Suku Sawang Gelar Buang Jong

Kampong Laut Jalan Gatot Subroto Dalam Desa Paal Satu Tanjungpandan, Sabtu (19/7) pagi terlihat lebih sibuk dari biasanya. Anak-anak dan orang tua berkumpul di salah satu sudut halaman kampung itu.

Mereka bersiap-siap menggelar ritual buang jong. Ancak (semacam rumah kecil berbentuk kerucut) dan jong (perahu) disiapkan. Jong diberi hiasan bendera Merah Putih, lengkap dengan awaknya.

Beberapa pria sibuk mengikat bungkusan beras dalam plastik kecil, gula pasir, kopi, pisang, mie instan, kerupuk atau makanan ringan lainnya hingga panci. “Titip ini ya,” kata seorang ibu sambil menyodorkan bungkusan plastik transparan berisi kopi instant, gula pasir, pisang beras dan mie instan.

Pria yang sedang menghiasi perahu tersebut mengambilnya. Satu persatu benda-benda itu diikat dan digantung pada perahu. Di bawah pohon rindang, para ibu membuat hiasan daun kelapa untuk dipasang pada jong. Aktivitas ini ini sesekali diiringi tabuhan gendang.

Ini bagian persiapan ritual buang jong yang akan di gelar Minggu (20/7) pagi ini di Pantai Tanjungpendam.

Ketua Kesenian Suku Sawang Sanggar Ketimang Burong Idris Said mengatakan, buang jong merupakan ritual ungkapan syukur atas rejeki yang telah didapat dari laut. Sekaligus pula sebagai media meminta dijauhkan dari marabahaya, penyakit, serta senantiasa diberikan rejeki dari laut.

Beberapa ritual yang mengiringi buang jong ini yaitu berasik atau menghubungi roh halus. Lalu dilanjutkan dengan pencak silat, untuk membela diri dari ancaman lanun di laut. Kuda dareng yang dimainkan oleh anak-anak adalah ritual selanjutnya.

Setelah itu ada meraung di hutan, yaitu memanggil roh halus dengan membawa ancak. Roh halus dimasukkan ke dalam ancak. Ancak ini dibawa menari sehingga sang penari biasanya kesurupan roh halus tersebut.

Pulang kembali ke kampung laut, langsung dilanjutkan dengan jual beli jong. Jual beli disini tidak diartikan dengan uang, melainkan bertukar antara orang darat dengan orang laut. Orang darat melalui dukun meminta agar banyak rejeki saat mereka ke laut.

Begitu pun dengan orang laut yang melalui perantaraannya meminta agar mereka tidak dimusuhi saat berkunjung ke daratan. Setelah rangkaian tersebut selesai, dilanjutkan dengan beluncong, yaitu menyanyikan lagu-lagu khas Suku Sawang dengan bantuan beberapa alat musik sederhana. Usai beluncong dilanjutkan dengan nyalui yaitu mengenang arwah orang-orang yang sudah meninggal melalui nyanyian.

Digelar pula kesenian suku laut yang terdiri dari berasik/bediker, ancak, jitun, perang lanun, simba gelumbang, mayang ampar dan mancing ikan/numbak duyong. Hari ini, jong akan dibuang ke laut Pantai Tanjungpendam.

Absen 20 Tahun
Buang jong yang dilakukan Suku Sawang ini sempat absen selama 20 tahun. “Buang jong ini adalah yang pertama setelah 20 tahun tidak dilaksanakan,” kata Idris.

Menurut Idris, salah satu penyebab tidak digelarnya ritual buang jong ini adalah kurangnya dukungan dari pemerintah. Idris berharap ritual buang jong tetap bisa terlaksana setiap tahunnya agar tradisi ini tidak punah.

Idris menambahkan, Suku Sawang di Belitung terdapat di kawasan Jalan Gatot Subroto Paal Satu Tanjungpandan, Desa Juru Seberang (Tanjungpandan), di Kecamatan Gantung dan Kecamatan Manggar.

Suku Sawang yang terdapat di kampung laut saat ini berjumlah sekitar 60 KK. Adapun mata pencarian masyarakat ini didominasi oleh melaut dan buruh di Pelabuhan Tanjungpandan. Mereka bekerja di pelabuhan adalah karena ketidakmampuan untuk memiliki perahu.

Dikhawatirkan jika ini terjadi terus-menerus maka keahlian masyarakat suku Sawang sebagai pelaut akan hilang.

“Kami berharap ada bantuan perahu kecil atau kulek dari pemerintah. Biar mereka bisa melaut. Mereka yang tidak pandai, biar nanti saya yang ngajar,” kata Idris. (h4/vid)

Sumber: http://cetak.bangkapos.com