Kabupaten Gowa Menunggu Kepastian Hukum

LEBIH dari sebulan, kemelut antara eksekutif (Pemerintah Kabupaten) dan legislatif (DPRD) di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, belum juga menemukan titik terang. Masyarakat, aparat pemerintah, khususnya pegawai negeri sipil, tak kalah bingungnya menghadapi persoalan ini.

Kemelut ini bermula bulan Januari lalu saat DPRD Gowa mengeluarkan keputusan yang mengejutkan semua pihak dan dinilai sangat kontroversial.

Kontroversi ini berawal saat dewan mencabut Surat Keputusan Nomor 25 tahun 2003 yang dijadikan dasar bagi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengukuhkan Hasbullah Djabar sebagai Bupati Gowa. Sebelumnya, Hasbullah adalah Wakil Bupati yang mendampingi Bupati Syahrul Yasin Limpo (waktu itu, sebelum jadi Wakil Gubernur Sulawesi Selatan/Sulsel).

Menyusul pencabutan SK ini, Dewan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1/Kpts-DPRD/1/2004 tanggal 18 Januari 2004 tentang pemberhentian Bupati Gowa Hasbullah Djabar.

Alasannya, bupati telah melakukan berbagai penyimpangan menyangkut penggunaan anggaran. Di antara tuduhan penyimpangan itu adalah penggunaan anggaran dan pelaksanaan proyek tanpa persetujuan dewan, mark up anggaran, pelaksanaan sejumlah proyek yang sebelumnya tidak terdapat dalam APBD, dan hal lain yang intinya adalah korupsi. Jumlah totalnya sekitar Rp 6 miliar.

Dalam siaran pers yang dikeluarkan DPRD Gowa, rincian tuduhan penyelewengan tersebut di antaranya adalah pemanfaatan langsung sisa tender tanpa persetujuan DPRD sebesar Rp 1 miliar. Kegiatan fisik jalan yang tidak melalui APBD senilai Rp 4,1 miliar, dan penambahan anggaran Rp 545 juta yang tidak tercantum dalam APBD. Selain itu pembangunan tapal batas kota dengan nilai Rp 400 juta yang tidak terdapat dalam APBD serta penambahan anggaran pada pembangunan kantor PMD Rp 46 juta yang dalam kontrak seharusnya hanya Rp 150 juta.

Selain itu masih ada sederet tuduhan lain, seperti pemalsuan dokumen kontrak, pemanfaatan dana koordinasi sebesar Rp 3,325 juta tanpa hasil berdasar kinerja, dan pembangunan kantor koperasi pegawai yang membengkak dari anggaran Rp 100 juta menjadi Rp 402 juta.

Kepada wartawan di Gowa, pekan lalu, Ketua DPRD Gowa H Mallingkai Maknun mengatakan, "Hasbullah jalan sendiri dan membuat kontrak sendiri tanpa persetujuan DPRD. Adapun sejumlah proyek yang ada dalam APBD memang dilaksanakan, tetapi nilainya membengkak dari yang seharusnya," ujarnya.

Atas tuduhan ini Hasbullah membela diri. "Tidak semua yang kami lakukan harus seizin DPRD. Ada hal yang harus kami konsultasikan dengan dewan, tetapi ada pula yang bisa kami lakukan sendiri. Lagi pula tidak ada undang-undang yang mengharuskan kami melaporkan apapun yang mau kami lakukan ke dewan," katanya.

Tentang dugaan mark up terhadap sejumlah pelaksanaan proyek, Hasbullah punya jawaban sendiri. "Begini saja, saya sederhanakan. Misalnya saya diberi uang untuk membeli mobil kijang standar. Tapi dengan cara saya, dan kerelaan penjual, dengan uang yang ada, saya dapat kijang deluxs. Apakah itu bisa dibilang mark up? Kalau harganya 100 lalu kami tulis 200, itu baru mark up," katanya.

Tetapi, rupanya dewan telanjur tidak bisa menerima alasan bupati. Atas berbagai tuduhan ini, mereka kemudian membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki. Hasil pansus kemudian melahirkan keputusan menonaktifkan Hasbullah.

Bukannya mendapat dukungan, keputusan ini segera saja menimbulkan protes di masyarakat. Sejumlah besar kelompok masyarakat menyatakan mosi tidak percaya pada DPRD. "Sebagai kepala desa, kami mempertanyakan atas dasar apa DPRD Gowa memberhentikan bupati. DPRD itu kan mewakili masyarakat dan sampai saat ini kami dan seluruh masyarakat di Gowa belum pernah meminta DPRD Gowa untuk memberhentikan bupati," tanya Abdul Rahman, Kepala Desa Berutallasa, Kecamatan Biring Bulu, kepada Kompas, Selasa kemarin.

Dua pekan sebelumnya, Abdul Rahman bersama puluhan kepala desa dan Camat yang mewakili kepala-kepala desa dan camat se-Gowa serta kelompok-kelompok masyarakat dan tokoh adat mendatangi Gedung DPRD Sulsel.

PASCA-keputusan kontroversi ini, berbagai isu dan dugaan segera saja merebak dan menyebar di masyarakat. Pengunjuk rasa dan sebagian besar masyarakat mencium adanya permainan politik oleh orang yang berambisi menjadi bupati Gowa dibalik kasus ini.

"Dengan kekosongan jabatan bupati, berarti secara administratif jabatan ini akan dipegang gubernur untuk sementara. Setelah itu, tentu saja besar kemungkinan dilakukan pemilihan bupati. Artinya, orang yang mau jadi bupati punya peluang untuk maju," ujar salah seorang tokoh pemuda.

Sebagian lain berkata, dalam kasus ini sekalipun benar ada kesalahan, Bupati Hasbullah Djabar tidak seharusnya menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan. Pasalnya, sebagian periode penggunaan dana adalah pada saat Hasbullah masih menjadi wakil bupati. "Yang lebih rancu lagi, bupati disuruh mempertanggungjawabkan penggunaan dana sebagai bupati pada saat dia masih wakil bupati. Kan tidak seharusnya dia bertangung jawab sendiri," ujar seorang tokoh pemuda yang enggan disebutkan namanya.

Memang sejak awal banyak hal yang rancu dari kisruh penonaktifan Bupati Gowa ini. Kisruh ini sendiri sebenarnya berawal dari permintaan DPRD Gowa agar Bupati Gowa mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran periode Desember 2003. Penggunaan anggaran periode Januari-November 2003 sebelumnya telah dipertanggungjawabkan Syahrul Yasin Limpo, bupati waktu itu. Karena terpilih sebagai salah satu calon wakil gubernur, Syahrul mengundurkan diri pada bulan November.

"Tetapi kan saat itu, secara de jure maupun de facto, Hasbullah masih sebagai wakil bupati. Jabatan bupati baru dipegangnya pada Januari, saat bupati menjadi Wakil Gubernur. Jadi, kan lucu kalau dia disuruh bertanggung jawab sebagai bupati, padahal pada saat yang sama dia masih wakil bupati," ujar seorang sumber yang tidak bersedia disebutkan namanya.

Kerancuan lain adalah keputusan DPRD Gowa yang dinilai sepihak. Saat memutuskan menonaktifkan Bupati Gowa, Gubernur baru saja memerintahkan Badan Pengawas Daerah (Bawasda) menindaklanjuti temuan DPRD Gowa tentang dugaan penyelewengan. Tetapi, belum lagi Bawasda turun ke Gowa, keputusan DPRD sudah turun. Padahal, setelah Bawasda turun pun, temuan-temuannya masih harus diperkuat dengan pemeriksaan tim dari Departemen Dalam Negeri (Depdagri).

"Kalau sejak awal tuduhannya adalah pelanggaran pidana, harusnya kan ini diproses secara hukum di pengadilan. Keputusan pengadilanlah yang harus dijadikan dasar untuk mengambil keputusan, apakah bupati bersalah atau tidak. Atau, kalau mau menggunakan mekanisme lain, biarkan Bawasda bekerja dulu, setelah itu temuan Bawasda ditindaklanjuti tim Depdagri. Bukan dengan melakukan penyelidikan sendiri dan membuat keputusan sendiri. Ini jelas sangat dipaksakan," ujar salah seorang tokoh pemuda Golkar di Gowa.

Tentu saja, semua kerancuan maupun keanehan ini membuat tudingan akan adanya permainan politik dari segelintir orang yang ingin berkuasa di Gowa kian menguat. Apalagi, saat ditanya wartawan di Makassar, Senin (16/2), Mendagri Hari Sabarno mengatakan, pihaknya masih mempelajari kasus ini. Kata Mendagri, tim dari Irjen Depdagri baru saja usai turun dan mengumpulkan data di Gowa dan hasil temuannya belum ada.

Sementara Gubernur Sulsel HM Amin Syam berulang kali menegaskan, Hasbullah masih bupati hingga ada keputusan tetap berupa SK pemberhentian dari Mendagri.

Akan halnya Bupati, para kepala dinas, pejabat di lingkungan Pemerintah Gowa, camat hingga kepala desa, masih menjalankan tugas sebagaimana biasa.(Reny Sri Ayu Taslim)

Sumber : kompas.com Rabu, 18 Februari 2004
-

Arsip Blog

Recent Posts