Bila sumut Tuan RUmah Temu Sastra Nasional

Oleh Idris Pasaribu

Para seniman sumut, baik sastra, teater, tari, rupa dan musik selalu saja diundang untuk memperlihatkan kebolehannya di provinsi lain.

Sudah tentu dengan dana yang dikeluarkan dari APBD mereka masing-masing. Di Jawa, bahkan kota-kota kabupaten, selalu menjadi tuan rumah. Dewan Keseniannya selalu aktif melakukan kegiatannya dengan berbagai programnya. Bagaimana pemprov Sumut dan kota lainnya di Sumatera Utara?

Rasanya sudah lebih 10 tahun, Sumut tak pernah menjadi tuan rumah dalam event-event besar kesenian. Kalaupun ada, kegiatan itu dilakukan oleh komunitas seni itu sendiri. Minta bantuan dari Pemprovsu? Dari Pemko Medan? Rasanya, kita harus urut dada, karena kalaupun ada bantuan, pasti tidak konduksif untuk sebuah kegiatan besar.

Sebenarnya, masyarakat kesenian harus sudah mengerti sejak wal. Siapa sebenarnya pejabat yang mau menyampaikan buah pikirnya tentang kesenian di Sumatera Utara. Padahal kesenian, mampu menurunkan tingkat kejahatan, mampu membuat orang berpikir cerdas dan selalu memakai hati nuraninya.

Menjadi sebuah tanya bagi kita, kenapa pejabat kita di Sumut, Bupati dan walikota, tidak pernah terpikir, memasukkan dana kesenian menjadi sebuah kegaiatan besar di daerahnya masing-masing. Andaikan tiap kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara, membuat even besar di wilayahnya, kenakalan remajanya bisa lebih menurun, selain olahraga tentunya.

Kesenian, membangun watak yang cerdas dan penuh dinamika untuk membangun jiwa manusia, kenapa terlupakan? Apakah mereka tidak memilihi hati nurani yang dalam, hingga mereka sendiri tidak memikirkannya? Ataukah mereka tidak mengerti betapa pentingnya arti seni bagi kehidupan manusia?

Aneh memang, kalau pejabat berbicara tentang kesenian. Jika mereka pergi ke daerah lain, mereka tidak lupa menyaksikan kesenian. Kenapa mereka sendiri tidak pernah mau membangun kesenian di daerahnya masing-masing? Apa sebenarnya fungsi Dewan Kesenian yang mereka bangun di daerah, jika dewan keseniannya juga tidak difungsikan dengan baik?

Dewan kesenian sebagai perpanjangan tangan pemerintah daerah, tentu saja berada di bawah naungan pemerintah. Baik dana, maupun kebijakannya. Bukan berarti, dewan kesenian yang dinaungi oleh pemerintah daerahnya itu, harus diam seribu bahasa, kemudian mengikut saja seperti kerbau dicucuk hidungnya. Tidak. Sebagai insan seni, tentu memiliki pemikiran dan kreatifitas yang luas, untuk mengajukan usul dan mempertahankanya dan berguna bagi masyarakat di daerah itu sendiri.

Masyarakat membutuhkan banyak hal, termasuk di dalamnya kesenian. Bukankah uang APBD itu sebagian berasal dari rakyat? Lantas sebagai santapan rohani untuk rakyat, mereka berhak mendapatkannya. Lantas kesenian apa yang dikembalikan kepada rakyat dari dana APBD itu? Kenapa rakyat tak pernah mengetahuinya?

Banyak kendala yang dihadapi oleh para seniman di Sumatera Utara. Selain tidak pernah menjadi tuan rumah di daerahnya, saat diundang atas nama provinsi dan daeah kota-nya, untuk mendapatkan dana keberangkatan saja susahnya setengah mati. Padahal keberangakatan sang seniman adalah untuk keharuman daerah itu sendiri.

Baru-baru ini, beberapa seniman diundang ke Solo untuk sebuah pertemuan teater di Solo. Penulis dapat informasi dari Thmpson Hs dan Agus Susilo, karena mereka harus mengutang uang lebih Rp. 4 juga untuk keberangkatan mereka.

Mereka mewakili Sumatera Utara dan mengharumkan nama Sumatera Utara dan melakukan pementasan di sana. Dengan pentasnya mereka di Solo, masyarakat masih memperhitungkan orang Sumut, kalau di Sumut masih eksis keseniannya. Sedihnya untuk berangkat saja, mereka sudahnya setengah mati.

Apakah pembangunan hanya sebuah pembangunan fisik semata? Jembatan, jalan dan gedung seperti gedung legislatif, misalnya? Apakah pembangunan jiwa tidak penting? Sebenarnya pembangunan jiwa, ruhani, adalah hal terpenting sebenarnya. Siapa yang mau mengerti?

Secara individu, seniman Sumatera Utara masih memiliki eksistensi yang kuat. Terlebi banyaknya kaum muda yang berkiprah ke dunia kesenian dan memiliki potensi yang kuat sebenarnya. Lantas kenapa mereka harus "diterlantarkan" oleh pemerintah daerahnya? Bukankah suatu saat nanti menjadi cikal bakal yang membanggakan Sumatera Utara?

Sudah saatnya Pemprovsu dan Pemkab/Pemko di Sumatera Utara memperhatikan keberadaan seniman di daerahnya masing-masing. Kita ambil contoh Pemkab Samosir yang katanya akan menyediakan lahan seluas 10 hektar untuk perkampungan seniman. Di atas lahan itru akan dibangun perumahan seniman dan berbagai fasilitas lainnya untuk pertunjukan kesenian serta memamerkan hasil seni dari si senimannya. Wacana itu sudah dipastikan akan dilaksanakan tahun ini juga.

Semoga apa yang dilakukan oleh Pemkab Samosir, akan menjadi percontohan bagi daerah lainnya, hingga setiap kabupaten kota di Sumut memiliki perkampungan seniman tempat mereka mengembangkan kreatifitasnya. Semoga. Idris Pasaribu