Kagumi Multietnis di Pinang, Kecewa di Penyengat

Bintan, Kepri - Farid Gaban dan Ahmad Yunus melakukan ekspedisi keliling Indonesia untuk mendokumentasikan dan mempublikasikan lewat produk multimedia kehidupan di 100 pulau di 40 gugus kepulauan Indonesia. Hari Selasa (25/8), kedua wartawan ini sampai di Tanjungpinang, setelah sebelumnya singgah di Batam. Selama melintasi jalan di darat, keduanya menggunakan sepeda motor trail di modifikasi sendiri yang dibawa khusus untuk menjalani ekspedisi ini. Ketika mereka harus berpindah dari satu pulau ke pulau lain yang dibatasi laut, bahkan samudera, pilihannya hanya menggunakan kapal.

”Sengaja bawa motor trail, biar bisa masuk ke pedalaman, selama perjalanan tidak pernah naik pesawat, karena memang sengaja menikmati alam Indonesia dari darat dan laut,” ujar Farid. Di lihat dari jadwal kedatangannya ke Pulau Bintan ini, sepertinya meleset dari yang diagendakan keduanya dalam mengatur perjalanan mereka yang dimulai 30 Mei 2009. Perjalanan yang dibagi dalam enam tahapan, dimulai dari wilayah Sumatra dengan perkiraan waktu yang ditempuh 30 Mei-4 Juli. Setelah tiga hari berada di Pulau Bintan, Jumat (28/8), Farid dan Yunus melanjutkan perjalanannya ke Kepulauan Natuna dan Anambas untuk selanjutnya menuju Kalimantan. Tidak lupa dua sepeda motor trail yang mereka gunakan selama melintasi daratan sudah dimasukan dalam kapal Perintis sejak malam hari sebelum keberangkatan.

Beberapa hal yang direncanakan Farid, dan rekannya di Tanjungpinang, satu perjalanan ke Lingga, akhirnya batal, karena tidak mengira jenis trasportasi laut yang nantinya mereka gunakan ke Kepulauan Natuna dan sekitarnya tidak setiap hari berangkat. Jika ia memaksakan ke Lingga, mereka akan ketinggalan kapal perintis menuju Natuna. Akhirnya, Farid dan rekannya memutuskan perjalanan untuk wilayah Tanjungpinang. ”Saya juga penasaran dengan Penyengat yang juga bagian dari Kesultanan Riau-Lingga,” ungkap Farid yang memenangi The Asia Foundation’s Fellowship, Amerika, pada 1998.

”Luar biasa!” komentar Farid mengenai Kepulauan Riau saat berada di Tanjungpinang. Masyarakat Tanjungpinang yang terdiri dari berbagai etnis, tapi berbaur, diakuinya ada suatu kehangatan yang berbeda jika dibandingkan daerah lainnya yang sifatnya lebih homogen. Tetapi, selain rasa kagum melihat Kota Tanjungpinang yang multietnis, ternyata rasa kecewa juga tampak ketika mengunjungi Penyengat. Peninggalan bersejarah yang terabaikan dan minimnya informasi yang bisa didapat pengunjung yang datang, membuktikan kurangnya perhatian pemerintah dalam melestarikan peninggalan sejarah yang ada di daerah tersebut. (dew)