Mari Melihat Kampong Bansir dengan Tradisi Saprahannya

Pontianak, Kalbar - Sepanjang 100 meter lebih sajian makanan membentang di Gang Ramadhan, Jalan Imam Bonjol, Kelurahan Bansir Laut, Kecamatan Pontianak Tenggara, Kalimantan Barat, Sabtu (8/10/2016). Di bagian sisi kiri dan kanan, para tamu duduk lesehan untuk menikmati makan saprahan.

Saprahan yang digelar warga Bansir Laut ini merupakan rangkaian peluncuran inovasi kelurahan itu sebagai Kampung Budaya dengan tagline ‘Mari Melihat Kampong Bansir dengan Budaya Lokalnya’ (Mampir Yok).

Saprahan dalam adat istiadat melayu berasal dari kata “saprah” yang artinya berhampar, yakni budaya makan bersama dengan cara duduk lesehan atau bersila di atas lantai dengan bentangan memanjang.

Wali Kota Pontianak, Sutarmidji menyambut baik inisiatif warga menggelar saprahan sebagai bentuk pelestarian budaya Kota Pontianak. Ia meminta tradisi ini terus dipertahankan dan lebih dikenalkan kepada semua kalangan, tak terkecuali generasi muda.

Salah satu upaya yang sudah dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak untuk mengenalkan budaya saprahan di kalangan muda adalah menggelar lomba saprahan tingkat pelajar SMA sederajat.

“Tahun depan saprahan juga mulai dilakukan tingkat pelajar SMP. Golongan tua juga hendaknya melestarikan kebiasaan makan saprahan ini,” ujarnya, di Pontianak, Sabtu (8/10/2016).

Menurut Sutarmidji, saprahan juga identik dengan Muharram yakni bulan Safar, dengan tradisi robok-robok. Meski serupa, namun saprahan lebih tertata dan ada tata tertibnya.

Saprahan, jelas Sutarmidji, memiliki filosofi sangat dalam dan terkandung nilai-nilai kebaikan, terutama untuk kebersamaan, di mana harus ada pemimpin dalam acara makan bersama itu. “Bagaimana seorang kepala saprah tidak boleh berhenti sebelum anggota saprahan berhenti. Itu menunjukkan bahwa pemimpin itu harus mengayomi,” jelasnya.

Bila makan bersama dalam saprahan ini terus dipertahankan dan ditumbuhkembangkan, Sutarmidji yakin karakter masyarakat Kota Pontianak akan lembut dan lebih toleran.

Sutarmidji mengungkapkan, saprahan ini akan dibukukan oleh Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) yang ditulis oleh Safaruddin. Dalam buku itu, akan mengulas berbagai model saprahan sesuai asal muasal daerahnya. Saprahan Pontianak, Sambas, Sintang, Ngabang dan sebagainya diulas secara detil dalam buku tersebut.

“Semua saprahan antara daerah satu dengan lainnya berbeda-beda. Ini nanti dibukukan supaya orang mengetahui model saprahan sesuai asal daerahnya. Misalnya, model saprahan Sambas dengan Pontianak beda. Kalau di Sambas itu ditempatkan dalam satu wadah untuk empat orang, tetapi kalau di Pontianak model memanjang,” paparnya.

Wakil Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono menambahkan, Pemkot sangat mengapresiasi setiap kegiatan masyarakat untuk melestarikan budaya yang ada di wilayahnya masing-masing.

Ia berharap, warga Kampung Bansir tetap mempertahankan masakan khasnya, baik itu untuk sajian makanan saprahan maupun kue-kue tradisional. Dengan demikian, bisa menambah nilai khasanah budaya yang menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara untuk datang ke Kampung Bansir menikmati sensasi makan saprahan.

“Ini harus dijadikan suatu kebudayaan yang harus dipertahankan dan dilestarikan. Selain itu juga sebagai bagian dari penataan wajah Kota Pontianak terutama waterfront. Semoga suasana Kampung Bansir ini dengan adat dan budayanya tidak berubah oleh zaman,” ucap Edi.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Pontianak, Hilfira Hamid menuturkan, saprahan yang digelar ini merupakan bagian dari launching Kampung Bansir sebagai Kampung Budaya.

Di Kampung Budaya ini, para wisatawan atau tamu dari luar yang tertarik melihat budaya Melayu di Pontianak seperti saprahan, kerajinan-kerajinan khas, bisa berkunjung ke Kampung Bansir ini.

“Siapa pun yang ingin melakukan saprahan dan kapan pun waktunya, bisa difasilitasi dan dilayani di Kampung Budaya dengan catatan dua hari sebelumnya sudah melakukan booking dengan menyebut jumlah peserta yang minta disediakan makan bersama secara lesehan ini. Minimal empat orang, akan dilayani makan saprahan di sini,” terangnya.

Hilfira menyebutkan, Kampung Budaya ini bisa menjadi aset khususnya bidang budaya. Pihaknya juga melakukan promosi Kampung Budaya ini melalui PHRI dn Asita sebagai destinasi pilihan bagi wisatawan yang ingin menikmati saprahan atau melihat kerajinan khas warga setempat.

“Makanya, kami juga mengundang dari PHRI dan Asita untuk mengenalkan kepada mereka supaya mereka bisa membawa tamu-tamu mereka ke sini,” kata Hilfira.

-

Arsip Blog

Recent Posts