Kerapan Sapi: Ajang Mempertaruhkan Harga Diri

Oleh Jelajah Budaya

Kerapan sapi merupakan momen spesial bagi kalangan blater di Madura. Biasanya kotestasi hewan yang berupa balapan sapi ini merupakan ajang bagi para blater untuk mempertaruhkan harga diri dan gengi sosial. Oleh karena tak ingin dipermalukan, maka blater biasanya memberikan tempat yang begitu istimewa bagi sapi sapi mereka. Berbagai trik dan perawatan ekstra diberikan oleh kalangan blater kepada sapi sapi yang dimilikinya agar dapat memenangkan pertandingan.

Pengalaman H Junaidi misalnya, ia harus mengeluarkan dana ekstra untuk merawat sapi kerap yang dimilikinya. Sepasang sapi yang dimilikinya secara khusus dirawat oleh dua orang. Sentuhan spesial dari sang pemiliki membuat sapi sapi kerap itu menjadi semakin tangguh di medan laga. Betapa tidak? H Junaidi misalnya, secara rutin memberikan “doping” kepada sapi sapi itu berupa tujuh hingga dua belas telur ayam dua hari sekali. Belum cukup itu, ia juga memberikan beberapa ramuan khusus untuk memperkuat stamina sapi sapi yang dimilikinya. Perawatan sapi kerap dengan sapi sapi biasa juga nampak berbeda dari kandang sapi sapi tersebut. Biasanya kandang sapi sapi kerap akan selalu terjaga kebersihannya, termasuk juga memandikannya secara rutin setiap hari. Dan memberikannya perapian pada malam hari yang berguna menjaga kehangatan suhu udara sekaligus melindungi sapi dari gangguan binatang binatang seperti ular atau nyamuk. Sang pemilik sapi kerap tak mau berisiko dengan terganggunya kesehatan sapi sapi itu.

Perawatan terhadap sapi sapi kerap akan semakin spesial jika mendekati hari hari perlombaan. Mulai menambah dosis “doping”, pun juga melakukan general check up terhadap kondisi sapi sapi yang dimilikinya. Jadi boleh dikata, saat mendekati hari hari pertandingan (kerapan sapi), para sapi sapi itu bak isteri kedua dari para blater. Akibat perhatiannya yang berlebih terhadapa sapi sapi kerap itu, kadangkala juga menimbulkan “kecemburuan”, terutama dari anak anak sang blater. Sebagaimana ungkapan Lukman (25 tahun) anak seorang blater dari Desa Katol Barat merasa di “anak tirikan” oleh bapaknya jika mendekati hari hari perlombaan. Bahkan seisi rumah setiap saat akan mendapatkan peringatan keras jikalau mereka sampai berbuat teledor hingga membuat sapi sapi itu menurun staminanya. Guna menjaga stamina sapinya tetap fit, H Zubair (pemilik sapi kerap) kerapkali memerintahkan para santri yang mengaji di surau miliknnya disuruh untuk meng hunting telor ayam disekeliling desa, kalau perlu sampai didesa tetangga guna mendapatkan telor dan kopi yang berkualitas bagi sapi sapinya.

Sapi kerap bagi blater adalah simbol kejantan dan kemaskulinan para blater di Madura. Bagi blater yang sering memenangkan kerapan sapi bukan semata mata mengorientasikan akan mendapatkan hadiah, tetapi lebih dari itu adalah prestise sosial yang tinggi. Menurut H Junaidi, “Jika diperbandingkan antara biaya perawatan sapi dengan hadiah yang diperoleh saat memenangkan perlombaan dalam kerapan sangatlah tidak sebanding, hadiah bukan semata mata capaian utama dari para peserta kirap, tetapi kehormatan sosial dia sebagai seorang blater. Jadi kerapan sapi yang menjadi kegemaran para blater itu tak bersifat ekonomis”.

Kerapan sapi biasanya diorganisir sendiri oleh kalangan blater. Koordinator pelaksana biasanya dipegang oleh blater yang berpengaruh dan memiliki kewibawaan dimata para blater lainnya. Hal ini sebagai metode untuk mengantisipasi terjadinya bentrok dikalangan blater saat kerapan dilangsungkan. Jika kerapan sapi dikoordinatori oleh blater besar, maka sangat mungkin dapat berjalan tanpa kericuhan. Sebagaimana yang dituturkan oleh Musji, Koordinator Kerapan Sapi se Karisedenan Arosbaya, Bangkalan bahwa dalam arena kerapan sapi sangat rentan bentrok atau kericuhan jika fasililator atau pelaksana tidak dipandang oleh kalangan blater yang menjadi peserta kerapan. Sebagai blater yang cukup berpengaruh, Musji dan kawan kawannya seringkali menjadi fasilitator dalam setiap kerapan sapi. Beberapa kali kejadian kerapan sapi yang ia fasilitatori memang tak sedikit yang berujung pada pertengkaran. Namun hal itu belum pernah berlanjut hingga fatal, yakni kerusuhan, ujar pria yang memegang ijin membawa senjata tajam dari Polda Jatim ini.

Kerusuhan itu muncul kerapkali dipicu oleh putusan juri dalam memberikan putusan bagi pemenang kerapan. Faktor yang berpotensial atas kericuhan itu dikarenakan berdasar penglihatan tim juri dan simpatisan serta peserta kerapan yang tidak sama terhadap injakan kaki sapi kerap terhadap garis finish. Oleh karena itu, bagi para blater yang merasa dipecundangi atau perbuatan tak adil oleh juri, maka tak segan segan untuk melakukan protes dalam bentuk apapun termasuk juga carok. Bagi para blater yang menjadi peserta kerapan sapi hal itu termasuk bagian dari pembelaan terhadap gengsi dirinya.

Kerapan sapi yang juga sebagai ajang komunikasi antar blater bersifat fleksibel berdasar kesepakatan para calon calon peserta kerap. Kerapan sapi tak harus sejalan dengan hari hari besar yang diformalkan oleh negara. Karena kerapan sapi sebagai ruang populis yang bebas dan egaliter, artinya siapapun diperbolehkan mengikuti pertandingan ini tanpa pandang bulu dalam status sosialnya. Kalaupun toh pemda menyelenggarakan kontestasi ini dengan alasan paket pariwisata atau dalam rangka memperingati hari hari besar nasional, sejatinya pertunjukkan itu tak ada bedanya dengan kebiasaanya pertunjukkan yang mereka lakukan sendiri, yakni bebas dan egaliter sebagai syarat utama menuju puncak kemenangan. Dalam setiap kerapan sapi, fasilitator atau panitia biasanya membatasi peserta kerapan hingga 50 an peserta, dengan model pertandingan sistem gugur.

Bagi para blater yang berhasil merebut kemenangan, terlebih dalam arena kerapan sapi yang bergengsi, misalnya pada level kabupaten, maka sapi yang dimilikinya sangat mungkin bernilai ratusan juta rupiah. Namun begitu, blater yang menjadi pemilik sapi sangat mungkin tidak menjual sapi yang telah mengharumkan namanya itu. Blater dan sapi adalah “dua sejoli” yang saling membutuhkan, jadi sebetulnya kalangan blater membantah keras ungkapan dari sebagian ulama yang menyatakan bahwa kerapan sapi adalah bentuk penyiksaan terhadap hewan dan itu dilarang oleh agama. Namun ungkapan ini segera dibantah oleh kalangan blater. Blater Musji misalnya menolak ungkapan tersebut. Jika kerapan sapi dipersepsi sebagai penyiksaan terhadap hewan, menurutnya hal itu tak sepenuhnya benar. Justru dalam banyak fakta terlihat mengenai hubungan kasih sayang antara blater dan sapi kerap yang dimilikinya. Sebab dengan layanan istimewa yang diberikan kepada sapi serta hubungan batin yang terjadi antara blater dan sapi kerap yang dimilikinya adalah komunikasi dua makhluk yang bersifat “resiprokal”.

Sementara bagi para blater yang seringkali mengalami kekalahan dalam ajang kerapan sapi, justru begitu bersemangat untuk berburu sapi kerap dengan kualitas prima. Salah satu upaya yang biasa mereka lakukan adalah melobi sapi sapi yang sering memenangkan perlombaan. Pada prinsipnya, para blater dengan rela merogoh koceknya guna mendapatkan sapi idamannya, yakni yang mampu membawa tropi kemenangan. Pengalaman H Zubair yang sehari hari sebagai pedagang sapi untuk di ekport di Kalimantan, sangat berobsesi untuk mendapatkan sapi kerap untuk dikoleksi dirumahnya guna menaikkan derajat keblaterannya.

Dari dulu hingga kini, kerapan sapi dan masyarakat Madura, khususnya yang berada di Bangkalan dan sekitarnya adalah ekpresi sosial yang bersifat eksplotatif dalam setiap pertandingan. Bagaimana tidak eksploitatif? Sebab antara sapi dan majikannya seolah berlomba untuk memberikan yang terbaik. dalam setiap kancah pertandingan. Majikan akan selalu memberikan pelayanan yang terbaik, sementara sapi menyuguhkan tontonan yang spektakuler yang berujung pada kemenangan. Sebab harga diri, status sosial, dan pengaruh dari kalangan blater benar benar dipertaruhkan dalam arena kerapan sapi. Itulah dunia blater, dunia kesatria lokal yang unik, penuh dengan kontestasi, dan ekploitasi, namun sangat egaliter dan populis.

Sumber: Dokumentasi Puspek Averroes