Oleh: Hasrul Halili
AKHIR-akhir ini, energi aktivis gerakan antikorupsi di Indonesia terkonsentrasi penuh menghadapi fenomena corruptors fight back dalam ranah pemberantasan korupsi. Fenomena corruptors fight back adalah situasi di mana kekuatan-kekuatan prokorupsi melakukan serangkaian serangan balik yang sistematis terhadap gerakan antikorupsi. Serangan tersebut berpotensi melumpuhkan simpul-simpul utama gerakan antikorupsi.
ebagian aktivis antikorupsi meyakini master mind di balik itu semua adalah para koruptor yang sakit hati karena pernah menjadi pesakitan dalam proses peradilan korupsi. Atau, bisa juga mereka adalah orang-orang yang berpotensi melakukan korupsi yang kemudian merasakan kebutuhan untuk melakukan tindakan-tindakan ”pre-emptive” agar kelak ketika berpraktik koruptif tidak tersentuh oleh hukum. Ditengarai, orang-orang di belakang corruptors fight back tersebut sangat powerful, baik dalam pengertian ekonomi, politik, maupun hukum.
Sejauh yang bisa diamati, bentuk corruptors fight back bervariasi, mulai mempersoalkan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan korupsi—misalnya melalui mekanisme judicial review—sampai menggembosi lembaga antikorupsi.
Untuk yang terakhir itu, modusnya bisa dilakukan dengan cara melucuti kewenangan istimewa yang dimiliki lembaga superbodi antikorupsi maupun dengan cara “mengkriminalkan” orang-orang kunci (key persons) di lembaga antikorupsi dengan menyeret mereka dalam kasus hukum tertentu.
Rumor tentang rencana penangkapan sejumlah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dikabarkan tersangkut kasus suap—pasca penangkapan Ketua KPK Antasari Azhar yang tersangkut kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen—mungkin merupakan contoh yang pas untuk menjelaskan fenomena corruptors fight back yang langsung diarahkan ke KPK. Rumor tersebut belakangan diperkuat oleh testimoni Antasari yang menyatakan adanya dugaan suap terhadap dua petinggi KPK terkait penanganan kasus PT Masaro.
Dari kilas balik sejarah perkembangan gerakan antikorupsi di Indonesia, selain tercatat bahwa fenomena corruptors fight back sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang baru, hal lain yang menarik (sekaligus mencemaskan) adalah tingkat keberhasilannya.
Sejarah mencatat, corruptors fight back ternyata secara gemilang berhasil mematikan beberapa lembaga garda depan pemberantasan korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi pada 1967, Tim/Komisi Empat (1970), Operasi Ketertiban (Opstib) pada 1977, serta Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGP-TPK) dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) pada era pemerintahan Gus Dur.
***
Pertanyaannya sekarang, akankah corruptors fight back terhadap KPK juga berhasil dilakukan seperti terhadap lembaga-lembaga antikorupsi pada masa lalu?
Jawaban pertanyaan itu tentu bisa iya bisa tidak. Satu hal yang pasti, semua akhirnya bergantung pada kemampuan internal KPK dalam menangkis segala bentuk serangan terhadap mereka. Karena itu, yang kemudian penting dilakukan adalah menakar seberapa kukuh sebenarnya jangkar pertahanan KPK berhadapan dengan corruptors fight back tersebut.
Salah satu jangkar pertahanan penting dalam menghadapi serangan balik koruptor terhadap kelembagaan KPK adalah integritas key persons di KPK. Dalam arti, mereka memang merupakan figur-figur yang tidak terkontaminasi praktik koruptif maupun perbuatan pidana lainnya, sehingga tidak mudah disangkutpautkan dengan masalah hukum.
Poin itu penting dikemukakan, mengingat integritas sebagian kepemimpinan KPK periode 2007-2011, sejak proses rekrutmen, masih disyakwasangkai oleh banyak pihak, termasuk sebagian aktivis antikorupsi. Setidaknya, hal tersebut terlihat jelas dari suara kritis masyarakat yang sangat gencar mempersoalkan integritas Antasari Azhar saat terpilih sebagai ketua KPK periode 2007-2011.
Belakangan, kekhawatiran masyarakat tersebut, tampaknya, mendapat afirmasi dengan tersandungnya yang bersangkutan dalam kasus pembunuhan yang sangat menghebohkan.
Jaminan integritas key persons di KPK menjadi sangat penting tidak saja dalam kerangka memperkukuh jangkar pertahanan KPK dari corruptors fight back, tapi juga menjadi spirit bagi all out-nya advokasi yang akan dilakukan elemen-elemen gerakan antikorupsi di Indonesia yang sudah siap “pasang badan” untuk KPK.
Dengan memastikan dan meyakinkan kepada masyarakat luas bahwa key persons KPK memang secara integritas tidak bermasalah dengan hukum, mengutip pernyataan Teten Masduki, yang terjadi saat ini hanyalah “upaya balas dendam karena KPK mencium adanya dugaan kasus korupsi yang diduga melibatkan petinggi Polri”. Hal yang menurut penulis tidak akan sulit dilakukan, mengingat selama ini masyarakat, tampaknya, tidak punya catatan serius dengan kefiguran pimpinan KPK, selain Antasari Azhar.
Pada aspek lain, pertahanan dengan jaminan integritas key persons KPK juga akan menjadi tangkisan bagus terhadap corruptors fight back yang, tampaknya, memang mengarahkan serangan terbarunya ke arah kepemimpinan “kolektif" KPK” dengan taktik menyeret-nyeret satu per satu jajaran pimpinan KPK dalam kasus-kasus hukum yang terkesan dipaksa-paksakan.
Tentu saja, serial corruptors fight back tidak akan berhenti sampai di sini. Setidaknya, setelah skenario penangkapan pimpinan KPK dengan tuduhan terlibat suap tidak berhasil dilakukan, arah serangan berikutnya akan ditujukan kepada RUU Pengadilan Tipikor dan RUU Tipikor.(*)
Hasrul Halili, dosen serta kepala Divisi Korupsi dan Peradilan Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi FH UGM
Sumber: Jawa Pos, Jumat, 7 Agustus 2009