4 Kasus Korupsi di Papua Resmi Dilaporkan ke KPK

JAKARTA-Kasus-kasus korupsi di daerah bisa diadukan ke Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Selanjutnya, Tim Upaya Pemberantasan Korupsi DPD (TUPK-DPD) akan mempelajari dan memverifikasi pengaduan tersebut. Untuk pengaduan yang sudah ada bukti-bukti awal tindak pidana korupsi, akan langsung diteruskan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Untuk pertama kalinya, kemarin Ketua TUPK-DPD Marwan Batubara melaporkan 8 kasus korupsi di sejumlah daerah ke KPK. Sebagian besar dari 8 kasus tersebut selama ini sudah ditangani kejaksaan dan kepolisian daerah, namun proses penanganannya dianggap macet. Salah satu yang dilaporkan ke KPK kemarin adalah dugaan penyimpangan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Universitas Sumatera Utara yang dinilai sekitar Rp 9,32 miliar.

"Sejak Januari 2008 kita sudah menerima sebanyak 25 laporan dugaan korupsi di daerah yang disampaikan secara langsung oleh masyarakat. Setelah diverifikasi, dari 25 laporan itu tim hanya merekomendasikan 8 laporan untuk ditindaklanjuti KPK,"ujar Marwan Batubara kepada wartawan usai bertemu Wakil Ketua KPK Candra M Hamzah di gedung KPK, Jakarta, kemarin (28/3). Marwan didampingi anggota TUPK-DPD I Wayan Sudhirta, anggota DPD dari Bali.

Kedelapan kasus korupsi yang dilaporkan ke KPK tersebut empat diantaranya dari Papua. Masing-masing, penyimpangan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2004-2005 di Kabupaten Waropen (Papua) Rp 11,13 miliar, penyimpangan dana otonomi khusus (otsus) tahun 2004 di Kabupaten Waropen (Papua) sekitar Rp 8,5 miliar, penyimpangan dana otsus tahun 2004 di Kabupaten Yapen Waropen (Papua) sekitar Rp 50,39 miliar dan penyalahgunaan dana Non DIK/Dana Tak Tersangka di Kabupaten Tolikara (Papua) Rp 28,11 miliar.

Kemudian kasus penyimpangan dana perimbangan khusus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Provinsi Bengkulu tahun 2006 Rp 21,32 miliar, penyimpangan dana PNBP di Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan (Sumatera Utara) sekitar Rp 9,32 miliar, penyimpangan dana APBD tahun 2005-2007 di Kabupaten Bombana (Sulawesi Tenggara) sekitar Rp 36,6 miliar, dan penyimpangan dana APBD tahun 2004-2006 di Kabupaten Tana Toraja (Sulawesi Selatan) Rp 10,46 miliar.

I Wayan Sudhirta menambahkan, langkah TUPK-DPD ini sebagai tindak lanjut atas Memorandum of Understanding (MoU) antara DPD dengan KPK yang diteken pada 5 Agustus 2006. Di pasal 4 MoU disebutkan, DPD akan mengumpulkan informasi dan data mengenai dugaan tindak pidana korupsi dan melaporkan ke KPK. "Di pasal 4 itu juga dikatakan bahwa KPK akan menindaklanjuti laporan KPK. Jadi, pasal ini juga mengikat KPK. Kami tadi sudah mendapat jaminan dari pimpinan KPK bahwa laporan ini akan ditindaklanjuti," ujar Wayan. Dia yakin, kalau 8 kasus itu diproses dan ada pejabat daerah yang ditahan KPK, maka para pejabat di daerah lain akan lebih berhati-hati dalam menggunakan dana rakyat.

Lebih lanjut Wayan mendesak KPK untuk secara proaktif melakukan supervisi terhadap semua penanganan kasus korupsi di daerah. "KPK tidak usah canggung dengan kepolisian dan kejaksaan. Terlebih banyak sekali kasus di daerah yang sudah ada bukti dan tersangkanya, tapi tidak jalan," katanya.

Wakil Ketua KPK Candra M Hamzah yang ikut memberikan keterangan pers mengatakan, memang laporan DPD ini akan segera ditindaklanjuti. Pada tahap awal, KPK akan menganalisis bukti-bukti awal dari 8 kasus yang dilaporkan DPD. "Nanti akan segera kami lihat, kasus mana saja yang buktinya perlu dilengkapi,"ujar Candra.

Candra menegaskan, bagi KPK tidak ada masalah bila ternyata 8 kasus yang dilaporkan DPD itu sudah ditangani kejaksaan atau kepolisian. "Fungsi supervisi KPK akan berjalan," tandasnya.

Sementara itu, seorang praktisi hukum di Jayapura, Habel Rumbiak,SH
Mengatakan, apa yang dilakukan oleh DPD RI itu merupakan langkah strategis yang tepat untuk memberi tekanan kepada KPK agar dalam pemberantasan korupsi hendaknya memproses juga berbagai korupsi yang terjadi di Papua, yang selama ini tidak pernah disentuh oleh KPK dan terkesan hanya memfokuskan diri untuk menangani berbagai tindak korupsi di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi," katanya kepada Cenderawasih Pos, kemarin.

Dikatakan, dari hasil pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang dilakukan setiap tahun, sebetulnya birokrasi di Papua dililit praktek korupsi, akan tetapi dokumen pemeriksaan BPK tersebut, tidak pernah ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum di daerah, baik kejaksaan maupun kepolisian.

"Selama ini hanya ada dua kasus hasil temuan BPK yang diproses ke pengadilan, yakni kasus korupsi Bupati Jayawijaya (David Hubi) dan kasus pengadaan alat Evaporasi di RSUD Dok II Jayapura yang melibatkan terdakwa dr. Paulina Watofa Sp.R," katanya.

Menurutnya, selama ini ada kesan aparat hukum di daerah hanya mendiamkan hasil pemeriksaan BPK tersebut. "Problemnya adalah tekanan psikologis aparat hukum di daerah yang enggan memproses birokrat di daerah karena budaya ewuh pakewuh, sudah saling kenal dan terlibat bersama dalam berbagai proyek yang mungkin disubsidi oleh Pemda," ujar Habel.

Ditegaskan, anggota DPRD sendiri juga tidak bisa mengontrol eksekutif karena anggarannya disalurkan oleh eksekutif. "Jadi, Otonomi Khusus yang selama ini dinyatakan gagal oleh masyarakat karena memang dananya diduga dikorupsi aparat, dan selamanya dana-dana tersebut tidak akan dinikmati oleh masyarakat sepenuhnya, bila aparat pengelola dana otsus tidak pernah diproses secara hukum sehingga menimbulkan efek jera, sekaligus sebagai upaya untuk membenahi birokrasi agar meningkatkan pelayanannya kepada public," pungkasnya. (jpnn/fud)/sa

Rabu, 17 Maret 2004
-

Arsip Blog

Recent Posts