Bertukar Makanan Lewat Selembar Sapu Tangan dalam Tradisi Guto Lailatul Qadr

Tidore, Maluku - Tidore memiliki tradisi unik merayakan malam Lailatul Qadar. Yakni menyalakan semacam obor dan tukar menukar makanan antar warga. Tradisi bernama Guto ini usianya ratusan tahun. Agar tak punah, Guto bakal dibuatkan festival di seluruh Tidore. FAKHRUDDIN ABDULLAH, Tidore Malam 27 Ramadan adalah puncak perayaan Guto. Pada malam yang kerap disebut Lailatul Qadar ini, warga percaya para malaikat Allah turun ke bumi.

Maka untuk menyambutnya, tiap sudut kampung perlu diterangi cahaya. ”Guto berasal dari bahasa Tidore uto, yang artinya menanam,” ungkap Jojau (Perdana Menteri, red) Kesultanan Tidore, H Amin Faruk, kepada Malut Post (indopos.co.id Goup), Sabtu (25/6). Secara fisik, Guto adalah nama untuk semacam obor. Ia terbuat dari potongan bambu yang dipasang melintang. Bambu tersebut lalu diisi minyak tanah di dalamnya dan dilubangi di sejumlah sisinya.

Lubang-lubang bambu kemudian dipasangi sumbu. ”Pada zaman dulu, orang tua-tua (leluhur, red) menggunakan damar sebagai bahan bakar. Sekarang damar langka, jadi diganti dengan minyak tanah,” sambung Amin. Selain Tidore, sejumlah daerah seperti Weda, Maba, dan Patani juga diketahui pernah melestarikan Guto. Ketiga daerah tersebut adalah bagian dari wilayah Kesultanan Tidore. ”Tradisi Guto sendiri berasal dari masa Sultan Mansur di abad ke-14. Pada malam Lailatul Qadar, Guto dipasang di depan rumah masing-masing warga muslim,” tutur Amin.

Untuk menyambut para malaikat yang turun ke bumi, warga menyiapkan sejumlah penyambutan. Guto dinyalakan, tak hanya di depan rumah, juga di sepanjang jalan, lorong, hingga ke areal pemakaman. Selain memasang Guto, masing-masing warga juga menyiapkan potongan pohon tebu, pisang, dan pohon buah-buahan lainnya di depan rumah mereka. Batangan pohon itu dibuatkan gantungan untuk menggantung ketupat dan beragam jenis makanan lainnya.

”Makanan-makanan tersebut tidak dijual, tapi diberikan kepada orang lain yang menyukainya dengan ikhlas,” ujar Amin. Apabila seorang warga menyukai makanan yang dipajang tetangganya, ia akan menandai makanan tersebut dengan mengikatkan sapu tangan. Dalam bahasa Tidore, sapu tangan ini disebut songa. Maka makanan tersebut dengan sendirinya menjadi hak milik si pemilik songa. ”Jika sudah terikat sapu tangan, berarti makanan itu sudah jadi milik orang lain. Kemudian si pemilik rumah mengantar sendiri makanan tersebut kepada orang yang menandainya,” tutur Amin.

Selain penyambutan terhadap malaikat Allah, tradisi Guto juga mengandung makna berbagi. Terutama di bulan Ramadan yang penuh berkah. ”Memang makin ke sini makin terkikis zaman. Tapi Guto masih dapat dilestarikan di wilayah Kesultanan Tidore,” kata Amin yakin. Tak hanya secara tradisi, perayaan Lailatul Qadar juga diisi dengan ibadah sesuai ajaran Islam. Pada malam tersebut, umat muslim memang dianjurkan memperbanyak salat dan amalan lainnya. ”Sehingga pada saat Lailatul Qadar, petani berhenti berkebun, nelayan berhenti melaut. Semuanya fokus beribadah,” jelas Amin.

Usai tarawih dan witir, warga biasanya melakukan ibadah tengah malam berupa salat sunat Lailatul Qadar 12 rakaat. ”Bahkan orang memperbanyak amal dengan tidak tidur sampai selesai salat Subuh,” katanya. Pada malam itu pula, Sultan Tidore akan menunaikan salat Isya dan tarawih di Masjid Kolano (Masjid Sultan, red). Sebelum salat, sang Sultan akan dijemput perangkat adat dan perangkat masjid di istananya. Di masjid, Sultan menunaikan salat di ruangan khususnya yang ditutupi lembaran kain. Pihak Kesultanan dan Pemerintah Kota Tidore rupanya menyadari keberadaan Guto yang kian terkikis. Maka tahun ini, Pemkot berencana mematenkan Guto dalam sebuah festival tahunan. Setiap desa dan kelurahan di Tidore bakal diminta turut meramaikan festival menyambut malaikat ini.

-

Arsip Blog

Recent Posts