Keindahan Kawasan Borobudur Pun Tercemar...

Magelang, Jawa Tengah- Begitu memasuki Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Anda tidak akan sekadar melihat papan petunjuk arah menuju Candi Borobudur ataupun Candi Pawon. Di sepanjang jalan di kawasan wisata tersebut, kini juga telah diramaikan oleh ratusan spanduk, poster, dan baliho caleg, serta pasangan calon bupati-calon wakil bupati Magelang. Alat-alat kampanye dari dua ajang pemilihan yang berbeda itu, seolah bersaing menarik perhatian pengguna jalan yang lewat.

Di beberapa titik jalan, bendera beragam parpol tampak berkibar- kibar. Beberapa bendera tampak jatuh di jalan. Namun, sebagian bendera dari parpol tertentu menjulang tinggi melebihi "rekan- rekannya". Bendera milik Partai Amanat Nasional (PAN), misalnya, terlihat demikian mencolok karena dipasang begitu tinggi di atas tiang listrik atau menumpang di tiang baliho reklame. Papan poster para cabup-cawabup, cukup bernaung tenang di bawahnya.

Hatta, salah seorang pemandu wisata Candi Borobudur, mengatakan, keberadaan spanduk, poster, dan baliho tersebut, sungguh merusak pemandangan. "Semestinya, pemasangan baliho, spanduk, dan poster para caleg serta cabup-cawabup tersebut dilokalisasi di satu tempat saja dan dikenakan pajak seperti reklame," terangnya.

Keberadaan alat peraga kampanye tersebut, juga sering kali mengundang pertanyaan para turis asing yang datang ke candi. "Mereka sering kali bertanya siapa tokoh-tokoh yang tergambar di spanduk, dan mengapa pemasangan alat peraga tersebut sedemikian marak," tutur Hatta.

Sucoro, salah seorang seniman Borobudur, mengatakan, selain mengabaikan nilai estetika, pemasangan alat peraga kampanye yang seenaknya tersebut juga membahayakan keselamatan pengguna jalan. Poster cabup-cawabup di depan Gereja Kanisius, misalnya, membuat para pengendara mobil dan sepeda motor dari arah timur dan barat kesulitan untuk melihat jalan saat berbelok.

Tidak hanya itu, pemasangan poster tersebut juga sempat dipasang menutupi tulisan "Selamat Datang di kawasan Candi Borobudur". Beberapa di antaranya, juga nyaris menutupi rambu-rambu jalan penunjuk menuju Candi Pawon. "Kesemrawutan pemasangan alat peraga ini, secara otomatis telah merusak estetika kawasan Candi Borobudur yang notabene merupakan kawasan wisata," papar Sucoro.

Seperti di Magelang, di Kota Tegal, reklame politik itu juga semakin banyak dengan akan digelarnya Pilkada Kota Tegal, 26 Oktober ini. Sutradara dan seniman teater asal Kota Tegal, Yono Daryono, mengatakan, spanduk dan baliho yang dipasang sembarangan sangat mengganggu pandangan dan suasana kota. Padahal saat ini masyarakat sedang berbenah untuk menciptakan keindahan dan kebersihan kota.

"Seharusnya para calon wali kota dan wakil wali kota mendukung upaya kebersihan, dan bukannya mengotori. Yang penting mereka harus jadi contoh," ujarnya. Pemasangan alat peraga, termasuk stiker yang ditempel sembarangan, sangat meresahkan. Bahkan sebagian masyarakat terpaksa memberi pengumuman yang melarang tembok rumahnya ditempeli apa pun.

Menurut dia, spanduk dan alat peraga kampanye sebaiknya dipasang di tempat khusus. Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu harus tegas, serta memberikan batasan ruang bagi pemasangan alat peraga kampanye.

Seniman teater lainnya dari Tegal, Rudi Iteng, juga mengungkapkan hal senada. Menurut dia, banyaknya spanduk maupun gambar-gambar yang melintang di jalan sangat mengganggu pemandangan. Terlebih, ia tidak mengenal tokoh-tokoh yang ada di dalam gambar tersebut. "Jadi risi dan tidak betah," tuturnya.

Masih, menurut Rudi, perkenalan untuk menjadi pemimpin tidak harus dilakukan dengan memasang gambar di jalan. Perkenalan bisa dilakukan melalui berbagai acara dan program sosial.
Pemasangan gambar yang dilakukan di sembarang tempat, termasuk di tembok rumah orang juga menunjukkan kurangnya etika para calon pemimpin dalam bermasyarakat. Terlebih, sebagian dari mereka tidak meminta izin kepada pemilik rumah saat menempel gambar tersebut. "Bagaimana bisa menjadi pemimpin yang baik, sementara tidak punya etika," kata Rudi. (Regina Rukmorini dan Siwi Nurbiajanti)

Sumber: cetak.kompas.com (13 Oktober 2008)