Menapaki Jejak Islam di Kudus

Kudus, Jawa Tengah- Wilayah Pantura Timur dari Demak-Kudus hingga ke arah Jawa Timur dikenal sebagai daerah yang pernah disinggahi para Walisongo untuk penyebaran agama Islam.

Tak heran, jika budaya dan sisa-sisa peninggalan sejarah Islam masih ada. Bahkan, banyak suri tauladan yang patut dicontoh oleh penyebar agama Islam tersebut.

Seperti halnya di Kota Kudus, terdapat makam Sunan Muria dan Sunan Kudus, sebagai penyebar agama Islam yang sampai sekarang makamnya banyak dikunjungi peziarah.

Adanya dua tokoh penyebar Islam ini, masih meninggalkan kisah dan artefak kebudayaan Islam yang dapat dijumpai di sejumlah tempat di Kudus. Wilayah ini akhirnya mendapat julukan yang melekat dibanding kota lain, yakni sebagai kota santri.

Terlebih lagi, nama kota di Jawa yang berasal dari bahasa arab ternyata hanya Kudus. Diambil dari kata "Alquds" yang berarti tempat suci.

Sunan Kudus atau Ja‘far Shadiq sendiri sampai sekarang masih meninggalkan sisa-sisa kebudayaan yang dapat dilihat dan kebiasaan yang masih banyak dipegang oleh warga asli Kudus, terutama di Kudus Kulon, di lokasi sekitar Masjid dan Menara Sunan Kudus.

Sunan Kudus juga dikenal sebagai seorang wali yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap agama lain, Hindu yang kala itu cukup berkembang.

Adapun kebiasaan Sunan Kudus hingga kini masih dijadikan panutan hidup adalah berdagang. Namun, hingga sekarang belum diketahui secara jelas sunan yang merupakan anak Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung Di Jipang, Panolan Blora dan yang dilahirkan pada abad XV (Ensiklopedia Islam, 1985) tersebut berdagang apa.

Sejumlah kalangan berpendapat, berdasarkan cerita turun-temurun, kebiasaan berdagang berawal dari kebiasaan sunan.

Menurut Ketua Yayasan Masjid dan Menara Sunan Kudus (YMMSK), Em Nadjib Hassan, hingga kini belum diketahui usaha dagang yang dijalani Sunan Kudus, karena memang belum ada kajian yang komprehensif (riwayat) Sunan Kudus. "Saat ini masih menjadi kontroversi," katanya.

Kata Nadjib, sejak dulu masyarakat Kudus memang dikenal sebagai seorang pedagang. Bukti masyarakat Kudus sebagai pedagang dapat dilihat pada daerah bernama Kampung Kudusan di Lumajang Jawa Timur. Hal demikian, terjadi pada pedagang yang menjual barang dari daerah lain yang mendapat julukan "Blayar".

Apalagi, status sosial pedagang waktu itu memang lebih tinggi jika dibandingkan dengan seorang pegawai pemerintahan, karena pegawai masih dipandang sebagai seorang yang dekat dengan dengan kolonial. "Hingga sekarang masih banyak orang tua yang mengancam anaknya yang nakal, akan menikahkan dengan pegawai. Orang tua lebih memilih menantu seorang pedagang daripada pegawai," jelas Nadjib.

Kebiasaan kehidupan Islami yang kental pun saat ini masih bisa terlihat. Tidak ada salahnya Kudus juga bisa dikatakan sebagai kota Santri, bukan hanya kota Kretek.

Sebab, menjelang Maghrib, di ruas jalan wilayah Kudus Kulon akan terlihat lengang dan tidak ada warga yang lalu lalang. "Jika ada yang keluar, biasanya para santri dan warga yang menunaikan Sholat," katanya.

Ditegaskannya, pada malam hari tidak ada perempuan yang akan keluar malam. "Kalaupun ada yang terlihat sampai pukul 01.00 WIB, karena pulang dari pengajian," katanya.

Kehidupan Islami ini juga nampak ketika para perempuan akan ditempatkan di bagian rumah yang dipisahkan dengan anyaman bambu untuk menutupi dari pandangan yang bukan muhrimnya.

Hanya saja, masih banyak yang salah kaprah soal gadis pingitan yang tidak boleh ke luar rumah. Padahal, gadis dipingit artinya menerapkan nilai-nilai Islam, sehingga seorang gadis tidak sembarangan ke luar rumah, untuk menghindari non muhrim.

Selain itu, kehidupan Islami juga tercermin pada perusahaan rokok seperti merek Djambu Bolan dan Sukun yang masih meliburkan buruhnya pada hari Jumat.

Peninggalan Sunan Kudus yang besar adalah menanamkan rasa keagamaan dan berkomitmen tinggi terhadap Syariat Islam. Sunan Kudus berharap umat Islam harus mandiri dan memiliki jiwa kewirausahaan.

Semasa hidupnya juga tidak eksklusif dan sangat akulturatif dengan perkembangan budaya agama Hindu yang saat itu cukup berkembang.

Hal ini tercermin pada bangunan menara di sebelah Masjid Sunan Kudus, untuk mengumumkan acara penting keagamaan.

Menara ini memiliki ketinggian 15 meter yang berbahan dasar batu bata, sirap, dan semen. Melalui inskripsi pada salah satu bagian rangka atap menara pendirian Menara Kudus, menunjukkan angka tahun 1609 jawa atau 1687 masehi. Menara Sunan Kudus mengadopsi kebudayaan Hindu yang diisi nilai-nilai Islami.

Selain itu, warga Kudus juga memiliki pantangan tersendiri yang dijaga turun-temurun untuk tidak menyembelih sapi, sebagai simbol hewan yang dikeramatkan Agama Hindu. (ANT) JY

Sumber: www.kompas.com (19 September 2008)
-

Arsip Blog

Recent Posts