Seni Budaya Bagian dari Sarana Syiar Agama Islam

Bandung, Jabar - Kekayaan seni budaya bangsa jangan dibenturkan dengan akidah dan pandangan agama. Sejak masa para Wali Sanga seni budaya merupakan bagian dari sarana syiar agama Islam tidak ada pertentangan.

Demikian ditegaskan anggota Komisi X DPR RI bidang pendidikan Popong Otje Djundjunan, dalam sambutannya pada pembukaan Pesona Semarak Ramadhan 1437 Hijriah.

“Islam merupakan agama toleran, sejak masa para wali (sanga) menyebarkan agama Islam di tanah Jawa tidak timbul pertentangan di masyarakat yang mempermasalahkan seni, budaya dan agama (Islam) yang terjadi justru seni budaya menjadi alat atau sarana menyebarkan ajaran agama Islam,” ujar Ceu Popong pada acara yang digelar Sabtu, 18 Juni 2016 malam bertempat di Plaza Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Bandung, Jalan Diponegoro Bandung.

Dikatakan Ceu Popong, sebagai kekayaan dan warisan milik bangsa, seni budaya bernilai positif yang berkembang dan akan terus berkembang harus dapat diterima oleh masyarakat. Bahkan bila di elaborasi dan diadumanis antara seni budaya dan agama, akan menambah dinamisasi hubungan seni budaya dan agama di masyarakat.

“Jangan seperti yang terjadi sekarang ini, tidak sedikit dibeberapa daerah seni budaya dianggap bertentangan dengan agama (Islam). Padahal bila diadumanis seperti halnya yang dilakukan para wali dahulu dimana wayang menjadi sarana menyebarkan agama (Islam), justru dengan mudah masyarakat memahami, jadi intinya tinggal memberikan pemahaman yang benar bukan seni budaya dipergunakan untuk membelokan ajaran agama,” ujar Ceu Popong yang disambut tepuk tangan riuh.

Hal senada juga diungkapkan guru besar ilmu budaya Unpad Bandung, Prof. Dr. H. Dadang Suganda, M. Hum., pada pengantar pertunjukan Wayang Ajen dengan dalan Ki Dalang Wawan Gunawan. “Meskipun merupakan budaya yang datangnya dari luar, wayang merupakan budaya warisan para wali yang sangat tinggi nilainya, bukan hanya nilai seninya saja tetapi juga nilai filosofinya,” ujar Dadang.

Wayang Ajen menurut Dadang merupakan bukti dinamisasi seni budaya wayang golek yang mengikuti kultur masyarakat yang terus berkembang. Selain bentuk wayang yang berupa replikan wajah tokoh juga cerita yang disampaikan tidak hanya kisah Ramayana atau Mahabharata, tapi berceritakan kondisi kekinian.

“Penciptaan tokoh baru dalam jagat pewayangan bukan merupakan bentuk pemurtadan dalam seni padalangan, tapi merupakan naturalisasi budaya terbarukan. Tapi hal ini merupakan sebuah jawaban seorang dalang akan kondisi kekinian dalam mempertahankan dan melestarikan seni budaya bangsa,” ujar Dadang.

Pegelaran Wayang Golek Ajen dengan dalang Ki Dalang Wawan Gunawan membawakan cerita “Sembilan Cahaya Kawalian”. Berceritakan tentang kondisi negara yang berantakan akibat ulah kawanan buta yang terus menghasut manusia agar berbuat kesalahan.

Kehadiran para buta penghasut membuat amarah Yudistira tokoh Pandawa lima tertua memuncak dan berubah menjadi sosok Brahala (raksasa). Setelah ditenangkan oleh Semar, Yudistirapun kembali ke wujud semula hingga untuk mendamaikan isi dunia turun para wali yang menyebarkan agama Islam dan syiar agama diteruskan oleh para kyai dan ustad serta para alim ulama.

Saat menampilkan tokoh para wali, Ki Dalang Wawan Gunawan memainkan sembilan tokoh wali. Sementara saat cerita bergeser ke peran kyai, ustad dan alim ulama berperan menyiarkan agama Islam, Ki Dalang Wawan Gunawan berkolaborasi dengan Mamang Dai, seorang dai juara DAI TPI.

Keramaian muncul saat Ki Dalang Wawan bergantian menyampaikan ajaran agama Islam dengan Mamang Dai. Saat Mamang Dai meniru suara dan gaya ustad Maulana, Ki Dalang Wawan Gunawan menampilkan wayang dengan wajah ustad Maulana, saat Mamang Dai meniru gaya Rhoma Irama, muncul wayang Rhoma Irama membawa gitar, dan tokoh lainnya hingga penonton tanpa sadar telah mendengarkan petuah-petuah Islami dan tanpa sadar waktu telah beranjak menuju pukul 1.00 WIB Minggu, 19 Juni 2016 dinihari.

-

Arsip Blog

Recent Posts