Imaji Babi

Jakarta - Perupa Malaysia, Jalaini Abu Hasan, menyajikan kritik sosial lewat berbagai simbol.

Babi itu tidak menunduk seperti lazimnya. Bahkan, dengan badan tegap, si babi berdiri layaknya manusia. Ia tidak sendiri. Di belakangnya, dalam posisi punggung-punggungan, ada sesosok manusia berpeci dengan hidung panjang seperti Pinokio lantaran sering berbohong. Keduanya menyajikan mimik muka yang menyeringai menakutkan, seakan menyimpan sesuatu di balik seringai itu.

Imaji tersebut tersaji dalam lukisan karya Jalaini Abu Hasan yang berjudul Babi Harus. Lukisan berukuran 152 x 183 sentimeter itu dipamerkan bersama 13 lukisan karya Jalaini lainnya di Borobudur Auction, Jakarta. Pameran bertajuk "Chanang" tersebut digelar pada 14-28 Juni.

Selain lukisan Babi Harus, Jalaini yang kerap disapa Jai menyuguhkan beberapa lukisan lain yang menyajikan imaji babi. Tengok saja Pigstown Council Annual Meeting, yang menggambarkan suasana kota dengan latar perumahan toko klasik. Di jalanan, delapan ekor babi tersaji dengan latar warna pink. Sedangkan seekor lainnya terbang di angkasa.

Menurut kurator Rifky Effendi, babi digunakan Jalaini sebagai simbol kritik. Ikon babi bagi masyarakat muslim merupakan representasi nilai-nilai negatif, ambivalen, dan paradoks. Selain karena hukum Islam mengharamkannya, babi berkonotasi dengan sikap rakus dan kotor. "Paradoks karena sebagian masyarakat menerimanya, tapi sekaligus menolaknya," ujar Rifky dalam pengantar kuratorialnya.

Babi, utamanya, ditujukan Jalaini kepada politikus-politikus Malaysia yang dikenalnya korup dan menjalankan praktek politik busuk. "Isu babi yang asalnya bersifat keagamaan kini dipolitikkan menjadi agenda budaya yang berbau rasuah dan muslihat. Orang Melayu muslim sudah sanggup menjadi tauke-tauke babi demi kuasa dan kekayaan," kata Jalaini, seperti dikutip Rifky.

Kritik sosial tidak hanya disajikan melalui imaji babi. Pada lukisan lainnya, Jalaini juga menyampaikan kegelisahannya terhadap alam yang kian termajinalkan. Lukisan Harimau Malaya menyajikan parodi semakin punahnya binatang buas itu. Ia menggambarkan sesosok harimau belang yang pada ekornya terikat berbagai jenis kaleng-kalengan.

Hal itu seakan memberi pesan bahwa orang akan semakin mudah melacak harimau dan membantainya. Tidak ada lagi tempat yang aman bagi si harimau. Di bagian bawah lukisan, selain menuliskan judul lukisan, Jalaini mencoretkan sindiran: "Great Malaysian Landscape 2008".

Jalaini, kata Rifky, adalah perupa yang kerap mengomentari persoalan sosial yang terjadi di sekitarnya, terutama yang terkait dengan budaya Melayu dengan cara unik, tak vulgar, dan terbungkus simbol. "Kekuatan dan kepekaan menggambar realistik dengan media arang dan medium aspal cukup menonjol," kata Rifky mengenai perupa kelahiran Selangor pada 1963 itu.

Fenomena perupa yang melontarkan kritik sosial-politik terhadap budaya Melayu ini, menurut Rifky, mulai ramai pada periode 1990-an di Malaysia. Sebelumnya, karya-karya perupa Malaysia lebih banyak bersumber dari nilai dan ajaran Islam sebagai identitas melayu. "Perubahan sosial-politik juga mendesak kehidupan berkesenian, terutama ketika gemuruh reformasi dikumandangkan." (TITO SIANIAR)

Sumber: www.korantempo.com (23 Juni 2008)