Upaya Pemartabatan Tamadun Melayu

Oleh : H Rida K Liamsi (Budayawan)

Pekan lalu, digelar seminar internasional Memartabatkan Tamadun Melayu sempena peresmian Yayasan Tenas Effendy. Dalam forum yang dihadiri budayawan dari dalam dan luar negeri itu, penulis turut hadir memberikan sumbangan pemikiran seputar tamadun Melayu.

Pendahuluan
Tamadun Melayu, dalam pemahaman sederhana, adalah semua warisan sejarah dan kebudayaan yang wujud dalam rentang waktu berabad-abad yang kemudian menjadi roh dan semangat masyarakat Melayu dalam merapah kehidupan.

Warisan itu wujud dari hasil jerih payah orang-orang Melayu yang kemudian memberikan kontribusinya pada kehidupan kemasyarakatan. Baik dalam lingkungan masyarakat Melayu sendiri, maupun kumunitas lain di luarnya. Di antara kontribusi itu ada yang berhasil melintas waktu, jarak dan geopolitik. Tapi banyak yang juga kemudian tenggelam dan hanya menjadi catatan sejarah.

Dalam perwujudan peradaban itu, kontribusi terbesar, tentulah berasal dari bidang kebudayaan dengan segala aspeknya. Dan dalam kerja besar kebudayaan itu, tentulah juga berbagai institusi kehidupan berperan.

Bukan hanya institusi pemerintah, tetapi juga masayarakat, yang wujud dalam bentuk lembaga-lembaga kemasyarakatan, seperti yayasan, perhimpunan budaya, ekonomi, politik, dan sosial lainnya.

Artinya, jejak dan peran lembaga-lembaga non pemerintah itu sudah berjalan lama dan sangat signifikan dengan kualitas peradaban Melayu yang wujud sekarang ini.

Kertas kerja ini memang akan lebih banyak membicarakan masalah kebudayaan Melayu dalam konteks keberadaannya. Kertas kerja ini juga akan lebih banyak mengambil Riau sebagai contoh-contoh masalah yang akan diketengahkan.

Bagaimanapun Riau adalah salah satu jantung kebudayaan Melayu yang ada di Indonesia dan berinteraksi langsung dengan kawasan serumpun, seperti Malaysia, dan Singapura.

Secara rambang, memang ada beberapa permasalahan yang mengepung kehidupan kebudayaan Melayu itu, sebagai bagian penting proses perjalanan masyarakat Melayu, khususnya Melayu Riau untuk mengekalkan eksistensi tamadunnya. Antara lain, membekunya warisan kebudayaan yang ada, pewaris kebududayaan yang lemah dan miskin, dan kebudayaan Melayu yang senantiasa hanyut dalam pusaran kebudayaan dunia.

Dalam kenyataan demikian itulah lembaga-lembaga swadaya masyarakat, khususnya di bidang kebudayaan itu berada dan memainkan peranannya. Apa yang mesti dilakukan dan apakah akan wujud? Itulah antara lain pokok-pokok pikiran yang ingin diketengahkan.

Warisan Kebudayaan yang Membeku
Sumbangan terbesar dan terpenting kebudayaan Melayu kepada kebudayaan nusantara ini adalah bahasa Melayu. Di Indonesia, bahasa Melayu telah menjadi cikal bakal bahasa nasional, bahasa Indonesia. Di Malaysia, bahasa Melayu menjadi bahasa resmi. Di Singapura, meski terbatas, bahasa Melayu tetap menjadi bahasa pergaulan baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial kemasarakatan.

Di Brunei pun demikian. Di Thailand bahagian selatan, bahasa Melayu masih menjadi alat komunikasi sehari-hari masyarakatnya. Bahkan sudah dilakukan berbagai upaya, agar bahasa Melayu dapat menjadi bahasa resmi di lingkungan negara-negara Asean. Tetapi, setelah bahasa Melayu, apa lagi yang telah disumbangkan oleh kebudayaan Melayu yang dinilai sangat penting dan menumental, sebagai wujud kebesaran dan keagungan dari tamadun Melayu itu?

Memang agak sulit rasanya untuk menunjukkan hal itu. Di negeri yang tamadun Melayu masih kukuh dan menunjukkan keunggulannya, seperti Malaysia misalnya, yang secara ekonomi tampak lebih maju dan kukuh, mungkin akan ditemukan berberapa kontribusi yang bernilai strategis dan patut dipuji, terutama di bidang ekonomi, sain dan tehnologi.

Tetapi, pencapaian cemerlang itu, sejauh mana sudah bergaung dan memberi pengaruh terhadap perkembangan sekitarnya, khususnya kawasan yang berbudaya Melayu?

Pencapaian Malaysia dalam bidang ekonomi itu, sebenarnya patut dikekalkan dan diperluas, karena bagaimanapun sejarah sudah menunjukkan, bahwa yang membesarkan dan menyebar luaskan tamadun Melayu melalui bahasa Melayu ke seantero nusantara ini adalah para saudagar, para pelaut, para ulama, yang persebarannya didorong dan didukung oleh keunggulan ekonomi perdagangan.

Keunggulan ekonomi yang dibangun dengan semangat ke-Melayu-an dan berteraskan Islam itulah yang menjadi faktor penggerak dan perdorongnya, yang memberi warna dan mempercepat ujudnya sistim dan keunggulan tamadun Melayu, sehingga jejak Melayu itu nampak di mana-mana. Bisakah sejarah itu diulang kembali dalam ujud dan format zaman yang lebih baru?

Di Indonesia sekarang, wujud keunggulan Malaysia dalam bidang ekonomi bisa dilihat dari sosok “khazanah “, imperium bisnis keuangan yang kini merambah ke merata sektor ekonomi dan keuangan.

Telkom Malaysia, dan perusahaan-perusahaan besar kebun kelapa sawit. Tapi apakah kepiawaian dan konsep ekonomi Melayu moderen yang menyertai dan dikembangkan itu, bisa menjadi bahagian yang ikut membesarkan juga ekonomi rumpun Melayu yang lain?

Uang Indonesia yang mengalir deras ke Malaysia, apakah akan balik dan membesarkan masyarakat Melayu yang lain di Indonesia, Singapura, Brunei, dan lainnya? Apakah yang nampak mengemuka kemudian bukan hanya tersisa isu asap, illegal logging dan TKI?

Demikian juga dengan keunggulan maritim. Baik ilmu maupun tehnologinya. Rasanya sudah susah mencari jejak Melayu di samudera dunia ini. Keunggulan maritim itu kini tinggal menjadi warisan dan catatan sejarah. Itupun kalau masih ada yang mencatat dan menyimpannya di dalam museum.

Tapi dalam keseharian, keunggulan bahari itu, tidak dapat memberi inspirasi dan motivasi baru bagi masayarakat Melayu dalam merebut kembali laut dan samudera yang mengepungnya. Bagaimana mungkin akan menguasai, samudera kalau kita kini hanya bisa membuat kolek dan jongkong, dan bukan bahtera?

Warisan sejarah dan peradaban yang dulu cemerlang, kini sudah membeku. Menjadi makalah, menjadi buku, menjadi artifak, dan menjadi asing di sudut-sudut ruang museum atau lemari universitas yang gelap.

Jika dulu di sekolah-sekolah teknik di Riau, siswa masih diajarkan bagaimana membuat perahu, membuat tongkang, kapal dan lainnya, sekarang di Sekolah Menengah Atas (SMA) siswa hanya diajarkan membaca buku cerita tentang jenis-jenis perahu zaman dahulu. Jenis kayu pembuat perahu pun jangan-jangan mereka tak tahu.

Begitu juga dengan ilmu kewiraan yang dulu pernah membuat para penjajah seperti Portugis, atau Belanda menjadi gerun dan hormat terhadap keberanian dan keunggulan strategi perang orang-orang Melayu.

Dulu Raja Haji Fisabilillah digelar Hannibal dari Timur, karena keberanian dan keunggulan strategi perangnya. Sekarang, Raja Haji Fisabilillah sudah diberi gelar pahlawan nasional, tapi keahlian perangnya, tak pernah dikaji lagi secara mendalam, dan hasilnya disumbangkan kepada negara serumpun untuk menjadi referensi bagi pembangunan angakatan laut negeri Melayu lainnya.

Di Kepulauan Riau, tempat Raja Haji bertempur dan menghancurkan armada-armada kompeni Belanda, hanya ada sebuah tugu yang bisu memandang laut, memandang Pulau Penyengat, yang sewaktu-waktu datang badai, bisa rubuh.

Di bidang bahasa dan sastra juga sama tragis. Setelah menyumbang bahasa, lalu kebudayaan Melayu nampaknya berhenti melakukan inovasi, khususnya di bidang sastra ini. Pantun Melayu misalnya, sebagai karya sastra yang dulu sampirannya selalu membuat bulu kuduk berdiri, seperti “ Kalau rubuh Kota Melaka/Papan di Jawa kami tegakkan” sudah kalah populer dengan pantun kilat ala Jakarta: Buah salak, buah kedondong/jangan galak gitu dong”.***