Ketapang- Ternyata di kawasan Kota Ketapang bagian selatan, tidak hanya dua masjid tertua yang masih berdiri kokoh dan terbangun sejak pemerintahan Kerajaan Matan. Terdapat satu masjid yang telah ada sejak pemerintahan Panembahan Gusti Muhammad Saunan (1924-1943). Masjid itu semula bernama Masjid Kuning, dan dalam perubahan waktu lebih dikenal sebagai Masjid Nurul Huda di Desa Sungai Jawi.
INFORMASI mengenai keberadaan masjid tempo doeloe di Desa Sungai Jawi diperoleh ketika menelusuri keberadaan Masjid Baitussalam di Desa Sukabaru, Kecamatan Benua Kayong. Menurut Abdul Halil, tokoh masyarakat setempat, sebagai ciri khasnya di masa lalu, Masjid Baitussalam sebetulnya merupakan bangunan yang memiliki lantai yang cukup tinggi dari permukaan tanah. Masjid-masjid dengan bentuk bangunan seperti ini, menurut dia, hanya terdapat pada Masjid Baitussalam, Masjid Jamik Kerajaan Matan di Kelurahan Kauman yang kini berubah menjadi Masjid At-Taqwa, serta Masjid Nurul Huda di Desa Sungai Jawi.
Di sana oleh warga kemudian diarahkan untuk bertemu dengan Abdul Kadir bin Haji Yusuf, 78, seorang tua yang mengerti betul mengenai perkembangan Masjid Nurul Huda dari sejak awal berdiri. Maklum, hingga memasuki usia senja, Kadir yang karib disapa Pak Uteh tersebut, telah begitu lama mengabdikan diri bagi Pemerintah Desa Sungai Jawi. Nama Sungai Jawi sendiri bermuasal dari inisiatif Mas Maluku bersama beberapa orang lainnya, yang membuka sebuah kawasan yang dulunya termasuk wilayah Kampung Kaum. Kampung Sungai Jawi terbangun pada 1914 dan diberi nama tersebut, mengingat dulunya terdapat begitu banyak pohon jawi-jawi di daerah itu.
Kebiasaan masyarakat kala itu ketika menunaikan Salat Jumat, mereka harus mempersiapkan berbagai hal untuk keberangkatan menuju masjid. Satu-satunya masjid yang dituju ketika itu hanya terdapat di Kampung Kaum-kini Kelurahan Kauman, yaitu Masjid Jamik Kerajaan Matan. Jarak tempuh pada waktu itu begitu jauh dengan transportasi terbatas. Dibutuhkan waktu yang tidak sedikit hanya untuk mencapai Kampung Kaum dari Kampung Sungai Jawi.
Untuk berangkat Salat Jumat, pagi-pagi sekali mereka harus sudah meninggalkan kampung dengan perbekalan yang cukup. Hal yang tentu saja begitu menyulitkan bagi masyarakat Kampung Sungai Jawi, sehingga kemudian muncul ide agar berdiri masjid di kampung mereka. Ide itu dilontarkan Haji Muhammad Saleh. Namun tentu saja harus ada yang berani menyampaikan keinginan tersebut kepada Raja Matan Panembahan Saunan. Kemudian ditunjuklah Uti Haji Dulmukti, sebagai penyambung lidah masyarakat demi memintakan ijin kepada panembahan.
Dulmukti yang bergelar Pangeran Sepuh merupakan guru tinggi di Sungai Jawi. Dengan keberaniannya dia menghadap panembahan di Istana Mulia Kerta di Kelurahan Mulia Kerta saat ini. Sebagai penghormatan kepada panembahan, masyarakat mempersembahkan sebuah mustika atau buntat sebesar telur bebek. Mustika itu begitu dihargai panembahan, sehingga dia menempatkannya pada jambangan indah. Mungkin mustika itu, kini telah menjadi satu dari sekian banyak harta rampasan yang diambil Jepang pada masa penjajahan mereka, sehingga sudah tak dapat ditemui lagi di Istana Mulia Kerta.
Keinginan masyarakat ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Panembahan kemudian mengabulkan dan memberi ijin. Hanya saja, syarat yang dimaklumatkan kepada masyarakat, bahwa masjid yang berdiri nantinya tidak dipakai untuk pelaksanaan akad nikah. Untuk hal yang satu itu, masih tetap harus diselenggarakan di Masjid Jamik Kerajaan Matan. Ijin tersebut tentu saja mendapat sambutan gembira dari masyarakat, sehingga mereka kemudian langsung mengambil langkah membangun tempat ibadah. Itu berarti, ketika terbangun masjid tersebut, mereka tidak perlu berangkat jauh-jauh ke Kampung Kaum hanya untuk melaksanakan Salat Jumat.
Selain syarat masjid yang bukan tempat penyelenggaraan akad nikah, panembahan juga meminta agar masjid yang dibangun berjarak 25 meter dari jalan raya. Panembahan tampaknya telah bisa memprediksi, bahwa pembangunan nantinya akan kian memperlebar ruas-ruas jalan.
Pada 1932 berdirilah masjid di kampung tersebut, namun belumlah bernama seperti saat ini. Usman bin Husin kemudian ditunjuk menjadi imam pertama di masjid tersebut. Namun 4 tahun kemudian, lokasi masjid dipindah dan menjadi lokasi berdirinya Masjid Nurul Huda saat ini. Pemindahan terjadi karena ruas jalan lama telah dipindahkan terlebih dahulu. Bekas-bekas bangunan lama masjid tersebut sudah tak tampak lagi. Namun Masjid Nurul Huda yang masih berdiri hingga kini tetap tegar dan begitu mudah dilihat ketika melintas di jalan raya Desa Sungai Jawi.(Andri Januardi)
Sumber: http://www.pontianakpost.com (18 September 2008)