Menjejak Seni Pertunjukan karya BUNG KARNO

Oleh: Agus Setiyanto

Jika anda sempat berkunjung ke Bengkulu, dan menyinggahi rumah bekas pengasingan Bung Karno, anda masih dapat melihat eks barang-barang – properti sandiwara tonil peninggalan Bung Karno. Ada beberapa kostum, layar, spanduk, serta atribut sandiwaranya. Tetapi anda mungkin belum tahu banyak, bahwa Bung Karno semasa pengasingannya di Bengkulu (1938-1942), pernah sukses sebagai penulis naskah, sutradara, manajer, dan sekaligus produser sandiwara tonil yang diberi nama “Monte Carlo”.

Sayangnya, dari sekian banyak naskah yang pernah ditulisnya, hanya ada empat buah naskah yang tersisa, yaitu : Dr. Sjaitan ; Chungking Djakarta; Koetkoetbi; dan Rainbow (Poteri Kentjana Boelan). Bahkan teks naskah Dr. Sjaitan sudah tidak lengkap – hanya ada dua bedrijf saja – semestinya, lengkapnya terdiri atas enam babak (Lambert Giebels, 1999: 201).

Bung Karno tidak sekedar menulis naskah, dan sutradara, tetapi juga sebagai manajer pemasaran, sekaligus produser yang mengurusi tetek bengeknya, seperti mencari – memilih para aktor, merancang panggung, – melukis layar, menyiapkan publikasi, dokumentasi, pagelaran, dan lain-lain.

Cermin Wawasan Kebangsaan
Bung Karno yang sudah terbiasa mempelajari berbagai macam cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sejarah, sastra dan bahasa, – tidaklah terlalu sulit menuang gagasan kreatifnya dalam bentuk naskah. Wawasan kebangsaan yang sangat luas menjadi entitas dalam mengimplementasikan proses kreatifnya. Seperti menginterpretasi film Franskenstein yang amat populer pada saat itu menjadi lakon Dr. Sjaitan – dan Koetkoetbi.

Konsep – wawasan nasionalisme – wawasan kebangsaan yang dibangun oleh Bung Karno terbaca jelas dalam naskah Chungking Djakarta - yang menggambarkan semangat kesadaran nasionalisme bangsa Asia melawan bangsa kolonial. Apa yang dicita-citakan oleh Bung Karno dalam konsep pembangunan politiknya – “membangun poros Jakarta – Peking” bisa jadi sudah tertuang dalam naskah Chungking Djakarta.

Demikian juga dengan naskah Rainbow (Poetri Kentjana Boelan). Dengan pengetahuan sejarah, khususnya sejarah Bengkulu, Bung Karno mampu menuangkan cerita epik yang berbau historis dalam naskah tersebut. Mungkin saja, Bung Karno juga membaca Tambo Bangkahoeloe sebelum menulis naskah Rainbow. Bung Karno menggiring alur cerita berbau roman sejarah yang penuh semangat patriotik – meskipun dalam cerita tokoh sentral yang romantis berakhir dengan tragis – “romantis membawa tragis” . Mungkin, naskah Rainbow ini merupakan salah naskahnya yang dapat dikategorikan sebagai karya sastra sejarah – atau tepatnya roman sejarah.

Sutradara Gaya Soekarno
Ada hal menarik ketika Bung Karno memimpin sandiwara Kelimutu dengan ketika memimpin sandiwara Monte Carlo, terutama dalam penerapan naskah. Ketika di Endeh, Bung Karno menulis naskah-naskahnya hanya garis besarnya saja, kemudian disampaikan kepada kelompok pemain, lalu menetapkan siapa memegang peran apa – dan selanjutnya mereka disuruh menghafalkan dengan terus mengulang, serta menirukan contoh yang diberikannya (Lambert Giebels, 2001:200). Sedangkan dalam Monte Carlo Bung Karno menulis naskah secara lengkap, meski dalam pelaksanaannya tak jauh berbeda dengan ketika memimpin Kelimutu. Bung Karno tetap mendiktekan naskahnya kepada para pemain yang sudah dipilihnya dan disuruh menghafal terus menerus serta menirukan gerakan yang diberikannya.

Gaya Bung Karno ini juga agak berbeda dengan gaya kelompok sandiwara komersial seperti Miss Riboet, Oreon, Dardanella, Komedi Bangsawan, Komedi Stamboel, dan sejenisnya, yang bermain lebih loose, dan bebas dari segala patokan (Bakdi, 2001:266). Dalam penulisan naskah gaya Bung Karno, tidak terdapat monolog yang memberi ruang gerak pada aktor untuk berkomunikasi – menyapa audien – penontonnya seperti yang dilakukan gaya monolog dalam Ludrug, maupun Lenong Betawi.

Bung Karno mencoba menggabungkan – memasukkan unsur – konsep drama – teater modern dengan tetap menggunakan setting layar berdasarkan latar belakang tempat dan peristiwa kejadiannya. Berbeda dengan kosep drama- teater modern yang menggunakan setting tak sekedar latar belakang, tetapi juga unsur yang membangun perkembangan sruktur dramatik lakon dari awal hingga akhir (Bakdi, 2001:268). Sementara, pada kelompoknya Miss Riboet yang bertahan hingga lima belas tahunan – dan Dardanella yang mampu bertahan hingga dua dekade, lebih mengedepankan gaya dalam bentuk nyanyian – lagu-lagu sindiran – sinis – dan penuh simbolik ( Mohamad Nazri Ahmad, 2000:33).

Menambahkan trik – dengan teknik yang menyerupai peristiwa kejadiannya , menyiapkan peralatan electrik dengan kabel-kabel stroom sudah menjadi kepiawaian Bung Karno. Seperti teknik menggunakan lembaran zink (seng) – blik (kaleng), pasir, kerikil –batu-batuan, bubuk – zat peledak, dan lain-lain untuk menirukan suara gemuruh angin, hujan, petir, halilintar dan lain-lain.

Sebagai sutradara, Bung Karno yang punya waktu luang banyak tentu saja akan melakukan pekerjaannya dengan serius. Memberikan latihan – gemblengan terhadap para pemainnya yang sudah diseleksi – diaudisi. Selanjutnya Bung Karno menyiapkan jadwal dan tempat latihannya, gladi resik, hingga persiapan pementasannya. Bung Karno sangat teliti dalam urusan yang kecil-kecil, termasuk memeriksa kenyamanan dan keamanan lantai panggung yang akan digunakan oleh para pemain – seperti memeriksa kalau ada paku-paku yang membahayakan.

Bung Karno memilih Hanafi dan M. Zahari Thanie untuk memerankan tokoh perempuan. Belakangan nama Hanafi ditambah namanya menjadi A.M. Hanafi – A.M kepanjangan dari Anak Marhen. Setelah Bung Karno menjadi Presiden RI, A.M. Hanafi pun diangkat sebagai Duta Besar untuk Kuba (A.M. Hanafi, 1996: 22). Sedangkan, Bu Inggit membantu melakukan pekerjaan yang sama ketika di Endeh, yaitu sebagai penata rias.

Sebagai pemimpin sandiwara, Bung Karno menyadari, bahwa musik memegang peranan yang sangat penting. Tanpa illustrasi musik, pertunjukan seni jenis apapun takkan pernah berhasil – sukses. Oleh karenanya, dalam hal penataan musik, Bung Karno mempercayakan penuh kepada Manaf Sofiano yang memang piawai dalam memainkan alat musik piano maupun saxofon. Bahkan diantara para pemain Monte Carlo yang dianggap terbaik oleh Bung Karno adalah Manaf Sofiano. Dan Bung Karno dengan jujur telah memujinya sebagai seorang primadonna (Cindy Adams, 1966:206).

Pada acara pertunjukan, Bung Karno tidak menempatkan diri dibelakang layar, seperti halnya yang biasa dilakukan oleh para sutradara pada pertunjukan sandiwara Kethoprak maupun Ludrug. Bung Karno justru duduk di kursi barisan depan sejajar dengan para pembesar Belanda, elite pribumi, pengusaha – saudagar – orang-orang Tionghoa yang biasanya mengambil karcis loge de luxe (tempat duduk VIP).

Produser Yang Melampaui Zamannya
Kepiawaian Bung Karno sebagai produser – pimpinan sandiwara Monte Carlo boleh dibilang cukup mengagumkan – dan tentu saja membutuhkan pekerjaan yang rumit. Mulai dari merancang – menulis naskah – mencari pemain – menyeleksi pemain - membagi peran – merancang tonil – menyiapkan kain – melukis layar – menyiapkan properti – menyiapkan spanduk – penyebaran pamlet – percetakan - menyiapkan promosi dengan kendaraan keliling – menyiapkan tempat pentas - menyiapkan dana produksi – menyiapkan tiket – karcis - mengundang penonton - membuat jadual latihan – gladi resik hingga jadual pementasan, dan lain-lain – semua berada dibawah tanggungjawab dan pengawasan Bung Karno.

Bung Karno menyiapkan pamflet yang promosinya sangat memikat para pembacanya. Isi pamfletnya selain mengundang rasa penasaran, juga memberikan informasi menarik serta menyertakan harga karcis – tiket tanda masuk. Pada sore hari menjelang pertunjukannya, Bung Karno mengadakan programa keliling, yaitu mengarak para pemain yang akan tampil nanti malam – berkeliling kota dengan menyewa mobil. Disamping, menyewa mobil untuk mengarak para pemain, Bung Karno juga menyewa gedung tempat pertunjukannya, yaitu gedung bioskop Royal Cinema dengan cara mengangsur (menyicil).

Sayang, hingga kini belum ada pelaku seni yang berminat mengadaptasi naskah -lakon karya Bung Karno. Padahal amat menarik. Jangan-jangan, memang belum banyak yang tahu?

-

Arsip Blog

Recent Posts