Jebakan Sosial dan Ritual Purifikasi

Oleh: Abdul Malik Gismar

Ahli sejarah Ramsay MacMullen dalam bukunya, Corruption and the Decline of Rome, menunjukkan betapa peradaban gemilang seperti Romawi pun runtuh karena korupsi.

Dalam iklim yang korup, pertimbangan-pertimbangan strategis militer dan pertahanan sering dikompromikan dengan keuntungan para pejabat. Konsekuensinya fatal: kemampuan pasukan Romawi untuk menjaga dan melindungi batas-batas wilayah melemah drastis.

Namun, Indonesia malah seperti menapaki jejak Romawi. Hasil survei Kemitraan (2008) terhadap orang-orang yang paham informasi (aktivis, anggota parlemen, pejabat pemerintah daerah, pebisnis, akademisi, dan jurnalis) di 28 provinsi menunjukkan, korupsi di Indonesia sudah menjangkiti seluruh pilar kekuasaan. Bahkan pejabat pun percaya tingginya tingkat korupsi ini, termasuk di lembaga sendiri.

Salah satu definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Dalam skala kecil, korupsi merupakan kecurangan oleh segelintir pejabat. Namun, korupsi yang meluas, sistemis, dan dipercaya sebagai bagian tak terpisahkan dari praktik politik dan administrasi negara berarti telah menjadi budaya.

Korupsi sebagai Budaya

Dalam pengertian korupsi sebagai budaya, ada dua aspek penting, yaitu institusional dan sosial. Disebut institusional bila jaringan yang korup telah menguasai mesin-mesin publik dan orang percaya bahwa sudah seharusnya begitu. Secara sosial, jaringan korupsi yang menyentuh seluruh aspek kehidupan—dari urusan kelahiran hingga kematian—telah mendikte cara bertindak warga negara, dan sebaliknya, warga juga menginterpretasikan tindakannya dalam kerangka praktik korupsi.

Dalam situasi seperti di atas, korupsi merupakan pilihan “rasional”. Harto, sopir, membuat perhitungan sangat rasional ketika memilih membayar calo dan memberi suap untuk menyeberangkan truknya dari Merak ke Bakauheni.

Ia tidak suka kenyataan ini, tetapi tidak siap dengan konsekuensi play fair, sementara yang lain dia yakini play dirty. Logika ini berlaku juga pada petugas yang memungut pungli. Celakanya, pilihan yang secara individual rasional ini secara kolektif sangat tidak rasional dan merugikan semua orang. Inilah yang dalam psikologi dikenal sebagai jebakan sosial.

Ronggowarsito dengan tepat menggambarkannya: zamane zaman edan, yen ora ngedan ora keduman ‘zamannya zaman gila, kalau tidak ikut gila tidak kebagian’. Inilah stable but inefficient equilibrium: suatu keseimbangan yang stabil, tetapi tidak efisien. Situasi yang jelas buruk bagi semua orang, tetapi tak ada insentif bagi yang bertahan atau mengubahnya.

Seorang teman pernah bertanya mengapa orang Islam tidak jijik terhadap korupsi sebagaimana mereka jijik terhadap daging babi, padahal korupsi juga haram hukumnya. Mengikuti diskursus korupsi, suatu tindakan yang secara obyektif jelas korupsi bisa dianggap pelakunya sebagai haram, setengah haram, bahkan halal. Semua orang tahu bahwa korupsi berarti curang dan melakukannya akan menimbulkan rasa bersalah.

Namun, nalar manusia yang sangat elastis dan akomodatif, melalui berbagai mekanisme kultural-psikologis, akan menemukan justifikasi untuk menghilangkan segala hal yang menimbulkan rasa bersalah. Semakin kompleks persoalan, semakin terbuka lebar justifikasi rasional yang dapat digunakan.

Ritual Purifikasi

Salah satu mekanisme kultural-psikologis yang sangat kuat menjustifikasi korupsi adalah ritual purifikasi. Ketika seorang petugas menerima uang rokok, uang lelah, uang terima kasih, dan sebagainya, biasanya ia akan bertanya, “Ini ikhlas, kan?”

Kata ikhlas menjadi mantra purifikasi dalam transaksi ini sehingga suap, korupsi, dan segala bentuk kecurangan lain menjadi halal. Inilah mekanisme kultural-psikologis yang berada di balik paradoks kesalehan sosial versus korupsi: korupsi tetap tinggi meskipun kesalehan sosial juga tinggi.

Maka, masyarakat yang jatuh dalam jebakan korupsi sulit membebaskan diri. Jebakan korupsi menggerus kepercayaan warga negara terhadap negara dan sesama warga negara.

Untuk mematahkan siklus korupsi ini diperlukan kredibilitas lembaga-lembaga negara/pemerintah. Pejabat tidak boleh hanya mengeluh bahwa korupsi merajalela dan merasa tidak (mampu) berbuat apa pun, tetapi harus mulai dari diri sendiri. Keluhan hanya memperluas kepercayaan bahwa korupsi memang sudah begitu merajalela sampai presiden pun, misalnya, tak bisa berbuat apa-apa.

Dari sisi masyarakat diperlukan reorientasi nilai untuk mempersempit ruang justifikasi. Upaya yang dilakukan NU dan Muhammadiyah, beberapa waktu lalu, untuk memberikan pertimbangan fikih tentang korupsi adalah salah satunya.

Abdul Malik Gismar, Advisor Senior di Kemitraan dan Dosen di Paramadina Graduate School

Sumber: kompas, Jumat, 18 Maret 2011