Situs Muarajambi dan Waisak 2551 BE

Oleh: ST Sularto

Peringatan Waisak 2551 BE, 1 Juni 2007, secara nasional pertama kali tidak hanya diadakan di Candi Borobudur, tetapi juga di situs Muarajambi berlangsung meriah. Lebih dari sekadar meriah, peristiwa itu diberi makna baru dalam konteks kemajemukan. Peristiwa itu mengingatkan keberagaman monumen warisan sejarah, dipadu dengan kekayaan alam dan kemajemukan masyarakat Indonesia.

Situs Muarajambi terletak di tepi Sungai Batanghari (450 kilometer), sungai terpanjang di Pulau Sumatera, 22 kilometer sebelah timur Kota Jambi, memiliki luas sekitar 260 hektar. Berbeda dengan Candi Borobudur yang dipugar selama 10 tahun—diresmikan tahun 1983 dan masuk dalam salah satu warisan budaya dunia (world cultural heritage)—situs Muarajambi nyaris dilupakan, dan belum memperoleh dukungan banyak pihak.

Menurut Mundarjito, arkeolog dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, situs Muarajambi sebaiknya tidak dipandang dari perspektif keagungan bangunan arsitektur yang monumental. Situs yang memiliki 82 candi itu jauh dari sosok megah candi-candi berbahan dasar batu.

Ia berbeda dengan Candi Borobudur misalnya, yang dibangun dari batuan keras, disusun dari sekitar 2 juta balok batu, dipenuhi relief-relief dengan alur cerita berdasarkan naskah agama, dan tidak lagi merupakan warisan masyarakat Indonesia, tetapi warisan dunia seperti halnya kompleks Candi Angkor Watt di Kamboja.

Sebaliknya, situs Muarajambi. Menyaksikan situs itu dalam suasana perayaan Waisak pada 1 Juni lalu, Muarajambi memang kalah pamor dari Borobudur. Borobudur sudah terlihat megah dari kejauhan; selain karena tempatnya di atas bukit, juga karena sosoknya yang agung.

Sebaliknya, Muarajambi tampak memprihatinkan. Gundukan tanah (menapo) teronggok di beberapa tempat, konon baru 70 buah bisa direkam kedudukannya dan sekitar 60 belum dikupas. Daya tariknya tinggal keluasan areal yang membentang, dan sejarah yang belum terungkap. Pendek kata, masih perlu disentuh penelitian arkeologis, obsesi untuk melestarikan, uluran dana dan simpati orang berduit.

Perayaan Waisak 1 Juni 2007 ditempatkan di depan Candi Gumpung, salah satu candi yang sudah lebih dulu dipugar, areal di tepian Kolam Telagoarjo, yang pada sehari sebelumnya dipakai untuk prosesi keagamaan. Pertama kali dalam Waisak 2551 BE itu umat Buddha merayakan secara nasional tidak hanya di Borobudur (Pulau Jawa), tetapi juga di luar Pulau Jawa (Jambi).

Kalau di Jawa selama ini diorganisasi oleh Perwalian Umat Buddha (Walubi), di Jambi diorganisasi oleh Majelis Buddhayana Indonesia (MBI). Situ itu sejak 1992 pada setiap hari raya Waisak dipakai sebagai tempat perayaan oleh umat Buddha Vihara Sakyakirti, Jambi.

Mengenai makna baru itu, kata Ketua Umum MBI Sudhamek AWS, perayaan Waisak secara nasional jangan dikaitkan sebagai "pesaing" perayaan Waisak di Borobudur.

"Kami ingin agar umat Buddha di luar Jawa tidak terkendala oleh sarana transportasi untuk datang ke Jawa. Perayaan ini lebih dikaitkan untuk mengingatkan kekayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. Tahun ini situs Muarajambi, tahun depan kami akan selenggarakan di situs lain, Muaratakus misalnya," ujar Sudhamek.

Penelitian dan pelestarian
Menurut Junus Satrio Atmodjo, arkeolog dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, keberadaan situs Muarajambi diketahui pertama kali dari laporan seorang perwira Angkatan Laut Kerajaan Inggris, SC Crooke, tahun 1883. Ia ditugasi melakukan pemetaan hidrologi dan pencatatan daerah-daerah di sepanjang Sungai Batanghari untuk kepentingan militer. Saat itu ia melihat reruntuhan beberapa bangunan di hutan Jambi dan, menurut penduduk setempat, desa mereka di zaman dulu adalah ibu kota sebuah kerajaan.

Laporan Crooke dilengkapi T Adam, seorang Belanda yang datang ke Jambi tahun 1921. Ia menyebutkan adanya beberapa arca gajah dan benda semacam lesung yang dia peroleh di sekitar Candi Astano. Tiga belas tahun kemudian barulah penelitian arkeologis dilakukan, mulai dari FM Schnitger tahun 1935-1936, Soekmono (1954), Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (1979, 1981-1988), Bakosurtanal (1985), Balai Arkeologi Palembang (2005-2006). Sedikit demi sedikit rahasia situs Muarajambi terkuak.

Adalah Schnitger sebagai sarjana pertama yang menghubungkan situs Muarajambi dengan Kerajaan Melayu Kuno (Mo-lo-ye) yang disebut-sebut dalam naskah China abad XVII. Adapun Soekmono arkeolog Indonesia pertama yang meneliti situs Muarajambi, tahun 1954. Pemugaran baru dimulai tahun 1975. Dari serangkaian penelitian tahun 1954-2006, para arkeolog menyimpulkan adanya hubungan situs Muarajambi dengan Kerajaan Sriwijaya Kuno.

Mengutip Junus Satrio Atmodjo, kesimpulan tersebut cukup berdasar mengingat tidak ada situs lain di Provinsi Jambi yang memiliki kepadatan tinggalan purbakala seperti halnya Muarajambi. Tetapi, hingga kini belum ada ahli yang dengan pasti mengidentifikasi situs ini sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Melayu Kuno, kecuali menghubungkannya dengan kerajaan ini atas dasar usia.

Melalui serangkaian penelitian Pusat Arkeologi Nasional tahun 1972-1995, disimpulkan bahwa Muarajambi pernah merupakan permukiman yang ramai. Ribuan pecahan keramik yang ditemukan dapat menjadi indikator yang mencerminkan adanya aktivitas kehidupan di masa lalu, termasuk yang muncul ke permukaan bersama benda-benda budaya lain seperti tembikar.

Letak situs di pinggir Sungai Batanghari, menurut Junus, merupakan pola umum permukiman kuno di Jambi abad XI-XIII maupun sebelumnya yang bercorak Hindu-Buddha. Pemilihan lokasi ini sebagai strategi adaptasi masyarakat untuk memperoleh kemudahan, di antaranya sarana komunikasi dan bahan makanan. Ditambah dengan keberadaan hutan dataran rendah, hal itu membuat para pemukim kuno di situs Muarajambi tidak kekurangan pangan.

Penelitian yang bertujuan memperoleh gambaran tentang pikiran, norma, pengetahuan, kearifan lokal masyarakat Muarajambi kuno itu, demikian Mundarjito, tidak akan lengkap kalau tidak diimbangi pelestarian. Tidak mungkin diperoleh data untuk merekonstruksi kehidupan masyarakat masa lalu jika pada situs Muarajambi dilakukan kegiatan fisik yang merusak.

Para arkeolog yang turun ke lapangan menghadapi kenyataan karena setiap tahun tidak kurang dari 1.000 situs dirusak atau dihancurkan untuk keperluan pembangunan fisik.

Menurut Mundarjito, dunia arkeologi masa kini tidak lagi berorientasi pada kajian terhadap artefak, misalnya memusatkan perhatian pada candi saja. Arkeologi masa kini melihat hubungan candi dengan bangunan lain yang ada dalam situsnya, juga hubungan dengan artefak-artefak lain.

Pelestarian mencakup sekumpulan bangunan dan artefak, bahkan masyarakat yang berada di suatu kawasan. Paradigma pelestarian dijiwai konsep, bangunan yang dilestarikan harus juga bermakna bagi masyarakat masa kini dan masa depan.

Penjelasan Mundarjito yang disampaikan dalam diskusi Titik Temu Muarajambi di Bentara Budaya Jakarta, November 2006, didukung koleganya sesama arkeolog, Nurhadi Rangkuti dari Balai Arkeologi Palembang. Kegiatan pelestarian yang dilaksanakan BP3 Jambi telah berhasil memetakan kawasan situs Muarajambi. Pelestarian itu, demikian Nurhadi, perlu merujuk hasil penelitian menyeluruh dalam konsep arkeologi permukiman (konservasi).

Berangkat dari paradigma penelitian sekaligus pelestarian dalam konteks konservasi budaya menurut Mundarjito, perayaan Waisak 2551 secara nasional di situs Muarajambi menawarkan dua tantangan sekaligus. Tantangan pertama, bagaimana menarik minat besar untuk melakukan penelitian sekaligus pelestarian dalam konteks untuk masa depan bangsa ini.

Kedua, dalam karut-marut bangsa dengan semangat fanatik otonomi daerah, perlu didesakkan semangat mengenal bangsa, seni budaya dan alam Indonesia. Arkeologi dapat menjadi wahana mendorong hasrat menggali akar budaya mengenal Tanah Air, kata Jakob Oetama, tokoh pers yang menggulirkan obsesi Mengenal Tanah Air.