Pemerintah Ikhlas Pulau Komodo Dianulir

Jakarta - Nasib Taman Nasional Pulau Komodo (TNPK) di sayembara Tujuh Keajaiban Dunia (New 7 Wonders) di ujung tanduk. Perkembangan ini menyusul sikap Indonesia yang menolak menjadi tuan rumah pucak sayembara tersebut. Jajaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) memutuskan menolak, karena ongkos menjadi tuan rumah mencapai USD 45 juta, atau setara dengan Rp 404,5 miliar.

Kronologi posisi TNPK hingga terancam dianulir tersebut dibeber Dirjen Pemasaran Kemenbudpar Sapta Nirwandar. "Kami menilai pagelaran itu sangat berorientasi profit," kata dia di Jakarta kemarin (6/2). Menurutnya, penyelenggara sayembara adalah yayasan New7Wonders. Yayasan tersebut, mewajibkan Indonesia harus menerima saat ditunjuk menjadi tuan rumah penentuan tujuh keajaiban dunia pada 11 November depan.

Sapta menceritakan, awal mula ketidakcocokan antara pemerintah Indonesia dengan penyelenggara sayembara tersebut mulai muncul pada Februari 2010. Saat itu, panitia mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia. Surat tersebut intinya menunjuk Indonesia sebagai tuan rumah.

Sejak turunnya surat penunjukan tersebut, Indonesia tidak menentukan sikap. "Kami tidak pernah menandatangani pernyataan atau apapun," jelas Sapta. Pemerintah melalui Kemenbudpar berkonsultasi dengan DPR dan Presiden untuk menentukan sikap. Keputusan sikap belum juga muncul, pada 6 Desember panitia sayembara Tujuh Keajaiban Dunia mengirim surat lagi kepada Indonesia.

Dalam surat kedua ini, Sapta menerangkan pihak penyelenggara mencantumkan uang yang harus disiapkan Indonesia untuk menjadi tuan rumah. Dia merinci, dalam surat tersebut Indonesia wajib menyetor uang sebesar USD 10 juta untuk yayasan penyelenggara.

"Uang tersebut sebagai leasing fee ke panitia," ucap Sapta. Selanjutnya, Indonesia juga harus menyetor lagi uang sebesar USD 35 juta. Rinciannya, untuk US$ 20 juta untuk teknis acara dan USD 15 untuk panitia malam puncak pengukuhan Tujuh Keajaiban Dunia.

Munculnya surat kedua tersebut, pihak Kemenbudpar semakin bimbang. Belum sempat membalas, pada 29 Desember yayasan penyelenggara kembali menerbitkan surat ketiga terkait penunjukan Indonesia sebagai tuan rumah. Sapta menerangkan, pada surat ini penyelenggara mengancam Indonesia. "Pulau Komodo dianulir jika tidak mau menjadi panitia. Kami tidak terima dengan perlakuan tersebut," kata dia.

Dengan penekanan tersebut, pihak Kemenbudpar memutuskan tidak akan mengeluarkan uang untuk menjadi tuan rumah. Indonesia juga tidak keberatan dengan dampak terburuk yaitu dicoretnya Pulau Komodo dalam daftar 28 nominasi tujuh keajaiban dunia. Pemerintah menilai penyelenggara tidak fair. "Kenapa posisi sebagai tuan rumah dikaitkan dengan pencoretan nominasi"? tandas dia.

Lantas apakah ada dampak pariwisata? Sapta menerangkan pencoretan TNPK dalam daftar tujuh keajaiban dunia tidak berpengaruh besar. Selama ditetapkan sebagai 28 nominasi tujuh keajaiban dunia, Sapta menerangkan jika keberadaan pulau tersebut sudah cukup terdongkrak. Sebaliknya, penganuliran tersebut akan berdampak pada nama baik yayasan penyelenggara. "Selama ini yang memilih Pulau Komodo lintas negara. Tentu itu menjadi tanggung jawab penyelenggara di mata publik," tutur dia.

Sapta membandingkan posisi TNPK dengan Candi Borobudur. Menurut dia, meskipun Candi Borobudur tidak lagi menjadi nominasi, Unesco masih mengakuinya sebagai peninggalan bersejarah. "Toh juga kunjungan wisatawan (ke Candi Borobudur, red) tidak menurun," jelas Sapta.

Sebelumnya, setelah menggelar rapat kabinet terbatas di Istana Presiden pekan lalu, Menbudpar Jero Wacik mengatakan tidak keberatan jika TNPK dicoret. Menurut menteri kelahiran Bali 61 tahun lalu itu, posisi TNPK sudah meroket setelah muncul dalam 28 nominasi tujuh keajaiban dunia. Setelah pencoretan, giliran pemerintah yang bertugas mempertahankan posisi TNPK tetap bisa menarik kunjungan wisatawan nusantara (wisnus) dan wisatawan mancanegara (wisman).