Dokar Berjaya di Arena Wisata

SEBENARNYA tak kurang usaha pemerintah melestarikan dokar di Indonesia. Jika sudah menjadi suratan takdir karena tidak lagi menjadi sarana transportasi umum, kini dokar difungsikan sebagai alat angkutan wisata. Di Jakarta, dokar menjadi tunggangan favorit wisatawan domestik di Silang Monas. Para saisnya mengaku panen besar saat liburan atau lebaran tiba.

Di Denpasar, dokar menjadi sarana angkutan pilihan para wisman. Turis asing menyebutnya horse cart, dan bahkan dijadikan araksi wisata dengan parade dan karnavalnya. Di Semarang, dokar-dokar ramai berseliweran mengitari lapangan Simpang Lima tiap Minggu pagi. Juga di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang.

Jadi, kita masih dapat melihat keberadaan dokar di hampir resort wisata di Indonesia. Ini dapat menjadi ’’obat kecewa’’ bagi mereka yang merasa angkutan tradisional ini mulai lenyap dari peradaban. Dokar wisata memang dimodifkasi dari dokar umum. Ukurannya lebih kecil dan pendek, sehingga hanya memuat 2-3 penumpang plus saisnya. Dokar umum bisa mengangkut 6-7 penumpang, atau barang-barang belanjaan.

Dokar di Yogyakarta lain lagi, karena bentuknya memanjang dengan empat roda. Dua roda depan berukuran kecil, sedangkan roda belakang berukuran lebih besar. Tampilannya mirip dengan kereta keraton zaman dulu, lengkap dengan teralis kayu serta ornamen yang indah.
Atraksi Dokar Usaha pemerintah tidak juga berhenti sampai di situ. Parade atau lomba dokar sering diadakan sebagai atraksi wisata di berbagai objek wisata. Di Denpasar, misalnya, araksi regular setiap tahun. Yang dinilai antara lain keindahan fisik dokar, juga ketrampilan para kusir dalam mengendalikan kuda.

Ketika populasi dokar makin berkurang, makin sedikit pula jumlah bengkel dokar. Di Salatiga, kini hanya tersisa satu bengkel dokar (goglek), yaitu milik Sutarno (54) di Dukuh Nanggulan, Kecamatan Tingkir. Di Malang pun hanya tinggal bengkel milik Giman (60).

Sutarno dan Giman sama-sama mewarisi usaha goglek ini dari orang tuanya. Bengkel Sutarno didirikan ayahnya pada tahun 1952. Saat itu, terutama dekade 1960-an, alat transportasi dokar sedang jaya-jayanya di tengah kota. Kini, tak setiap hari orang melarikan dokarnya ke bengkelnya.

’’Dulu, setiap hari setidaknya dua atau dokar yang bisa saya tangani. Keluhannya nyaris sama, seperti kerusakan pada roda dan as dokar. Sekarang, saya lebih banyak menganggur,’’ keluhnya. Hanya ada secercah permintaan dari Sutarno dan Giman, yaitu supaya pemerintah berjuang mempertahankan dokar dari gusuran globalisasi. (Bambang Iss-32)

Sumber: http://suaramerdeka.com