Indonesia Bunuh Diri Jika Biarkan Batik `Printing`

Yogyakarta - Indonesia akan bunuh diri jika membiarkan batik printing merajalela di pasaran, apalagi masyarakat malah semakin gemar mengoleksinya. Penetapan batik sebagai pusaka budaya dunia oleh UNESCO, badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membidangi kebudayaan, pada 2 Oktober mendatang, adalah momen penting bagi Indonesia untuk menunjukkan potensi dan serius merawatnya.

Hal tersebut seperti yang dikatakan Murdijati Gardjito, Sekretaris Umum Paguyuban Pencinta Batik Sekar Jagad, Jumat (25/9). Dia mengatakan, penetapan batik sebagai pusaka budaya dunia oleh UNESCO dilangsungkan di Dubai. Ia berharap, momen itu segera menyentak semua pihak dan masyarakat. "Sekarang saatnya bergerak bagaimana menghentikan batik printing di pasaran. Malu dong, kalau dunia internasional tahu bahwa batik printing masih beredar luas di Indonesia. Memang tak ada sanksi dari UNESCO jika itu terjadi, tapi itu jelas menunjukkan Indonesia tak serius dalam pelestarian batik," katanya.

Batik yang benar-benar batik hanya batik tulis, batik cap, dan kombinasi keduanya. Batik printing hanya kain yang bermotif batik, alias bukan batik. Yang menjadi keprihatinan Mudijati adalah masyarakat banyak yang tak bisa membedakan batik. "Memang sulit untuk menghentikan peredaran batik printing. Dengan harga murah, batik printing jelas pilihan menarik. Namun, itu pelan-pelan akan membuat jumlah pebatik tradisional terus berkurang. Batik printing jelas harus dihentikan," katanya. Caranya, lanjut dia, bisa dimulai dari inisiatif dari kantor-kantor, instansi, sekolah, kelompok masyarakat, hingga paguyuban trah. Mereka diharapkan mulai menempatkan batik sebagai salah satu seragam. Ini akan menumbuhkan kecintaan pada batik.

Batik printing, di Yogyakarta, banyak dijual di kaki lima Malioboro. Kemeja dan celana batik printing dijual murah meriah, dari Rp 10.000-Rp 300.000. Ini jauh lebih murah ketimbang harga batik tulis yang bisa ratusan ribu. Ibu Sofian, penjual batik printing di Malioboro mengatakan, jualannya banyak dibeli sebagai oleh-oleh. Masyarakat banyak yang tak bisa membedakan antara batik tulis, cap, dan printing. Mereka hanya membedakan dari harganya. Indah (27), karyawan swasta, misalnya, yang mengenakan batik, mengatakan bahwa yang dipakainya batik printing. Sebab, harganya hanya Rp 35.000. "Enggak mungkin kan batik tulis," ujarnya. (Pra)

-

Arsip Blog

Recent Posts