Ritual Bakar Tongkang: Rasa Hongkong di Bagan Siapi-api

Oleh: Syahnan Rangkuti

Minggu ketiga bulan Juni lalu, Bagan Siapi-api, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, lebih terlihat seperti sudut kota tua di negeri China. Hampir di setiap rumah dan penjuru kota terdapat lampion khas China.

Alun-alun kota dikelilingi warna-warna merah. Pekan itu nyaris seluruh penduduk Bagan Siapi-api, yang didominasi masyarakat keturunan China, sedang mempersiapkan upacara ritual tahunan Go Gwe Cap Lak atau yang lebih dikenal dengan sebutan upacara bakar tongkang.

Sehari menjelang puncak kegiatan, acara ritual sudah dimulai, persisnya pada pukul 00.00 tanggal 15 bulan kelima Imlek yang jatuh pada tanggal 19 Juni 2008. Sekitar 30.000 warga keturunan China Bagan Siapi-api, yang sebagian besar beragama Khonghucu, memadati Klenteng In Hok Kiong yang berada di samping alun-alun kota untuk bersembahyang.

Hio-hio raksasa dibakar dan sesajen, seperti buah-buahan, daging babi, ikan, ayam, dan kue-kue, disusun di atas altar. Bau hio terbakar dan kepulan asap seakan tidak dipedulikan.

Sebulan sebelumnya, puluhan ahli pembuat perahu mempersiapkan pembuatan replika tongkang sepanjang 9,2 meter, lebar 2 meter, dan tiang setinggi 2,7 meter dengan bobot sekitar 400 kilogram. Sekitar pukul 16.00 hari Kamis itu replika tongkang dibawa masuk ke Kelenteng In Hok Kiong.

Sesi sembahyang dihentikan sejenak untuk memberi kesempatan kepada Dewa Kie Ong Ya (Dewa Laut) menjamu dewa lainnya sambil menyantap sesaji. Sesi sembahyang akan dibuka kembali pada pukul 00.00 tanggal 20 Juni atau hari ke-16 bulan kelima Imlek.

Meski sesi sembahyang ditutup sementara, di luar sudah disediakan sebuah panggung besar di belakang alun-alun. Kamis malam itu belasan ribu warga tumpah ruah menyaksikan aksi panggung beragam jenis hiburan, seperti tari dan lagu. Penyanyi top Taiwan Coa Siau Hu ikut meramaikan suasana. Seluruh lagu yang dinyanyikan berbahasa China, kecuali Gubernur Riau Rusli Zainal yang didaulat untuk bernyanyi membawakan lagu ”Pantai Solop” berirama Melayu.
Malam itu seorang teman dari sebuah harian terbitan nasional menelepon istrinya di Jakarta. Dalam percakapan telepon dia berkata ”Ma, papa serasa berada di Hongkong malam ini.”

Tetabuhan
Pada hari Jumat, sejak pagi, sebagian besar warga China sudah menutup tokonya. Baru saja lewat tengah hari, dari berbagai penjuru kota berdatangan rombongan utusan dari berbagai kelenteng. Setiap rombongan biasanya berjumlah 20 orang dengan membawa tetabuhan yang dipukul sepanjang jalan. Satu rombongan memiliki seorang ahli gaib atau suhu yang disebut tan ki. Tan ki didominasi laki-laki.

Setiap tan ki berpakaian seronok khas tradisional China (seperti daster) berwarna-warni. Para tan ki membawa parang tajam atau membawa bola duri (paku) yang tajam.

Namun, tan ki dari Kelenteng Kwan Im hanya berpakaian putih-putih dengan memegang sebuah cawan dan kuas.

”Tahun ini upacara bakar tongkang jauh lebih meriah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Seluruh kelenteng di Bagan Siapi-api yang berjumlah 143 mengirimkan utusan. Tahun lalu yang berpartisipasi sekitar 20 kelenteng,” kata Annas Maamun, Bupati Rokan Hilir.

Tan ki inilah yang menjadi ikon upacara bakar tongkang. Tan ki adalah para suhu yang memiliki ilmu gaib. Saat keluar dari kelenteng, para tan ki sudah dalam keadaan in trance. Pandangannya biasanya kosong dan kepala terus bergerak mengikuti iringan suara tabuhan.

Sesampai di Kelenteng In Hok Kiong, para tan ki diberi kesempatan menunjukkan kebolehan di depan meja persembahan. Suasana mistis menjadi sangat kental. Tan ki yang membawa parang membacokkan senjata itu ke tubuhnya. Tan ki yang membawa bola duri secara atraktif memukulkan bola ke sekujur tubuh dan kepalanya. Darah mengalir dari kepala dan badan, tetapi para tan ki seakan tidak merasakan kesakitan. Ada pula tan ki yang menusuk pipinya dengan kawat tajam sehingga tembus dari kiri ke kanan.

Ribuan orang yang tidak dapat merapat ke Kelenteng In Hok Kiong terlihat memegang hio dan menggerak-gerakkan turun naik dari dada ke kepala sembari menghadap ke arah kelenteng. Tua muda, besar kecil semuanya memegang hio. Asap hio yang menyebar di kota Bagan Siapi-api laksana kabut tebal yang biasa terjadi di Riau. Abu hio berterbangan ke sana ke mari sehingga bagi orang yang tidak memakai topi, rambutnya akan terlihat abu-abu.

Membakar tongkang
Pukul 16.00 hari Jumat, tongkang di keluarkan dari Kelenteng In Hok Kiong. Tongkang seberat 4 kuintal itu digotong oleh puluhan, bahkan sampai ratusan orang utusan dari kelenteng secara bergantian. Jarak dari kelenteng sampai ke tempat upacara bakar tongkang mencapai 2 kilometer melintasi jalan-jalan di tengah kota.

Setelah berjalan sekitar satu jam, tongkang sampai ke sebuah lapangan kompleks lokasi pembakaran. Selain terdapat sebuah kelenteng, di sisi kiri lokasi terdapat sebuah bangunan megah tempat para tamu berkumpul. Tongkang kemudian dibawa ke sudut kanan dan ditempatkan di bawah tumpukan kertas kuning sesembahan. Sejumlah orang terlihat mempersiapkan tiang-tiang kapal dan memasang layar.

Para tetua adat didampingi unsur pejabat daerah kemudian dipersilakan naik ke tongkang. Tidak lama kemudian seluruh orang turun dari tongkang dan api mulai disulut. Hanya dalam hitungan detik api sudah berkobar dahsyat.

Di pinggir kobaran api, beberapa tan ki masih unjuk kebolehan. Mereka berlari-lari memutari tongkang yang terbakar sambil memukuli kepalanya dengan bola duri. Sejumlah orang yang membawa tandu juga berlari memutari kobaran api. Padahal, suhu di sekitar tongkang yang terbakar sangat panas dan orang awam tidak akan mampu mendekat.

Sekitar setengah jam, bentuk tongkang tidak kelihatan lagi. Namun, kerumunan massa masih bertahan. Ritual puncak bakar tongkang adalah melihat ke arah mana tiang akan terjatuh. Masyarakat China Bagan Siapi-api percaya, kalau tiang tongkang jatuh ke arah laut, rezeki mereka setahun ke depan akan lebih banyak di laut. Bila tiang jatuh ke arah darat, rezeki akan banyak di darat. Untuk tahun 2008 ini tiang tongkang jatuh ke arah daratan.

Kesakralan warga China Bagan Siapi-api dalam ritual bakar tongkang patut diacungi jempol. Rasanya, tidak ada penduduk yang tidak ambil bagian. Kalaupun mereka tidak ikut arak-arakan, penduduk akan menanti di pinggir jalan di depan rumah atau dari balkon rumah. Semuanya memegang hio. Ketika tongkang lewat, mereka tampak lebih khidmat menggerakkan hio. Tidak sedikit orang-orang yang tergolong manula berlutut dengan hio ketika tongkang lewat.

Kekhidmatan masyarakat China Bagan Siapi-api dalam ritual bakar tongkang boleh dapat disamakan dengan masyarakat Bali ketika menggelar upacara hari raya Nyepi atau acara ritual lainnya. Semua ikut berpartisipasi dan semuanya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Ritual bakar tongkang patut menjadi agenda pariwisata nasional. Sungguh.

Sumber : cetak.kompas.com