Ketua DPRD Kabupaten Sintang Terdakwa Korupsi APBD

Pontianak - Pengadilan Negeri Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, akhirnya mengadili Ketua DPRD Kabupaten Sintang, Mickael Abeng, terkait praktik korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) periode 1999–2004 sebesar Rp 4,8 miliar, Selasa (12/12).

Selain Abeng, turut pula diadili Gusti Efendi dan Kasianus Sudarso. Ketiganya masih dicatat sebagai anggota DPRD Kabupaten Sintang periode 2004–2009. Bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum Kajari Sintang, Hisyam Taufiek, dengan Ketua Majelis Hakim adalah Ketua Pengadilan Negeri Sintang, Budi Seteyono. Kepala Kejaksaan Tinggi Kalbar, Amrizal menjelaskan, selain tiga terdakwa, pihaknya tengah menyidik mantan Bupati Sintang, Elyakim Simon Djalil yang sekarang dalam tahap pemberkasan akhir. Khusus Elyakim Simon Djalil, selain disangka korupsi APBD, dijaring menyalahgunakan dana Provisi Sumber Daya Hasil Hutan/Dana Reboisasi (PSDH/DR). Keseluruhan dana PSDH/DR yang langsung dimasukkan ke APBD, tidak disetor ke kas pemerintah pusat terlebih dahulu berjumlah Rp 36 miliar lebih.

Dia mengungkapkan, pihaknya juga masih menunggu surat izin dari presiden untuk melakukan pemeriksaan terhadap salah satu anggota DPR yang terlibat dalam penggunaan dana otonomi daerah. Dana Otda Rp 2,3 miliar sebagai salah satu bentuk ucapan terima kasih atas pemekaran Kabupaten Sintang menjadi Kabupaten Sintang dan Kabupaten Melawi tahun 2004.

Pertanyakan Status
Sementara itu, terpidana kasus pembalakan liar Pontjo Diono alias Oh Pek Kie alias A Kie, berdasar keputusan Mahkamah Agung pada pekan lalu dihukum lima tahun dan denda Rp 30 juta, mempertanyakan kebenaran statusnya ke Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah di Semarang, Senin (11/12). Ia didampingi lima pengacaranya menyatakan protes atas tuduhan bahwa ia melarikan diri dan menjadi buron. ”Kami ke sini untuk melakukan klarifikasi atas keputusan Mahkamah Agung,” kata Pontjo di depan wartawan.

Pihak Kejaksaan Negeri Tegal pernah berusaha menangkap Pontjo seusai sidang kasus penyuapan berkaitan dengan tuduhan pembalakan liar yang masuk ke Pelabuhan Cirebon di Pengadilan Negeri Cirebon, 5 Desember lalu. Namun, Jaksa Joko Wibisono yang berusaha menangkap Pontjo gagal. Pontjo berpendapat upaya eksekusi penahanan yang dilakukan Kejari Tegal dinilai tidak prosedural. Seharusnya kejaksaan melakukan pemanggilan, tidak asal melakukan penahanan. ”Sampai saat ini pihak Kejari Tegal juga belum mengirim surat pemberitahuan. Namun, saya datang ke Kejaksaan Tinggi ini bukan untuk menyerahkan diri. Saya hanya ingin klarifikasi. Saya ingin menanyakan soal pernyataan Kejari Tegal bahwa saya adalah buron. Padahal, saat saya tanya, petugas itu belum membawa surat panggilan. Oleh karena itu, jika pihak Kejari Tegal ingin menahan, prosedurnya harus jelas, jangan hanya main tangkap saja,” tuturnya.

Salah seorang pengacaranya, Sujiarno Broto Aji, menyatakan kliennya menuntut prosedur yang benar. Harus ada surat penetapan eksekusi terhadapnya. Jika pada saat upaya eksekusi di PN Cirebon petugas Kejari Tegal melakukan prosedur yang benar, kliennya tidak akan lari dan menolak dieksekusi. Intinya kami akan kooperatif asalkan semua berdasarkan prosedur. Sementara itu, Kejati Jateng enggan memberikan keterangan mengenai kedatangan Pontjo dan para pengacaranya. Mereka hanya ditemui Asisten Intel Kejati Pudji Basuki. Setelah keluar dari ruang pertemuan, Pontjo juga enggan menjelaskan hasil pertemuannya. Pontjo segera dibawa ke mobil Kejati untuk dibawa ke Tegal. Hanya saja apakah itu sudah bersifat penangkapan dan penahanan, juga belum jelas. Para pengacara mengikuti dengan mobil yang lain. (aju/su herdjoko)

Sumber : http://www.sinarharapan.co.id Selasa, 12 Desember 2006
-

Arsip Blog

Recent Posts