Penghormatan Terhadap Laki-laki Minangkabau

Padang, Sumbar - Salah satu identitas laki-laki di Minangkabau adalah ia mempunyai gala adat, dan setiap laki-laki yang sudah berumahtangga maka akan tabu jika masih dipanggil nama.

Ketua LKAAM Sumbar M Sayuti Dt Rajo Pangulu, Kamis (30/6) mengatakan, dalam adat Minangkabau pemakaian gala (panggilan adat) ada tujuh ragam. Di antaranya, gala sako, gala sang sako, gala perangkat adat, gala mudo, gala kesultanan, gala kerajaan, dan gala kecakapan. Misalnya saja, untuk gala keca­kapan seperti cakap dalam bersilat maka diberi gala pandeka. Bagi yang baru menikah, maka gala mudolah yang diberikan.

Ia menjelaskan, dari ketujuh gala yang ada, gala sako adalah gala tertinggi di Ranah Minang dan gala sako ini diberikan oleh kaum atau anak kamanakan di suku yang ada di Minangkabau. Jadi, kalau seseorang sudah diberi gala sako misalnya datuak maka ia tidak boleh lagi diberi gala yang lain karena gala sako itu sudah paling tinggi.

“Kalau diibaratkan panglima, gala sako itu pangkatnya sudah jendral. Tidak ada di atas itu lagi, nah pemahaman seperti inilah yang perlu dipahami kembali oleh masyarakat Minangkabau,” ungkapnya, Kamis (30/1).

Ia juga melihat, saat ini masih ada yang sudah diberi gelar sako tapi masih menerima gelar lainnya.

“Seharusnya tidak boleh lagi diberikan gelar yang lain, kalau diterima juga gelar yang lain tentunya anak kemanakan kita akan malu dan merasa tidak dihargai. Jadi kalau sudah mendapatkan gala sako, ya sudahlah jangan ditambah lagi dengan yang lainnya karena kan tidak lucu juga kalau dari jendral diberi lagi pangkat yang lebih rendah,” jelasnya.

Ia juga mengatakan, pemberian gala ini mempunyai empat sejarah atau cerita ter­daluhunya. Salah satunya pada zaman Nabi Muhammad SAW diberi gelar baginda.

“Karena berdasarkan syarak, hendaklan kamu dipanggil dengan gelar yang baik-baik,” ulasnya.

Sementara di Minangkabau, ada pepatah yang mengatakan ketek banamo gadang bagala. Artinya, tasabuik dinamo dan taimbau di gala.

“Seorang laki-laki di Minangkabau kalau sudah berumahtangga, maka panggilannya tidak lagi nama tapi gala dan ini sudah menjadi kewajiban serta tradisi yang ada di Minangkabau. Saat ini kalau masih ada yang memanggil nama, masih tabu di Minangkabau karena memang semua orang memanggil gala yang sudah diberikan,” ujar Dt Rajo Pangulu.

Dari cerita zaman daulu, juga kalau ada orang yang menyebut nama orangtua hanya dengan nama asli bukan galanya maka anaknya akan marah.

“Kalau dulu disabuik sajo namo ayah wak dek urang, atau kalau urang nio mangejek hanya manyabuik namo ayah, anaknyo akan berang. Misalnyo, ditulis namo ayah wak di karateh, siap tu diinjak-injak samo kawan maka awak anak sangat marah,” ujarnya.

Hal lainnya, alasan laki-laki di Minang­kabau harus dipanggil galanya adalah untuk memberikan penghormatan, dan juga saling menghargai dengan yang lainnya. Untuk itu, dengan budaya dan tradisi yang telah ada ini ia sangat berharap agar tidak ada lagi masyarakat yang salah pemahaman soal gala ini.

“Gala ini nantinya juga akan ada yang mewarisi, kalau dalam istilahnya sailang kuciang sailang meong. Artinya, kalau orang yang diberikan gelar itu sudah tidak ada maka gala yang diberikan akan dikembalikan pada yang memberikan gala dan nanti juga akan dipakai pada yang lainnya,” ujarnya.

-

Arsip Blog

Recent Posts