Naskah Dikuras, Situs Merana

"Segala pekerjaan pedang itu boleh dibuat de-ngan kalam; adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh di-buat dengan pedang; beberapa ribu laksa pe-dang yang sudah terhunus, dengan segores kalam jadi tersarung." Bustan al-Katibin, Raja Ali Haji (1809-1873)

BANGUNAN di jantung Pulau Penyengat itu tampak sekali tidak pernah ditoreh dengan cat baru: tua dan merana. Sawang dan debu tersebar di gedung milik Teungku Bilik, adik Sultan Riau terakhir, Abdurahman Muazzam-syah, tersebut. Telah lebih dari seabad usianya. Di sekeliling, rumah-rumah penduduk memagari pulau 3,9 kilometer persegi itu. Jalan-jalan semen selebar dua becak juga lengang. Ada sedikit keramaian ketika azan berkumandang. Setelah waktu salat usai, suwung kembali datang.

Sulit membayangkan pulau ini pada abad ke-18 sampai 19 adalah Kerajaan Melayu, Riau-Lingga. Sekarang sebagian besar dari 2.000 warga Penyengat bekerja sebagai nelayan. "Praktis pada siang hari, pulau ini sepi," kata Raja Malik, 35 tahun, Ketua Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Riau. Keadaan ini bertolak belakang dengan Tanjungpinang, Pulau Bintan, yang letaknya hanya dipisahkan selat dua kilometer. Tanjungpinang adalah kota yang hiruk: bunyi klakson, deretan toko, kantor niaga, orang-orang di pasar. Pamor Penyengat pupus ketika Sultan Aburahman Muazzamsyah hengkang dari sana pada 1911. Kini, hanya tinggal jejak-jejak kegemilangan masa silam yang samar-samar tersisa.

l l l

PENYENGAT berkibar menjadi pusat pemerin-tahan Kerajaan Melayu setelah Malaka jatuh ke ta-ngan Portugis pada 1511. Waktu itu Sultan Mahmud I, penguasa Melayu, mundur ke selatan dan bertapak di Johor. Saat itu ia juga menguasai Pulau Bintan.

Pada 1699, Sultan Mahmud II, keturunan kese-kian Sultan Mahmud I, terbunuh. Tun Abdul Jalil, benda-hara kerajaan, yang mengisi kekosongan takhta, malah memicu pertikaian di istana. Kondisi ini memancing Kerajaan Siak dan Minangkabau menyerbu Johor. Untuk mengembalikan kekuasaan, keluarga diraja Melayu meminta bantuan pasukan bayaran dari Bugis. Di bawah pimpinan lima pendekar-D-aeng Marewah, Daeng Celak, Daeng Kamboja, D-aeng Parani, dan Daeng Menambun-perlawanan itu mendapat hasil.

Maka, naiklah pasangan pemimpin Melayu-Bugis ke tampuk kekuasaan. Pusat pemerintahan lalu dipindahkan ke Penyengat. Mereka lalu menjadikan kawasan ini sentra ekonomi yang tangguh. Pada 1784 Kerajaan Melayu mencoba menyerbu Belanda, namun gagal. Belanda akhirnya meningkatkan peng-awasannya di pulau mungil tersebut.

Merasa mustahil melawan dengan senjata, orang-orang Riau memindahkan lapangan pertempuran ke ranah intelektual. Raja Ali Haji (1809-1873) adalah tokoh yang berdiri paling depan. Ia, misalnya, me-ngobarkan perlawanannya dengan menulis di muka-dimah buku pelajaran bahasa Melayu, Bustan al-Ka-tibin (Taman Para Penulis).

Dia juga membujuk kerabatnya agar membaca ba-nyak kitab. Inilah yang kemudian melahirkan "Lingkaran Penyengat", sebuah kelompok yang banyak memproduksi karya tulis. Dari lingkaran ini, lahir aneka teks, buku, dan jurnal, yang semuanya membangkitkan semangat perlawanan.

Sepanjang hayatnya, Raja Ali Haji berhasil menulis 11 karya termasyhur. Di antaranya Syair Sultan Abdul Muluk, Gurindam Dua Belas, Bustan al-Katibin, Pengetahuan Bahasa, Silsilah Melayu-Bugis, Tuhfat al-Nafis, Tsamarat al-Muhimmah, Syair Siti Sianah, Syair Hukum Nikah (Syair Suluh Pegawai), Sinar Gemala Mustika Alam, Taman Permata, Al-Wusta dan Al-Kubra.

Dari semuanya, menurut ahli bahasa Melayu, Al-Azhar, Tuhfat al-Nafis (Hadiah Berharga) yang paling- monumental. Tuhfat adalah karya sastra sejarah mo-dern yang menggugat teks-teks sejarah yang ada pada waktu itu. Misalnya, ia mengkritik karya-karya yang mengabaikan penjelasan waktu dan tempat a-tau yang menyembunyikan identitas penulisnya. Ali Ha-ji se-lalu membubuhkan nama di setiap karya mi-lik-nya.

Kegairahan menulis pada penduduk Penyengat kian berkobar bahkan setelah Ali Haji wafat. Perkembang-an sadar-aksara itu mencapai puncaknya saat Kera-jaan Riau-Lingga mendukung dibentuknya Rusydi-yah Klub pada 1880. Inilah sebuah perkumpulan yang terbuka untuk umum dan bergerak di bidang po-litik dan kebudayaan. Syarat menjadi anggota perkumpulan ini: pendaftar harus memiliki sedikitnya dua karya tulis yang sudah dicetak. "Ini yang membuat kegiatan tulis-menulis meningkat di Penye-ngat," kata Raja Malik.

Tapi, ada hasilnya: masyarakat kebanyakan kian akrab dengan tradisi menulis. Maka, tak menghe-rankan jika dari pulau ini banyak lahir karya sastra yang ditulis nelayan atau pedagang. Satu di antara-nya, Perkawinan Penduduk karya encik Abdullah (1902), seorang penjaring ikan.

Maraknya hasrat menulis melahirkan tradisi baru, yakni litografi alias cetak batu. Litografi sendiri diperkenalkan oleh seorang misionaris Inggris, Medhurst, pada 1828 di Asia Tenggara. Teknik ini cukup populer di Selat Malaka pada abad ke-19.

Litografi adalah teknologi cetak yang murah dan mudah. Satu halaman tulis bisa langsung dicetak. Aksara apa pun bisa dibentuk menurut keinginan pe-ngarang. Pada masa itu ada tiga tempat di Nusan-tara yang mempunyai percetakan litografi milik pri-bumi: di Palembang milik Kemas Haji Muhammad Azhari (1848-1854), di Surabaya milik Husain al-Habsyi (1853), dan di Penyengat (1850).

Menurut Raja Malik, pada 1850 terdapat dua percetakan aktif di Penyengat: Mathba'at al-Riawiyah dan Mathba'at al-Ahmadiyah. Yang pertama adalah percetakan kerajaan. Seluruh nota dinas, traktat perjanjian, korespondensi dengan kerajaan lain, dicetak di Mathba'at al-Riawiyah. Adapun Mathba'at al-Ahmadiyah khusus mencetak buah pikiran para cerdik pandai, seperti buku, syair, jurnal, dan catatan harian. Percetakan di Penyengat sangat terpandang, bahkan mendahului perkembangan industri percetakan di Singapura.

Tetapi masa suram kejayaan akhirnya muncul. Pa-da 1913, Kerajaan Riau-Lingga, yang berpusat di Penyengat, dibubarkan Belanda. Sebagian besar ling-karan intelektual Raja Ali Haji ikut hijrah ke Singapura dan Tanah Semenanjung. Pewarisan kuasa kalam terpotong karena pasokan bacaan di kampung-kampung berkurang. Penulis huruf latin jebol-an sekolah Hindia Belanda menggusur penulis huruf Jawi-Arab gundul.

l l l

Bangunan bekas Rusydiyah Klub adalah potret mu-ramnya Pulau Penyengat. Yang tersisa hanyalah batu-batu bata besar dan tanah kosong. Rumput se-tinggi betis meliar tumbuh. Di tengahnya hanya tersisa sedikit fondasi bekas bangunan itu.

Menurut Mohammad Farid, 50 tahun, warga Pe-nyengat, merananya peninggalan masa lalu itu akibat miskinnya perhatian pemerintah. Padahal, kata guru mengaji itu, bangunan Rusydiyah Klub sebenar-nya dapat diselamatkan. "Dua puluh lima tahun lalu, bangunan Rusydiyah masih berdinding," katanya. Ia tak mengelak jika dikatakan kesadaran penduduk untuk merawat situs kuno juga belum tumbuh. Sebab, sebagian bahan bangunannya malah dijadikan bahan fondasi rumah warga.

Pemerintah tak bisa berbuat banyak. "Dana kami ter-batas," kata Abdul Kadir Ibrahim, Kepala Bidang Se-jarah dan Purbakala Kota Tanjungpinang. Sebenar-nya-, kata dia, usaha penelitian dan pelestarian situs di Penyengat sudah lama dilakukan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bahkan pernah melakukan penelitian di Pulau Penyengat dan Bintan pada 1981-1983.

Proyek itu lalu diteruskan oleh Direktorat Perlin-dungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Batusangkar. "Tapi, karena banyaknya se-baran situs, pekerjaan penyelamatan tidak maksimal," kata Abdul Kadir. Di Pulau Penyengat, sedikitnya memang terdapat 19 bangunan bersejarah.

Penyengat, nama ini diambil dari cerita rakyat. Ko-non dulu banyak orang luar yang datang ke pulau ini disengat lebah. Lalu, disebutlah pulau itu "Penye-ngat". Kini, kebesaran Kerajaan Melayu Riau-Lingga itu sama sekali tak tersisa-lunglai tersengat zaman.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com