Melihat Tradisi Takjil Bubur Samin di Masjid Sabiilurrosyaad Bantul

Bantul, DIY - Setiap bulan Ramadan sejak ratusan tahun yang lalu, warga sekitar Masjid Sabillurrosyad, Dusun Kauman, Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Bantul, melakukan tradisi berbuka puasa dengan makan bubur samin dan sayur lodeh bersama-sama di Masjid.

Suara sirine bergemuruh dilanjut dengan suara bedug dan kentongan pertanda untuk waktu untuk berbuka puasa telah tiba, sejumlah anak-anak kecil, remaja, dan jamaah pengajian duduk rapi di serambi masjid sembari menunggu pembagian takjil dan berbuka puasa bersama.

Secangkir teh hangat dan sepiring bubur samin lengkap dengan sayur lodeh segera dibagikan, dengan lahap tampak para anak-anak dan jamaah sangat menikmati hidangan sederhana namun sarat akan makna tersebut.

Zurkoni, Wardani, Jamhani, dan Hasanudin juru masak yang selalu menyiapkan bubur beserta lodeh sangat terlihat cekatan dan sigap dalam menyajikan takjil bubur yang katanya sudah menjadi tradisi di Masjid peninggalan Panembahan Bodho (Raden Trenggono) yang didirikan sekitar akhir abad XIV itu.

Kurang dari hitungan satu menit kemudian anak-anak sudah berlari menuju tempat untuk berwudhu, satu piring bubur samin yang tadi ada di depan mereka kini hanya tersisa piring dan sendoknya saja, tampaknya anak-anak sangatlah menyukai makanan bubur yang bersejarah itu.

Sekretaris Takmir Masjid Sabiilurrosyad, Hariyadi, mengatakan tradisi berbuka puasa dengan bubur ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu bahkan saat Panembahan Bodho masih hidup. Kini, tradisi peninggalan yang sangat kaya akan nilai filosifis yang selalu diajarkan oleh Panembahan Bodho masih menjadi bagian dalam kehidupan kehidupan masyarakat di dusun itu.

“Tradisi ini menurut cerita para orang tua sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, karena penuh dengan nilai kebudayaan dan keagaaman masyarakat hingga sekarang mampu terus menjaga keutuhan tradisi ini,” katanya, Minggu (19/6/2016).

Dikatakannya jauh sebelum bubur tersebut siap disajikan, dapur yang berada tepat disamping masjid sudah ramai sejak pukul 14.00 WIB. Juru masak bubur yang telah ditunjuk sudah mulai meracik berbagai bahan masakan. Tidak kurang dari 4,5 kilogram beras setiap harinya dimasak dalam kuali besar yang masih sangat tradisional.

Kelapa, beras, tempe, tahu, dan sayur sebagian besar didapat dari sumbangan masyarakat, rasa kebersamaan warga sangat terasa hangat. Saat bubur telah masak, beberapa rantang nasi dan piring terlihat sudah mengantri di sebuah meja, selain bubur ini disediakan bagi jamaah yang datang ke masjid, ternyata siapapun warga yang meminta bahkan dipersilahkan dan diperbolehkan.

Meski sempat berhenti selama beberapa tahun, rasa cinta masyarakat akan kebudayaan ternyata tidak mampu membiarkan tradisi ini berhenti begitu saja. Dengan gotong royong antar warga hingga kini tradisi tersebut tetap terjada tiap tahunnya.

Saat ditanyai lebih dalam lagi menurutnya bubur yang menjadi santapan untuk berbuka ini memiliki banyak sekali nilai filosofis. “Ada beberapa makna dari bubur ini sendiri yang sejak dulu nilai-nilai filosofinya diajarkan kepada kami, pertama yaitu bibirrin, artinya di masjid adalah sebagai sumber dan pusat kebaikan dan hal yang bagus bagi masyarakat,” katanya

Kedua yaitu beber, artinya membeberkan, menjelaskan dan menerangkan tentang agama Islam termasuk pada zaman dahulu makanan juga dijadikan sebagai sarana dakwah. Kemudian yang ketiga yaitu babar, yang artinya ajaran agama Islam harus bisa diterima semua lapisan masyarakat seperti halnya yang dilakukan oleh Sunan Kalijogo dahulu.

“Yang terahir ya bubur, artinya meleburkan, agama islam harapannya dapat melebur menjadi satu dengan jiwa penganutnya,” ujarnya.

Penuh harapan setelah sempat terhenti, kegiatan tradisi ini akan terus terjaga dan selamanya akan tetap ada. “Karena itu kami juga mendidik anak-anak untuk tetap mencintai kegiatan tradisi ini. Agar nantinya setelah kami tidak ada, kami sudah turut mewariskan tradisi ini kepada mereka,” tegas Hariyadi.

-

Arsip Blog

Recent Posts