Wali Kota Tasikmalaya Digugat Perdata oleh Terpidana

Tasikmalaya, Kompas - Wali Kota Tasikmalaya Bubun Bunyamin digugat secara perdata oleh terpidana kasus korupsi, Direktur Utama PT Mares Jaya Utama, Maman Abdurrochman, di Pengadilan Negeri Tasikmalaya, Kamis (8/11). Gugatan itu terkait dengan kontrak pembangunan Gedung DPRD Kota Tasikmalaya.

Perkara ini berhubungan erat dengan tindak pidana korupsi pembangunan Gedung DPRD yang didakwakan kepada Maman.

Di Pengadilan Negeri Tasikmalaya, Maman telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman empat tahun pada Agustus 2006. Saat ini kasusnya sedang dalam tahap kasasi.

Yang menjadi materi gugatan ialah sisa dana proyek yang belum dibayarkan dan perubahan bentuk kontrak. Maman sebagai penggugat menuntut agar kontrak awal dengan sistem lumsum disahkan dan menganulir harga unit (unit price) yang justru dipakai sebagai dasar dalam perkara pidana korupsi dan penghitungan kerugian negara.

Upaya mediasi yang ditawarkan hakim Rakhman Rajagukguk kepada pengugat yang diwakili Ahdar selaku pengacara dan tergugat yang diwakili Hery Sunaryo dari Kejaksaan Negeri Tasikmalaya sebagai pengacara negara, kemarin, tidak terwujud.

Rp 8,2 miliar

Ahdar mengatakan, PT Mares menandatangani kontrak pembangunan Gedung DPRD dengan Pemerintah Kota Tasikmalaya pada 18 November 2003 dengan nilai proyek Rp 7,8 miliar. Pada 4 Februari 2004 ada perjanjian tambahan (addendum) sehingga nilai proyek menjadi Rp 8,2 miliar. Hasil pekerjaan yang sudah selesai kemudian diserahterimakan kepada pemerintah kota pada 15 Mei 2004.

Sementara pembayaran proyek, lanjut Ahdar, belum seluruhnya dilakukan. Pada 20 November 2003, pemerintah kota memberikan Rp 1,2 miliar kepada PT Mares sebagai uang muka. Kemudian, pada 18 Mei 2004 kembali dicairkan Rp 3 miliar dan pada 20 September 2004 dicairkan lagi Rp 325.500.000.

"Ketika mengajukan pencairan sisa dana yang belum dibayarkan, justru ditolak. Alasannya, perkara ini sedang dalam penyidikan polisi. Namun, belakangan polisi justru mendorong agar Maman mengajukan kembali pencairan dan berhasil. Akan tetapi, dari total uang yang diterima, Maman hanya menerima Rp 1,1 miliar. Sisanya sebanyak Rp 2,4 miliar justru disita dengan alasan merupakan kerugian negara akibat korupsi yang dilakukan oleh Maman," kata Ahdar.

Menurut Ahdar, anehnya nilai kerugian tersebut dihitung atas dasar kontrak pembangunan dalam bentuk harga unit, padahal sejak awal kontrak proyek ini dilakukan dengan sistem lumsum. "Pada September 2005, kontrak diganti dari lumsum menjadi unit price. Ini dilakukan jauh setelah hasil proyek diserahterimakan," tutur Ahdar. (adh)

Sumber : Kompas : 09 November 2007
-

Arsip Blog

Recent Posts