Warga Sraturejo Tetap Lestarikan Tradisi Kirap Encek Nganten

Bojonegoro, Jatim - Tradisi Kirap Encek Nganten yang sudah menjadi tradisi sejak dulu terus dilestarikan oleh Warga Desa Sraturejo, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro. Warga setempat selalu menunggu tradisi yang dilakukan sebagai wujud syukur tersebut.

Encek Nganten merupakan gunungan yang dibuat dengan rangkaian hasil bumi. Mulai dari buah-buahan, padi, jagung, sayur mayur dan hasil pertanian lain. Encek gunungan itu dibuat dua buah yang mewakili encek lanang (laki-laki) dan encek wadon (perempuan) yang melambangkan pasangan pengantin.

Gunungan yang dirangkai dari hasil bumi itu kemudian diarak mengelilingi desa oleh para pemuda setempat. Setelah diarak keliling desa gunungan dibawa ke petilasan Sumur Nganten. Di sana, warga sudah ada yang menunggu untuk mendapat berkah dari hasil bumi tersebut. Setelah pembacaan doa, hasil bumi tersebut kemudian dibuat rebutan.

Belum selesai dibacakan doa. Ratusan warga sudah saling berebut encek setinggi 1 meter (m) tersebut. Baik pria, perempuan, maupun anak-anak. Mereka saling berdesakan, seakan tidak memperdulikan keselamtannya. "Yang penting dapat," kata salah seorang warga desa setempat, Rohmatullah Umah, kemarin.

Perempuan berusia 45 tahun itu lumayan mendapat sejumlah hasil pertanian. Seperti kacang, cabai, tomat, dan buah-buahan. Rencananya, hasil pertanian dari tumpeng itu akan dimasak. Kemudian dimakan bersama dengan seluruh anggota keluarganya. "Biar mendapat berhakah dan ditambah rezekinya," ujarnya.

Selain Encek Nganten, saat keliling kampung juga lengkap dengan model pasangan pengantin dan pengiringnya. Pasangan pengantin itu berada dibarisan paling depan. Barisan kedua pemuda yang berseragam hitam-hitam memikul encek, serta para pengiring. Barisan terakhir musik pengiring drum band.

Ketika sampai di petilasan Sumur Nganten. Pasangan pengantin tersebut dibasuh muka, tangan, dan kaki. Hal tersebut seperti yang dilakukan pasangan pengantin yang baru mengucapkan ijab-kabul (akad nikah). Sambil memohon kepada ridho Tuhan Yang Maha Esa (YME) agar pernikahnya langeng, dijauhkan dari cobaan, dan dimurahkan rejeki.

Serta dikaruniai keturunan tidak cacat, berbakti kepada orang tua, agama, dan negara. Ritual tersebut diyakini masyarakat setempat, berawal dari sebuah cerita atau legenda desa setempat.

Awal mula ceritanya, pernah terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Patih Joyosingo terhadap Akuwu atau Bupati Basunondo alias Prabu Lembu Amiseno dengan permaisurinya Kanjeng Ratu Lebdosari pada masa akhir kerajaan Kahuripan. "Lokasi akuwu Basunondo itu diyakini berada di Desa Staturejo," kata Sekretaris Desa (Sekdes) Desa Sraturejo, Haryanto Abdoelah.

Puncak pemberontakan patih Joyosingo ketika berhasil memenjarakan akuwu Basunondo beserta permaisurinya, setelah bertarung di kawasn Sendhang Ratu. Dengan kemenagan tersebut, lanjut dia, Patih Joyosingo mengambil alih kekuasan sebagai akuwu, bergelar Akuwu Joyosingo dengan permaisurinya Niken Lembayung.

Tapi rakyat yang masih mencintai akuwu Basunondo dan permaisurinya akhirnya berencana merebut kembali tampuk kekuasaan. Pengikut istana yang masih setia bersidang di suatu tempat di bawah pohon rindang untuk menyusun srategi. Sementara didekat pohon itu ada sumur yang besar sumber airnya. Lokasi itu disebut Sumur Gandring.

Singkat cerita, seteleh dilakukan penyerangan ke pusat pemerintahan berhasil menumpas pemberontak dan menewaskan patih Joyosingo. Kemudian akuwu Basunondo dan permaisurinya disucikan oleh para tertua adat di sebuah sumur agar segala sesuker atau musibah hilang.

Peritiwa tersebut akhirnya melahirkan sebutan nama Mbah Krebut. Artinya kakek-nenek yang berasil direbut. Keduanya bagaikan sepasang pengantin tidak terpisahkan. Kemudian sumur tersebut dinaman Petilasan Sumur Nganten. Yakni berupa pondasi berkas bangunan kuno berbahan batu bata sebesar 20x35 centimeter (cm). "Setiap tahun, masyarakat melakukan Kirap Encek Nganten. Sebagia bentuk rasa syukur atau sedekah bumi," imbuhnya.

Sementara Kepala Dusun Grenjeng, Desa Sraturejo, Sunoko mengungkapkan, sedekah bumi atau nyadran yang dilakukan masyarakat ini merupakan upaya untuk terus menjaga tradisi masyarakat. Selain itu, diharapkan nyadran tersebut menjadi potensi desa sebagai objek wisata. Nyadran itu dilakukan setiap tahun pada hari Senin Pon.

"Bentuk kegiatan ini merupakan bentuk melestarikan kebudayaan yang sudah dilakukan terhadap nenek moyang dulu. Juga diharapkan menjadi potensi wisata tahunan," jelasnya.

-

Arsip Blog

Recent Posts