Imlek, Pantun, dan Huruf Jawi

Oleh: Abdul malik

“GONG Xi Fa Chai. Selamat Tahun Baru Imlek 2561. Semoga pada Tahun Harimau ini kita dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik.” Itulah ucapan selamat Hari Raya Imlek yang saya kirim melalui pesan pendek (SMS) telepon genggam kepada sahabat-sahabat saya yang merayakannya minggu lalu. Memang begitulah cara dan gaya saya berkomunikasi dalam peristiwa yang sakral, resmi dan baku, walaupun kepada sahabat-sahabat saya, apalagi secara tertulis. Dalam komunikasi sehari-hari gaya itu tak pernah hadir.

“Ada tokek makan lumpia, biar bokek yang penting Sin Cia. Ada rayap dekat bakpao, mohon maap, tak ada angpao. Buah leci daun kucai, kuucapkan Gong Xi Fa Cai.” Sungguh saya terkejut, lagi terkesan. Di antara balasan SMS, selain yang resmi-baku seperti “Terima kasih, Saudaraku. Semoga Saudaraku sekeluarga pun memperoleh kebahagiaan”, terdapat banyak ucapan dalam bentuk pantun kilat (karmina) yang isinya lucu-lucu seperti yang saya kutipkan pada awal perenggan (paragraf) ini. Untuk para pembaca yang kurang memahaminya, ungkapan Sin Cia yang berarti Hari Raya banyak digunakan oleh masyarakat Tionghoa alih-alih kata Imlek.

Karena penasaran, saya bertanya kepada seorang sahabat perihal penggunaan pantun sebagai ucapan Sin Cia ketika berkunjung ke rumahnya pada Hari Raya Imlek itu. Dari jawabannya barulah saya tahu bahwa penggunaan pantun tak hanya ditujukan kepada saudara-saudara yang bukan etnis Tionghoa saja, tetapi di antara sesama masyarakat Tionghoa pun, khasnya di kalangan generasi muda, pantun banyak digunakan untuk ucapan Imlek. Dan, fenomena itu telah berlangsung lama. Sungguh saya ketinggalan kereta, tetapi pada Tahun Harimau ini kereta itu tak meninggalkan saya. Mungkinkah ini penanda baik bagi saya pada tahun ini, saya pun kurang periksa. Akan tetapi, yang berikut ini sungguh-sungguh saya periksa.

Ternyata pantun telah sangat memasyarakat di kalangan bangsa kita, tak kira usia, agama, etnis, atau apa pun perbedaan yang ada. Betapa keriangan, kegembiraan, dan kebahagian saudara-saudara kita masyarakat Tionghoa menyambut Sin Cia (Imlek) begitu terasa dalam pantun yang mereka ciptakan. Genre pantun begitu bersepadu dan dibancuh serasi dengan kebiasaan masyarakat Tionghoa seperti terekam pada kata-kata lumpia, bakpao, leci, kucai, dan angpao. Pantun ternyata telah menunjukkan jatidirinya sebagai sarana perbauran yang sangat mangkus (efektif) bagi bangsa kita. Tak sesiapa pun dapat membantah kelincahan ucapan dan ungkapan saudara-saudara Tionghoa kita dalam ucapan Tahun Barunya dalam pantun yang mereka ucapkan. Pantun kiranya telah memberikan sesuatu yang santun dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Memang, kebudayaanlah yang boleh menyatukan, bukan yang lain, walaupun kebudayaan masyarakat kita berbeda-beda.

Seperti halnya Hari Raya yang lain, pada Sin Cia kali ini saudara-saudara kita yang merayakannya banyak mendapat ucapan selamat dari saudara-saudaranya yang bukan Tionghoa. Ada ucapan yang disampaikan secara langsung, melalui telepon, SMS, kartu ucapan selamat, kain rentang (spanduk), baliho, iklan di media massa, dan sebagainya.

Yang paling menarik tentulah ucapan yang menggunakan kain rentang, baliho, dan iklan. Sekurang-kurangnya ada lima hal yang membuat ucapan itu menarik. Pertama, ucapan itu dibuat di atas media dengan dasar merah, warna khas budaya Tionghoa, yang menghiasi jalan-jalan protokol di setiap kota. Kedua, ucapan itu disertai dengan tulisan huruf kanji, tulisan bahasa Tionghoa. Ketiga, ucapan itu umumnya berasal dari para politisi yang bukan etnis Tionghoa.

Keempat, di antara ucapan itu ada yang disertai foto si pemberi ucapan beserta keluarga (suami-istri, ada juga dengan anak-anak) dalam pelbagai ukuran, sesuai dengan tingkat kemapanan dan kesejahteraan hidup mereka. Kelima, banyak di antara foto itu yang menampilkan si pemberi ucapan mengenakan pakaian tradisional Tionghoa dengan pelbagai modenya. Sungguh suatu pemandangan yang sangat menarik dan semarak.

Bagi kalangan politisi, penampilan yang menarik lengkap dengan foto memang sangat mustahak dilakukan agar mereka lebih dikenal. Dengan begitu, mereka dapat lebih mendekatkan diri dengan masyarakat, yang bersempena Sin Cia (Imlek) ini, dikhususkan kepada masyarakat Tionghoa. Mana tahu, dengan begitu masyarakat Tionghoa akan tertarik kepada mereka dalam kaitannya dengan peristiwa politik yang sedang dan akan dijalani kelak. Apatah lagi mereka betul-betul telah menunjukkan perbauran dengan menggunakan tulisan huruf kanji dalam ucapannya, yang entah mereka dapat membaca atau tidak tulisan itu yang penting diupahkan saja orang membuatnya, dan mengenakan busana tradisional Tionghoa. Memang, Sin Cia atau Hari Raya Imlek ini memiliki daya tarik yang luar biasa.

Berhubung dengan ucapan Sin Cia, nampaknya agak ada perbedaan cara dan penampilan orang mengucapkannya dibandingkan dengan ucapan Aidilfitri, misalnya. Ada ucapan yang disertai foto pemberi ucapan sama saja. Ucapan yang menggunakan pelbagai media juga tak berbeda. Bedanya, hampir tak ada ucapan dari saudara-saudara nonmuslim yang fotonya mengenakan busana muslim atau baju Melayu lengkap dengan songkok, misalnya. Begitu pula, tak pernah terlihat ucapan yang menggunakan tulisan huruf Jawi (huruf Arab-Melayu), bahkan juga dari pemberi ucapan yang muslim dan atau Melayu sekalipun. Kalau pun ada ucapan dalam huruf Latin yang disepadukan dengan bahasa Arab (bukan Arab-Melayu) dari pemberi ucapan yang beragama Islam.

Biasanya kebiasaan hanya menggunakan huruf Latin, tak menggunakan huruf Arab-Melayu, dalam ucapan itu dikaitkan dengan kenyataan konon tak banyak orang yang dapat membaca tulisan itu. Dengan demikian, akan mubazir kalau ucapan menggunakan huruf Arab-Melayu walaupun itu adalah bagian dari budaya kita. Kalau demikian keadaannya, sudahkah semua masyarakat Indonesia mampu membaca huruf kanji sehingga banyak yang memberi ucapan selamat dengan menggunakan huruf kanji?

Dari fenomena ini, dalam kaitannya dengan pembinaan, pengekalan, dan pengembangan budaya Indonesia dan daerah, yang untuk daerah ini budaya Melayu, kita perlu kembali kepada amanat Nabi Muhammad SAW. “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Tiongkok.” Perayaan Sin Cia ini membuktikan amanat itu tak terbantahkan. Tak banyak leguh-legah yang dilakukan oleh saudara-saudara kita masyarakat Tionghoa untuk membina, mengekalkan, dan membina budaya terala nenek-moyang mereka. Yang ada mereka tetap menjunjung tinggi budaya yang ranggi itu, lebih-lebih masyarakat Tionghoa perantauan di mana pun mereka bermastautin di muka bumi ini.

Betapa pun budaya asing menerpa, mereka tak berganjak: tetap menjunjung tinggi budaya sendiri, merasa bermartabat, dan memiliki harga diri dengan warisan leluhur yang ranggi. Inilah pikiran, sifat, sikap, dan perilaku terpuji dalam memelihara warisan budaya sendiri. Alhasil, semua ikon budaya Tionghoa menjadi menarik masyarakat di mana pun mereka berada. Huruf kanji, bahasa Mandarin, busana tradisional Tionghoa, dan barongsai kini telah merakyat di semua belahan dunia sehingga menjadi belahan hati. Menariknya lagi, Pemerintah Tiongkok tak pernah memprotes permainan barongsai di mana pun di dunia ini. Pasal, mereka tahu bahwa di mana bumi dipijak, di situ ada orang Tionghoa yang bijak.

Ada lumpia ada bakpao, ada Sin Cia pasti ada angpao. Ada ikan, kangkung-terasi, dan kucai, saya ucapkan Gong Xi Fa Chai.

Sumber: http://www.harianbatampos.com
-

Arsip Blog

Recent Posts