Sendratari Jepang Rasa Jawa Dipentaskan

Yogyakarta - Raksasa berambut gimbal itu terengah-engah saat menarik beban berat sendirian. Sesekali ia berhenti, menghela napas, dan mengumpulkan tenaga. Raksasa itu kemudian meninggalkan buntalan besar berisi mayat teman dan musuhnya. Akhirnya sutradara Shin Nakagawa mengakhiri sendratari "Momotaro" yang dimainkan oleh Teater Gamelan Marga Sari di Gedung Socitet Taman Budaya Yogyakarta, Selasa malam, 26 Agustus.

"Momotaro" adalah cerita rakyat Jepang yang mengisahkan perjuangan seorang pria, Momotaro, membebaskan kekasihnya yang diculik raksasa. Namun, untuk pementasan ini Nakagawa yang juga pendiri Teater Gamelan Marga Sari mengubah cerita aslinya.

Pada cerita aslinya, Momotaro berhasil membunuh raksasa dan membawa pulang sejumlah pusaka. Sebaliknya, kali ini Nakagawa justru memenangkan raksasa. Momotaro serta tiga temannya yang membantu (anjing, kera, dan burung Kiji) tewas dalam pertarungan di Pulau Onigashima.

Nakagawa juga menggeser format cerita rakyat Jepang itu ke dalam bentuk teater kontemporer. Sosok anjing dihadirkan dalam bentuk seorang lelaki Jepang penggila musik rock. Sosok monyet ditampilkan dalam bentuk pegawai kantor berjas dan berdasi. Sedangkan burung Kiji dimunculkan dalam rupa waria pekerja bar.

"Ini menggambarkan sisi kehidupan riil di Jepang," kata Nakagawa. Di satu sisi, masyarakat di sana masih kukuh dengan tradisi nenek moyang yang memuja alam, di sisi lain penduduknya mencintai kehidupan subkultur masa kini.

Dengan iringan gamelan yang dimainkan secara kontemporer, Nakagawa menggambarkan kehidupan masyarakat tradisional Jepang yang sangat erat berinteraksi dengan alam, misalnya pada upacara tanam padi. "Seperti Indonesia, Jepang sebenarnya negara agraris. Simbol kebudayaan Jepang adalah pertanian," ujar Nakagawa.

Sebagai penggagas pementasan, Nakagawa berusaha memadukan iringan gamelan Jawa dengan beberapa upacara adat dan kostum tradisional Jepang yang dikenakan pemain. Sayangnya, ritme pertunjukan berjalan lamban. Padahal durasi pementasan hampir tiga jam. Akibatnya, penonton banyak yang tertidur. (Heru CN)

Sumber: www.tempointeraktif.com (28 Agustus 2008)