Nyadran, Akulturasi Nan Lestari

Sragen - Datanglah ke pedesaan Jawa jika ingin melihat bagaimana mereka (warga desa) menyegarkan ingatan mereka tentang tali silsilah atau garis keturunan mereka. Setidaknya setahun sekali masyarakat pedesaan Jawa ini akan mendatangi makam orangtua atau leluhurnya menjelang datangnya bulan suci Ramadan.

Kegiatan itu secara umum disebut sebagai nyadran. Nyadran hanya bisa ditemui dalam tradisi Jawa menjelang puasa. Tradisi ini konon dikemas para penyebar Islam di Jawa setelah melihat, kebiasaan orang Jawa saat ini yang sangat menghargai dan menghormati leluhurnya.

Nyadran berasal dari kata sraddha dari bahasa sansekerta yang berarti keyakinan. Upacara sraddha telah dikenal oleh masyarakat Jawa kuno setiap setahun sekali untuk mengenang atau menghormati roh para leluhur yang telah meninggal.

Tradisi inilah yang konon oleh para wali penyebar Islam di Jawa dikemas dengan
nuansa Islami dengan format ziarah untuk mengingatkan pada kematian. Dalam acara
tersebut akan dilakukan doa bersama dan diakhiri dengan pesta makan bersama ala
kadarnya. Sebuah akulturasi yang apik.

Konon sesuai ajaran para wali pula, nyadran digelar pada bulan Sya'ban atau bulan ruwah dalam penanggalan Islam Jawa. Kata ruwah itu sendiri berasal dari serapan bahasa Arab arwah, dengan maksud agar tidak melupakan agenda penting 'menyapa' arwah leluhur di bulan tersebut.

Di pedesaan Jawa tradisi tersebut masih terus dilestarikan. Di Desa Ngargotirto, Sragen, misalnya, tradisi itu tetap dipertahankan dengan menggelar acara di makam kampung masing-masing. Sebelum diadakan nyadran, para warga akan mengadakan kerja bakti untuk membersihkan makam dan memperbaiki sarana yang rusak.

Setelahnya, warga akan berdatangan dengan membawa bungkusan makanan dari rumah
masing-masing. Sejumlah orang didaulat untuk membacakan berdoa bagi para leluhur. Acara akan berakhir dengan makan bersama, dengan saling menukarkan bawaan masing-masing.

"Nyadran juga akan menjadi sarana komunikasi dan silaturahmi. Selain itu akan menyambungkan tali kekerabatan. Biasanya kerabat yang sudah setahun tidak bertemu akan bertemu di acara itu," ujar Darmono, sesepuh Desa Ngargotirto.

Setelah nyadran, warga dianjurkan untuk tidak datang ke makam hingga Lebaran tiba. Menurut Darmono, kemungkinan larangan itu disampaikan para wali untuk menjaga nilai ibadah puasa agar tidak tercemar kegiatan perziarahan yang pada masa awal dakwah Islam masih berbau penyembahan atau pemujaan kepada arwah leluhur.

Masyarakat perkotaan Jawa, juga masih ada yang melestarikan nyadran. Namun tentunya mereka tidak bisa melakukan secara massal seperi masyarakat pedesaan yang komunal. Biasanya nyadran warga perkotaan akan dilakukan sendiri oleh masing-masing keluarga pada hari-hari libur, juga di bulan ruwah. (mbr/nwk)