarah kelam bagi masyarakat Melayu, tetapi juga trauma yang mendalam.

Akibatnya, banyak orang Melayu yang terpaksa mengubah identitas kesukuannya.

"Ada sebuah pergeseran nilai. Ada sensus bahwa Melayu minoritas. Itu pembohongan. Karena apa, karena sekian banyak orang Melayu mengubah diri. Kenapa? Karena ketakutan. Trauma. Seperti di wilayah Tanjungbalai, Labura, Labusel, banyak orang Melayu yang meletakkan marga. Ada yang pakai Harahap, ada yang pakai Nasution, Sitorus, dan sebagainya. Dan banyak juga orang Melayu menggeser bahasanya. Ada rencana apa ini sebetulnya," katanya.

Ironisnya, kata Muhar, tidak ada dokumentasi dalam bentuk tulisan atas peristiwa bersejarah tersebut.

"Selama ini untuk tulisan-tulisan masih hanya sekedar yang dari Langkat, Asahan, Kualuh. Anak SD, SMP, SMA, hanya sekitar 10 rang yang tahu. Kenapa tahu, karena atoknya cerita. Sisanya, di sekolah-sekolah, mulai SD sampai universitas, tidak ada yang menuliskan," ujarnya.

Diungkap Muhar, peristiwa Revolusi Sosial Sumatera Timur berlangsung dengan penuh kebengisan dan kekejaman.

"Beberapa waktu lalu kami mendatangi saksi-saksi mata, mulai dari Tamiang hingga Kota Pinang. Nyatanya seluruh Sumatera Timur terkena dampak pemberangusan, pemerkosaan, pembunuhan, genosida 70 tahun lalu. Bahkan dagingnya dicincang, di buang ke laut jadi makanan ikan di laut. Terus ada juga dicincang, entah betul entah tidak, dimakan," ujarnya.

Muhar pun berharap pemerintah agar menelusuri sejarah tersebut dan menetapkannya sebagai sejarah yang diakui.

"Perlu kita terlusuri latar belakang ini. Perlu pengkajian lagi. Kami tidak bermaksud membuka luka lama. Tidak ada dendam di sini. Kami cuma tidak ingin ada kekerasan baru," katanya.

-

Arsip Blog

Recent Posts