Budayawan: Aceh Barat Krisis Regenerasi Sastrawan

Meulaboh, NAD - Budayawan Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, Syeh Hasan mengatakan saat ini daerah itu dilanda krisis regenerasi sastrawan yang melanjutkan perjuangan mempertahankan budaya leluhur masa lampau.

"Inilah yang kami khawatirkan, generasi penerus yang menyukai sastra-sastra Aceh, baik tulisan maupun lisan yang kental dengan nilai-nilai sejarah dan pelajaran agama dalam budaya Aceh," katanya di Meulaboh, Jumat (25/3).

Syeh Hasan merupakan salah seorang seniman yang sudah berusia tua, namun masih aktif dalam berbagai pementasan-pementasan seni sastra lisan seperti membawakan "Hikayat" dalam acara pesta perkawinan maupun sunat rasul.

Menurut dia, yang sangat krusial saat ini adalah wadah bagi generasi mempelajari tentang sastra Aceh ini sudah sangat sulit, jangankan berharap muncul dari kurikulum sekolah, pada tempat-tempat belajar secara tradisionalpun sudah tidak lagi ditemukan.

Syeh Hasan yang dikenal masyarakat Aceh Barat dan Nagan Raya sebagai penyair Hikayat Aceh ini menilai, perkembangan era globalisasi merupakan salah satu masalah serius yang menjadi tantangan sehingga generasi bergeser pada perilaku dan cara hidup lebih modern.

"Seperti budaya Seumapa dalam satu adat perkawinan, dulu setiap akan ada acara perkawinan, saat meminang, mengantar linto (antar mempelai pria) itu ada penyair bertanya sambil berpantun, sekarang jarang itu masih ada," jelasnya.

Lebih lanjut dikatakan, dalam budaya Aceh tentang Seumapa itu banyak nilai historis terkandung dalam penyampaian pesan sehingga dipahami orang lain, meskipun pertanyaan yang disampaikan secara sindiran.

Syeh Hasan menyampaikan, sekarang masih banyak sastrawan di Aceh, mengenal budaya, adat dan memahami tentang pentingnya pelestarian budaya, namun tidak sedikit diantara mereka tidak memiliki regenerasi yang suatu saat menjadi penerus.

Cenderung para sastrawan di Aceh juga bergerak dengan cara pengajaran moderenisasi dan terus melahirkan satrawan dengan seni-seni kreasi baru, kondisi demikian membuat sastra tradisional Aceh ditinggalkan dan tidak dikenal lagi oleh generasi selanjutnya.

"Ini adalah tugas kita bersama, kita berharap ada keberimbanganlah dalam menghidupkan sastrawan, jangan hanya dalam bahasa nasional (bahasa Indonesia), tapi bahasa Aceh juga penting," sebutnya.

-

Arsip Blog

Recent Posts