Simbol Kesetaraan Gender Dalam Naskah Lontaraq Tanété

Oleh: Nurhayati Rachman

Makkedai I Baégo (Arung Macécé): “Kénagi Andi Patarai, Petta Juba?” Makkedani Petta Matoaé: “Kumui monro ri Tanété atammu”. Makkedasi I Baégo: “Namakessing-kessing garéq Petta Juba, Andi Patarai. lamu maéloq upolakkai”

Berkata I Baégo (Raja Macégéq): “Kemana gerangan Andi Patarai Petta Juba?” Petta Matoaé (Raja Tua) pun menjawab: “Hambamu ada di Tanété”, kembali berkata I Baégo: “Konon Khabarnya Petta Juba Patarai sangatlah tampan, dialah kelak yang akan kupersuamikan.” (dialog antara Raja Macégéq dengan Raja Tanete)

**

“Di dalam hal-hal yang lama kutemukan sesuatu Baru,” kata Pak Ishak Ngeljaratan sekali waktu. Ternyata itu benar. Di dalam pra Kongres Kebudayaan di Bali beberapa bulan yang lalu, saya telah mempresentasikan sebuah makalah yang membahas tentang Prinsip-Prinsip Demokrasi Sistem Pemerintahan Tradisional di Sulawesi Selatan. Kali ini saya menemukan sebuah naskah kuno di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan yang berjudul Lontaraq Tanété yang ternyata isinya menggambarkan bagaimana peran-peran publik kaum wanita yang menggambarkan kesejajaran dengan kaum pria.

Naskah tersebut ditulis oleh Colliq Pujié yang nama lengkapnya Terna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa Matinroé ri Tucaé. Bila diurai satu-satu arti nama itu, maka, Retna Kencana adalah nama Melayu yang diberikan oleh orang tuanya sejak kecil. Colliq pujié berarti pucuk daun yang terpuji, sedangkan arung pancana toa adalah gelar jabatannya sebagai Raja Tua di Pancana. Setelah meninggal dunia, ia diberi gelar anumerta Matinroé ri Tucaé yang berarti yang tertidur di Tucaé? Tucaé adalah nama salah salah satu tempat di Lamuru, tempat Colliq Pujié meninggal. Pancana tempat Colliq Pujié menjadi Ratu adalah salah satu kerajaan bawahan Tanété yang terletak di tepi pantai.

Ayahnya bernama La Rumpang Mégga, yang dilantik menjadi Raja Tanété yang ke-19 pada tahun 1840. La Rumpang tinggal di sebuah istana yang besar dan megah. Namun menurut Matthes, istana tersebut tidak terawat dengan baik, karena Raja La Rumpang tidak terlalu menghiraukan urusan kerajaan. Ia lebih banyak bersantai-santai atau pergi berburu. Itulah sebabnya, seluruh urusan kerajaan termasuk administrasinya dikendalikan oleh Colliq Pujié.

Tidak diketahui dengan pasti kapan tepatnya Colliq Pujié lahir, hanya menurut perkiraan Matthes, ia diperkirakan lahir sekitar tahun 1812-an. Ia kemudian menikah dengan La Tanampareq To Apatorang, Raja Ujung. Dari perkawinannya ini, ia dikaruniai tiga orang anak, dua di antaranya adalah perempuan: Wé Tenriollé Siti Aisyah, yang kedua I Gading dan yang laki-laki bernama La Makkawaru.

Tahun 1852, ketika berusia 40 tahun dan telah menjadi janda, ia bertemu dengan Matthes, seorang misionaris Belanda yang bertugas untuk mempelajari bahasa dan sastra Sulawesi Selatan. Atas kepiawaiannya di bidang mengarang dan menulis, ia menjadi narasumber utama beberapa peneliti dari Eropa, antara lain Ida Pfeiffer dari Austria, A. Lighvoed, dan Matthes. Dan, yang terakhir adalah yang terlama, sekitar 20 tahun ia membantunya, mengumpulkan, menyalin dan mengarang naskah-naskah untuk keperluan penelitian Matthes. Selama itu pula ia mendampingi Matthes masuk keluar pedalaman Sulawesi Selatan, suatu tindakan yang paling berani untuk ukuran wanita saat itu.

Salah satu karya monumentalnya adalah salinan 12 jilid naskah La Galigo yang sebelumnya terserak-serak episodenya pada beberapa daerah. Waktu itu seseorang keluarga cukup memiliki satu episode saja sudah dianggap luar biasa. Karena naskah-naskah itu tak mau dilepaskan pemiliknya kepada Matthes, maka ia pun meminta Colliq Pujié menyalin dan menyusun episode itu secara berurutan sampai 12 jilid (semacam editor). Dua belas jilid naskah La Galigo yang disalin Colliq Pujié inilah yang dianggap sebagai karya sastra terpanjang di dunia– 300.000 bait, yang menurut Kern hanya sepertiga dari jumlah naskah La Galigo secara keseluruhan.

Semua karyanya baik yang dihasilkan oleh Colliq Pujié maupun karya peneliti Eropa yang menjadikannya sebagai narasumber utama kini tersimpan di beberapa museum dan perpustakaan di Leiden dan beberapa perpustakaan dan museum di belahan dunia lainnya. Meskipun begitu, hidupnya sangat miskin dan menderita, ia diasingkan di Makassar, ia dipisahkan dari keluarganya dan tinggal di sebuah gubuk yang menurut Matthes jauh lebih besar kandang babi orang Belanda, Menurut Matthes pengasingan ini dilakukan karena seringnya cekcok dengan puterinya I Ollé. Belanda berusaha mendamaikannya tapi tidak berhasil. Karena itulah, pada bulan Maret tahun 1857 Belanda melarang Colliq Pujié kembali ke Tanété dan ditetapkan untuk tinggal di Makassar dengan tunjangan 20 gulden ditambah 2 pikul beras perbulan. Belanda tidak menjelaskan apa sebab pertengkaran itu terjadi dan mengapa mesti dipisahkan dengan putrinya, hanya Matthes dalam sebuah suratnya kepada Nederlandsch Bibelgenoostschap bercerita:

“Hampir setiap hari saya mengunjungi seorang Ratu Bugis (Colliq Pujié) yang tinggal berdekatan dengan saya, dan yang ditetapkan di sini oleh pemerintah (Belanda) dengan alasan politik.”

Tidak ada sumber dokumen tertulis yang menjelaskan alasan politik itu. Hanya menurut Andi Muhammad Rum pertengkaran itu dipicu oleh besarnya dukungan yang diberikan oleh La Sangaji (suami I Ollé) kepada Belanda yang ditentang keras oleh Colliq Pujié.

Untuk memenuhi kebutuhannya, ia pun menyalin karya sastra dan naskah-naskah di Sulawesi Selatan untuk Matthes. Gaji dari pemerintah Belanda sebanyak 20 gulden dan 2 pikul beras itu tidaklah cukup, sehingga seringkali ia menjual perhiasan warisan dari keluarganya. Beberapa kali ia minta untuk kembali ke daerahnya atau pindah ke tempat lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik, tetapi tak pernah diizinkan oleh pemerintah Belanda.

Pada tahun 1867 Colliq Pujié barulah mendapat izin untuk kembali ke Tanété. Namun karena tetap kurang cocok dengan I Ollé, ia kemudian berpindah-pindah ke rumah anaknya yang lain, yaitu I Gading yang menjadi Ratu di Mario atau La Makkawaru yang menjadi Raja di Lamuru.

Tanggal 11 Nopember 1876, Retna Kencana Colliq Pujié Arung Pancana Toa meninggal dengan tenang di Lamuru, dan dimakamkan di Tucaé, maka digelarlah ia Matinroè ri Tucaé yang artinya terbaring di Tucaé.

* *

Sejarah perjalanan hidup Colliq Pujié adalah sebuah perjalanan sejarah anak manusia yang panjang dan berliku, seperti halnya senarai sejarah perjalanan leluhurnya yang ia ceritakan dengan lantang, tanpa basa-basi, penuh dengan ketelanjangan data yang ditutup-tutupi dalam Sejarah Kerajaan Tanété. Naskah yang ditulisnya pada tahun 1852 ini kemudian dicetak dan diterbitkan oleh G.K. Niemen dengan judul Geschiedenis van Tanette, diterbitkan oleh Gravenhage, Martinus Nijhoff, Leiden pada tahun 1883 yang selanjutnya akan dibicarakan secara singkat di bawah ini.

Naskah ini dibagi ke dalam 18 bab yang menceritakan Raja I Tanété sampai Raja XX. Setiap tokoh diceritakan mulai lahirnya, percintaannya sampai perkawinannya. Alur ceritanya tunggal, tetapi kadang-kadang terdapat alur kilas balik di celah-celah peristiwa seorang tokoh. Hal ini menyebabkan alur cerita menjadi kompleks, ditambah lagi penamaan tokoh yang selalu berubah-ubah, karena hampir setiap tokoh mempunyai nama lebih dari satu. Isinya, cerita seputar kehidupan istana Raja-Raja Tanété dahulu yang diubah dalam bentuk prosa lirik dengan bentuk penceritaan yang bersifat monolog dan dialog. Oleh karena itu, membaca buku ini tak ubahnya membaca sebuah roman yang berkisah di seputar percintaan, peperangan, intrik, kekuasaan, ketulusan, kejujuran dan berbagai nilai-nilai kebenaran lainnya yang berhadapan dengan nilai-nilai buruk. Semua itu diperankan oleh tokoh sejarah Tanété yang di dalam berinteraksi secara kultural dan sosial tidak mengenal batas-batas geografi, suku dan jenis kelamin. Kisah-kisah itu dibungkus dalam bahasa Bugis halus dengan kadar cita sastra yang tinggi sehingga ia dapat pula dikategorikan sebagai sastra sejarah.

Sejarah seperti ini di dalam tradisi Bugis disebut lontaraq, sebuah bentuk penulisan sejarah tradisional di Nusantara yang oleh banyak ahli dari luar dianggap memenuhi kriteria untuk disebut sebagai sejarah modern. Hanya pada bagian awalnya saja yang dipenuhi oleh misteri. Sesudah itu, cerita mengalir dengan data dan fakta yang jelas tanpa dibumbui oleh hal-hal yang bersifat supernatural dan gaib.

Berbeda dengan cerita di Jawa dan Melayu yang geneologinya berasal dari tokoh penting dalam sejarah dunia yang berasal dari Islam atau Hindu, seperti Nabi Adam, Iskandar Zulkarnain, atau Rama, dan sebagainya, kisah-kisah tradisional dalam sejaran kerajaan di Sulawesi Selatan geneologinya selalu berasal dari salah satu dari dua tempat, yakni: 1) dari Boting Langiq (pusat langit), atau 2) dari Buri Liu (dasar laut). Yang berasal dari Boting Langiq disebutnya sebagai To Manurung (orang yang turun), sedangkan yang berasal dari Buri Liu disebutnya sebagai To Tompoq (orang yang muncul). Mereka beranggapan bahwa baik To Manurung maupun To Tompoq adalah keturunan dewa yang dijelmakan di bumi. Karena itulah, mereka menyapa To Manurung sebagai Dewataè, sedang To Tompoq disapanya sebagai To Sangiang (Sang Hyang….?).

Agaknya kisah-kisah seperti itulah yang menyertai berdirinya Kerajaan Tanété– tempat Colliq Pujié dilahirkan, yang setelah kemerdekaan Indonesia dilebur menjadi bagian dari Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan (sekitar 100-an km dari Makassar).

Konon sekali waktu, orang Pangi naik ke gunung jangang-jangangngé untuk berburu. Pada waktu mereka tiba di puncak gunung, mereka dikejutkan oleh adanya sebuah guci yang berisi penuh air. Mereka berpikir, pastilah ada manusia di sekitar tempat ini. Mereka penasaran. Rasa penasaran itulah yang mengantarkannya masuk sampai ke ke dalaman puncak gunung tersebut. Dan, benar di sana ia temui pasangan suami isteri yang di sekitarnya beterbangan burung-burung yang membawa ikan. Ikan-ikan itulah yang menjadi makanan utama pasangan suami isteri itu. Orang Pangi kemudian bertanya: “Darimanakah asal kalian berdua?”. Jawab mereka: “Kami tidak tahu asal kami, yang pasti salah satu dari empat mata arah angin, yaitu utara, timur, selatan dan barat.” Orang Pangi pun yakin bahwa mereka itu pasti To Manurung atau To Tompoq. Benar juga dugaannya, karena dikemudian hari, kelak setelah dewa ini melahirkan anak-anaknya, maka anak-anak tersebut menyapanya To Sangiang. Itu pertanda dia adalah To Tompoq (Orang yang muncul dari Bui Liu), diperkuat lagi adanya petunjuk bahwa mereka berdua hanya makan ikan di tengah-tengah gunung. Karena itulah, orang Pangi lalu memutuskan untuk mengajak orang asing ini turun menjadi raja di daerahnya, tapi ditolak dengan halus oleh To Sangiang. Akhirnya, secara rutin orang Pangi itu naik ke gunung tersebut dengan tujuan: 1) berburu, dan 2) menjenguk sepasang manusia dewa itu.

Tak lama kemudian dewa ini telah melahirkan putri, dan setelah dewasa sang putri kemudian dijodohkan dengan putera Raja orang Pangi di Ale-Kalegé. Setelah itu, To Sangiang memilih turun dari gunung dan tinggal di sebuah tempat kosong, yaitu Batu Léppanaé di kampung La Poncing. Di sanalah ia membuka lahan persawahan dan membentuk perkampungan. Kampung itulah kemudian yang diberi nama Aganionjo. To Sangiang menjadi Raja pertama di tempat itu. Tidak lama kemudian sepasang putranya tidak pernah akur, selalu bertengkar, To Sangiang takut kalau mereka saling membunuh. Karena itulah, ia memutuskan untuk mencari raja pengganti yang bisa dipatuhi oleh kedua putranya. Pilihannya jatuh pada Raja Segeri. Inilah cikal bakal Raja Aganionjo, yang di kemudian hari diubah namanya menjadi Kerajaan Tanété. Perubahan ini dilakukan oleh To Maburuqé Limanna (Raja Tanété yang ke–8) sebagai wujud persaudaraannya dengan kerajaan Tanete di selayar.

Dan sinilah Colliq Pujié memulai cerita leluhurnya, yang pada garis besarnya memberi gambaran kepada kita tentang dua hal, yaitu: 1) silsilah raja-raja dan adat istiadat kerajaan Bugis/Makassar, 2) kebebasan berbicara dan berekspresi tanpa mengenal perbedaan jenis kelamin, agama, dan ras.

Setiap raja mempunyai tanggung jawab untuk melanjutkan kebijakan raja-raja pendahulunya, meskipun begitu mereka juga melakukan evaluasi terhadap setiap kebijakan, yang mana bisa dilanjutkan dan mana yang tidak. la juga berimprovisasi secara kreatif untuk menciptakan hal-hal baru. Karenanya, setiap raja mempunyai keunikan-keunikannya tersendiri serta kelebihan dan kekurangannya. Semua itu diceritakan secara gamblang tanpa ditutup-tutupi kejelekannya.

Raja Tanété adalah Datu Gollaé masih kerabat Raja Gowa. Oleh karena itu, mulai Raja I ini sampai ke Raja IX mereka dengan rutin datang ke Gowa memberikan sesembahan seperti hasil panen. Hal ini merupakan tanda bukti akan kesetiaannya kepada Raja Gowa sebagai raja bawahan Gowa yang berdaulat. Namun, sekali waktu terjadi insiden, ketika Raja Tanété X Matinroé ri Bulianna berkuasa, tanpa sengaja Raja Bone, Arung Palakka yang masih kerabat Raja Gowa diburu oleh Raja Gowa karena konflik yang tak bisa diredam. Raja Tanété menyembunyikannya, maka alangkah murkanya Raja Gowa. Sejak saat itu, hubungan antara Gowa dan Tanété memburuk dan selanjutnya berakhir dengan pemutusan diplomatik. Sejak saat itu pula, Tanété beralih menjadi negara bagian dari kerajaan Bone yang sekali-kali mempersembahkan pajak ke Bone. Sementara Arung Palakka yang terdesak akibat tekanan Gowa yang terus- menerus, akhirnya meminta bala bantuan kepada kompeni Belanda, dan dengan bantuan Belanda inilah ia dapat melawan hegemoni kekuasaan Gowa yang sangat kuat dan ekspansif. Sebagai konsekwensinya, ia harus takluk di bawah kekuasaan Belanda. Raja Tanété yang merupakan bawahan Raja Bone mau tak mau harus pula membantu Bone dan Belanda melawan Gowa, termasuk membantu kompeni menghalau pemberontakan Cina dan pasukan Jawa di Jawa Tengah.

Persekutuan dengan Bone ini berlangsung terus akhirnya Raja Tanété X digantikan oleh putra sulungnya Daéng Matulung (Raja XI) yang tidak beberapa lama setelah dilantik ia mengundurkan diri karena tidak suka menyembah kepada Raja Bone dan diperintah oleh Belanda. la lalu dititipkan kepada Raja Bone untuk belajar adat istiadat dan tata cara memegang kekuasaan.

Waktu berjalan terus dan sejarah anak manusia pun turut berputar, bergulir, dan mengalir mengikuti perjalanan sang waktu yang tak pernah bisa dihentikan sejenak oleh siapa pun. Raja-Raja Tanété silih berganti yang setuju tidak setuju, terima atau tidak terima, ia harus tunduk kepada takdir untuk menjadi bagian dari kekuasaan Bone dan Belanda. Namun, ketika kekuasaan tiba di tangan La Patau, Raja Tanété XVII, raja yang tanpa basa-basi menolak permintaan Belanda untuk menghadap kepadanya dalam suatu pertemuan yang diadakan oleh Gubernemen di Makassar: “Kalau Belanda butuh dengan saya dia yang harus menghadap saya, bukan saya yang harus menghadap kepadanya,” begitu katanya. Belanda sangat tersinggung, sekejap saja, kehidupan masyarakat Tanété tiba-tiba berubah, gonjang-ganjing, kacau-balau akibat peperangan yang tidak berimbang antara pasukan La Patau dan kompeni Belanda. Meskipun begitu, semangatnya luar biasa, dan tak pernah surut sedikit pun, sampai akhirnya terdesak sampai ke daerah pegunungan. Beberapa saat ketika dia sudah kewalahan, penasehatnya menyarankan untuk mundur. Dengan tegas ia menjawab, “Turunkan saja perahuku, biar saya pergi merantau jauh”. Sang Penasihat langsung menanggapi itu sebagai signal bahwa sang Raja meminta dirinya untuk diturunkan sebagai raja, maka jawab sang penasihat,”tak ada satu pun yang bisa menurunkan tuanku kecuali atas keinginan tuan sendiri”. Ketika itulah, ia mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada saudara perempuannya Daéng Tennisanga menjadi Ratu Tanété XVIII, sementara La Patau tetap melanjutkan perlawanan dari gunung, tiga kali gencatan senjata tiga kali pula berperang sampai akhirnya ia kalah. Itulah sebabnya, ketika meninggal, ia digelar anumerta sebagai Petta Mpélaingné Musuqna, yang artinya “Raja yang meninggalkan peperangan”.

Tidak begitu lama setelah kekuasaan Daéng Tenrisang (saudara perempuan La Patau), ia pun mengundurkan diri. Belanda menunjuk La Rumpang menggantikannya, ayah Colliq Pujié seperti yang telah dibicarakan di atas.

**

Gambaran umum yang kita dapatkan dalam penampakan hiruk-pikuk kehidupan setiap tokoh adalah tidak adanya batas-batas perbedaan antara berbagai jenis kelamin atau pun agama dan suku, baik dalam berinteraksi secara sosial maupun di dalam menduduki posisi-posisi penting dalam struktur kekuasaan. Bila dirunut satu-persatu, dari Raja I sampai XX dalam naskah ini, maka 9 di antaranya adalah perempuan, selebihnya adalah laki-laki, namun istrinya juga semuanya adalah ratu yang berkuasa di tempat lain. Meskipun hanyalah raja kecil, tapi berdaulat di dalam sebuah kerajaan besar. Demikian pula halnya dengan para ratu, suaminya adalah raja di tempat lain, bahkan Terniléléang Ratu Tanété XV berkuasa di dua tempat sekaligus, yaitu kerajaan Tanété dan kerajaan Luwuq karena kebetulan ayahnya orang Luwuq.

Wanita-wanita itu merupakan mahluk-mahluk publik yang hidup melampaui zamannya. Mereka memimpin pasukan perang, berdiplomasi, mengambil kebijakan-kebijakan, memutuskan perkara, dan mengekspresikan perasaannya sesuka hati tanpa dihalangi oleh basa-basi tata krama seperti yang sering kita temukan dalam kerajaan feodal lainnya. Wanita-wanita tersebut berseliweran kesana-kemari dengan transportasi utama perahu. Kadang-kadang mereka melahirkan di tempat lain dan dengan entengnya anak itu dititipkan kepada ibu pengasuhnya lalu sang Ratu melanjutkan perjalanannya untuk kepentingan diplomasi. Hal ini dapat kita lihat ketika I Ollé yang ketika menghadap ke Raja Gowa, ia sedang hamil tua. Dua malam setelah tiba di Gowa, ia melahirkan. Anak itu diberi nama Wé Pancaitana, dan ia mendapat ibu susu dua orang: satu dari Raja Gowa dan yang satunya dari Lamuru. Sesudah itu, anak tersebut dititipkan kepada pengasuhnya kemudian ia menuju Tanété kembali.

Kebebasan bukan hanya terlihat dalam posisi penting dalam kekuasaan tapi juga dalam hal perjodohan. Tenriléléang adalah ratu yang paling eksotik. la meninggaikan suaminya menuju Sapirié karena sudah merasa tidak cocok, padahal ketika itu ia telah dikaruniai tujuh orang anak dan telah menjelang manupouse. Ketika suaminya menyindir dalam nyanyian, antara lain ia berkata “biar saja engkau pergi, tak mungkin lagi ada yang jatuh cinta padamu dan menikahimu, karena engkau sudah tua”. Kalau aku tidak masalah karena aku masih bisa punya selir yang lain”. Maka Tenriléléang menjawa: “Pekkumutono siaq pekkumutoni tauwe,” artinya kamu begitu aku juga bisa begitu, dengan kata lain, apa yang bisa kamu lakukan aku pun juga bisa melakukannya. Dan ternyata ia buktikan karena tidak lama sesudah ia berpisah dengan suaminya, ia menikah lagi dengan Paoggaugé ri Bone (Raja Bone) dan meskipun sudah tua pesta perkawinannya dilangsungkan secara meriah.

Di dalam naskah ini juga kita temukan tradisi mangoting-oting suatu bentuk ungkapan perasaan cinta seorang wanita kepada laki-laki yang disukainya – tentu saja juga menyukainya – dengan jalan mengikatkan selendangnya ke ujung keris laki-laki, maka kalau ini terjadi tak ada satupun orang yang bisa memisahkannya kecuali menikahkannya. Hal ini dapat kita lihat pada percintaan antara Kadi dan I Buba, yang karena telah saling mangoting, maka Tenriléléang menikahkannya.
Peristiwa yang tidak kalah serunya adalah saat La Maddusila Raja Tanété XVI memerintahkan kepada Arung Lipukasi (salah seorang raja bawahan Tanété) mallalengeng akka (mengangkat baki) untuk tamu-tamu perempuan. Sang Raja Lipukasi protes tidak mau melaksanakannya, tapi jawab La Maddusila, “Yang saya perintahkan bukan pribadimu, tapi kedudukanmu sebagai raja bawahan yang punya tata krama untuk tunduk padaku”. Dengan perasan terpaksa, ia pun melayani satu persatu tamu-tamu perempuan yang hadir dalam pertemuan itu. Alangkah risih dan kikuknya sang Raja Lipukasi.

Sementara itu, di dalam lalu lintas pergaulan antarbangsa, kebebasan juga terlihat dengan jelas, antara lain dapat kita lihat hubungan orang Belanda, Bugis, Makassar, Buton, Melayu, Parengki (Perancis), lnggris, meskipun yang pertama dan yang terakhir ini sering bermusuhan sehingga mereka berperang, tapi bukan atas nama bangsanya ataupun agamanya, melainkan atas nama perilaku kolonialisme.

Peperangan antara Belanda dan Gowa yang tak kunjung usai membuat mereka terpaksa gencatan senjata yang diakhiri oleh sebuah perjanjian, yaitu disebut Perjanjian Bongaya. Para penanda tangan perjanjian itu masing-masing memegang kitab sucinya. Orang Belanda memegang kitab Injil, sementara orang Makassar memegang Alquran. Sebelum penandatanganan dilakukan, mereka bersumpah atas nama Tuhannya masing-masing, sambil meletakkan kitab suci mereka di kepalanya. Ini suatu gambaran yang memperlihatkan bagaimana mereka saling menghargai agama dan kepercayaan masing-masing, suatu gambaran yang belum ditemukan dalam laporan dan dokumen resmi pemerintah.

**

Dua bagian yang telah diceritakan di atas, yakni: 1) sejarah kehidupan pribadi Colliq Pujié yang dilatari oleh sistem sosial dan kultural dari zaman yang diwakilinya, 2) sejarah kehidupan raja-raja yang masih tersimpan dalam memori Colliq Pujié yang tentu saja didasari oleh berbagai bacaan lontaraq sebelumnya memberi gambaran kepada kita tentang adanya saling mempengaruhi dan tarik-menarik antara kenyataan di luar sastra dan kenyataan di dalam sastra.

Kedua-duanya menjelaskan kepada kita tentang pentingnya arti kebebasan dan kemerdekaan bagi manusia, baik perempuan maupun laki-laki di dalam berpikir dan bertindak. Tentu saja kemerdekaan dan kebebasan itu dibatasi oleh nilai-nilai yang dianggap luhur dan telah disahkan oleh masyarakat pendukungnya, yakni masyarakat Bugis. Nilai-nilai itu telah mengalami pengujian dan pengesahan secara evolutif dalam perjalanan dari waktu kewaktu.

Maka apa yang dikatan oleh Evert Jan bahwa wanita Bugis/ Makassar sangatlah berkuasa kepada laki-laki, sebaliknya laki laki sangat takut kepada perempuan merupakan suatu sistem yang tak pernah ia temukan dalam bangsa lain yang pernah ditemuinya. Oleh karena itu, benarlah apa yang dikatakan oleh DR. Ian Caldwell bahwa tatatan sosial dan kultural masyarakat Sulawesi Selatan tidaklah bias gender. Peran dan kedudukan wanita sama dan setara dengan laki-laki.