Suku Perang, Semut, dan Enggano

Bengkulu - Terompet Kamiyu yang berasal dari cangkang kerang berukuran besar ditiupkan oleh para pimpinan suku. Berpakaian dari dedaunan, ikat kepala dari daun kelapa muda, puluhan kaum perempuan, laki-laki tumpah ruah mengelilingi sebuah perhelatan jamuan makan.

Para panglima perang tampak sigap mengelilingi jamuan pesta adat itu memastikan keadaan aman. Semua wajah terlihat bahagia menikmati hasil panen. Terdapat kelapa muda, pisang, ikan panggang dan beragam jenis makanan khas masyarakat adat Enggano tersaji.

Kebahagiaan pesta syukur itu mendadak surut saat belasan prajurit dari kelompok suku lain mengepung warga yang sedang berpesta. Belasan kelompok suku lain berpakaian tempur lengkap dengan parang dan tombak agresif mengelilingi kelompok yang sedang berpesta itu.

Terompet Kamiyu ditiup oleh panglima perang, pertanda pesta harus dihentikan dan bersiaga melakukan perlawanan. Kaum pria dari kelompok yang diserang mencabut parang dan menyiagakan tombak.

Kaum perempuan beserta tetua adat tampak melakukan negosiasi terhadap kelompok penyerang. Kaum perempuan dalam komunitas adat Suku Enggano berperan penting dalam meredakan pertempuran antarsuku yang kerap terjadi.

Berkat kepiawaian dan bahasa kelembutan dari kaum perempuan perang antar suku dapat dihentikan. Kedua kelompok yang telah berhadapan untuk bertempur itu akhirnya berdamai dan melanjutkan pesta jamuan makan diiringi teriakan dan nyanyian.

Demikianlah salah satu kolosal tarian perang dari suku Pulau Enggano, di Provinsi Bengkulu. Kolosal tarian adat tersebut mengundang decak kagum dan haru para penonton dalam sebuah pesta adat yang digelar pada 17 Agustus 2016 lalu.

Selain tari perang, suku-suku di Pulau Enggano juga mengenal tari semut, tarian ini menggambarkan keberlanjutan hidup suku-suku untuk saling mengisi kehidupan secara berdampingan, pasca perang antar suku yang kerap terjadi.

Tari semut cukup unik, saat ratusan penari berbaris memanjang saling memegang pinggang satu sama lain dan berkeliling membentuk lingkaran, kadang memanjang seperti ular.

Suku perang penjaga perdamaian

Sejarah Suku-suku yang menempati Pulau Enggano sepanjang tahun 1500 hingga 1883 penuh dengan pertumpahan darah.

Terdapat lima suku asli mendiami wilayah yang terletak di tengah Samudera Hindia itu. Kelima suku itu yakni Kauno, Kaitora, Kaaruba, Kaarubi, dan Kaaohao.

Peperangan tersebut dipicu perebutan sumber kehidupan yakni tempat mencari ikan dan tanah. Suku yang suka berperang memerangi suku-suku lain yakni Kaitora.

"Saat itu Suku Kaitora memang dianggap sebagai suku yang suka berperang karena seringnya mengambil tanah suku lain, kami digempur oleh empat suku lain. Akibat sering berperang generasi suku kami sedikit," kata Kepala Suku Kaitora, Rafly Zen Kaitora, Rabu (17/8/2016).

Adapun senjata yang digunakan sebagai alat tempur yakni batu yang dibuat mirip parang dan tombak. Saat itu besi belum dikenal oleh masyarakat adat yang menghuni Pulau Enggano.

Selain dilengkapi dengan alat perang, suku-suku di Enggano juga memiliki rumah adat yang berfungsi sebagai basis pertahanan dan pengintai musuh.

Rumah adat itu sengaja dibangun bertingkat dua, dengan bentuk segi delapan atau hexagon dan ditempatkan di puncak bukit agar memudahkan pengintaian terhadap lawan dan untuk melarikan diri jika kalah perang.

Pertempuran antar suku dapat diakhiri saat kawasan itu dikuasai Belanda pada tahun 1908 dan dikeluarkannya perjanjian “Barharu” tanggal 23 April 1908 De- Residen Van Bengkulen. Perjanjian juga diiringi dengan pendirian tugu perdamaian yang lokasinya ada di Desa Malakoni. Serta pembentukan ikatan persaudaraan yang dinamakan Paano’a.

-

Arsip Blog

Recent Posts